Hukum, Keadilan dan Rasa Aman
Ironi hukum terbentang antara tegangan kebutuhan akan rasa aman dan manipulasi ayat-ayat hukum demi satu atau
Ancaman kekafiran atas kemurnian agama Yahudi mendesak sebuah hukuman atas ketidakpastian. Himpitan pengkhianatan atas cita-cita keyahudian menuntut sanksi tegas oleh otoritas bangsa.
Kedua, sejarah orang-orang Samaria adalah replika sejarah orang-orang kalah. Orang-orang kalah yang secara take for granted mesti menerima nasib perlakuan tidak adil orang-orang sebangsanya. Stereotipe diwariskan turun-temurun.
Cap dan perlakuan tidak adil tak mengenal belaskasihan. Orang Samaria dipandang tak murni baik secara keagamaan maupun kebangsaannya.
Tak pudar ingatan akan kasus korupsi e-KTP yang menyeret begitu banyak pejabat negara kita. Perdebatan alot wakil rakyat di Senayan tentang KPK menghadirkan pesimisme publik atas politik kepentingan.
Primat hukum berbenturan dengan kekuatan politik orang-orang berkedudukan strategis. Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) terlahir di tengah jeratan kepentingan politik. Bola panas bergulir menanti korban baru dari sistem yang tertata rapi tak tersentuh. KPK yang teguh dalam komitmen pun dihadapkan pada sejuta tantangan dan sinisme penguasa dan juga wakil rakyat.
Tak mudah menegakkan hukum ketika ranah kuasa dan jabatan disentuh. Hukum yang dipermainkan boleh saja memapankan dan melindungi orang-orang yang kaya dan berkuasa.
Spiritualitas Samaria membenturkan praksis hukum dalam perpolitikan dunia: kita masih butuh roh kebaikan dan ketulusan dalam ayat-ayat hukum yang tegas, kokoh dan kuat.
Namun "The Good Samarithan" tetap mengkritik manipulasi hukum demi kekuasaan, kekayaan dan privilese elite. Setiap orang memiliki hak akan rasa aman di tengah kemajuan dunia dewasa ini. Kita seakan hidup dalam hutan rimba jalanan dengan prinsip yang kuat akan menang, dan yang lemah akan tersisihkan.
Memperjuangkan supremasi hukum dan supremasi moral dalam tatanan hidup di masyarakat. Prinsip hukum rimba menghadirkan chaos baru di tengah kemajuan dunia modern.
Tulisan sederhana sejenak membenturkan supremasi hukum demi cosmos (baca: keteraturan) serentak mencegah manipulasi hukum demi kepentingan kekuasaan dan kekuatan modal. Seringkali yang kuat akan dilindungi dan yang lemah bisa jadi tumbal.
Kita tetap butuh hukum untuk keamanan dan kepastian, namun memanipulasi hukum demi kepentingan kekuasaan dan kekuatan modal menjadi ancaman serius.
Hukum rimba adalah hukum jalanan tanpa norma.
Kebutuhan akan hukum manusiawi merupakan penyempurnaan hukum kodrati manusia. Karl Heinze Pesche menegaskan arti penting hukum manusiawi sebagai penyempurnaan hukum kodrati.
Pesche (2002;159-160) menyebutkan tiga alasan penting itu yakni pertama, hukum manusiawi memperjelas ketidakpastian dan penerapan lebih jauh dari hukum kodrati. Kedua, hukum manusiawi menetapkan norma-norma tingkah laku konkret, terutama manakala hukum moral kodrati dapat dipenuhi dengan cara berbeda.
Ketiga, hukum manusiawi dibutuhkan untuk menjamin perlindungan bagi nilai-nilai yang sangat penting untuk kesejahteraan umum. Sanksi-sanksi yang ditambahkan pada hukum manusiawi merupakan sarana yang mutlak perlu bagi pendidikan manusia dalam kelemahan mereka dan sebagai tameng terhadap kejahatan manusia.
Rimba hukum kita masih menghadirkan sejuta fatamorgana di samar cita-cita dan idealisme. Masyarakat membutuhkan hukum sebagai koridor pasti agar dapat menggapai rasa aman.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/dewi-hukum_20171124_185032.jpg)