Hukum, Keadilan dan Rasa Aman
Ironi hukum terbentang antara tegangan kebutuhan akan rasa aman dan manipulasi ayat-ayat hukum demi satu atau
Inspirasi The Good Samarithan
Oleh: Louis Jawa
Kepala Sekolah SMAK St Gregorius, Manggarai
POS KUPANG.COM - Diskursus hukum menempatkan legalitas de jure dan praksis de facto di tengah carut marut-hingar bingar realitas publik.
Dunia hukum menjelmakan diri sebagai menara gading `keakuan' entitas yang kokoh, perkasa dan sejuk-lembut serentak seakan ia terpasung dalam dunia magis yang menyimpan sejuta misteri: menakutkan, menggetarkan dan membebaskan.
Diskursus hukum sebagai obyek formal pengetahuan acapkali berbenturan dengan subyek penafsir di tengah kitaran kekuasaan, kekayaan dan kemapanan. Daya magis `orang hukum' melindas kebutaan masyarakat akan ranah hukum dalam praksis kuasa, modal dan prestise.
Ironi hukum terbentang antara tegangan kebutuhan akan rasa aman dan manipulasi ayat-ayat hukum demi satu atau banyak kepentingan yang mesti dikawal dan dilindungi.
Kriminalitas dan premanisme mewabah di tengah multi krisis bangsa ketika masyarakat membutuhkan keamanan dan kepastian untuk hidup bahagia.
Sebaliknya, penguasa dan pemodal sanggup memanipulasi hukum demi melanggengkan hegemoni kekuasaan dan kekayaan dalam privelese-privelese yang diskriminatif.
Ruang hukum menjadi perebutan ketulusan rasa aman masyarakat dan kebuasan kaum elite mempertahankan mekanisme kekuasaan (Sheltens,1983;75) Kisah kecil hukum sandal jepit dan pencurian ayam kerap disandingkan dengan korupsi mega-dana dan mega-kuasa.
Hukum dipertaruhkan, untuk melindungi manusia serentak bisa dibelokkan arahnya demi menunjang hegemoni sistem tertentu. Kebaikan yang tulus perlu memberi roh pada praksis hukum.
Anda mungkin sudah sering mendengar dalam injil tentang kisah Orang Samaria yang baik hati (The Good Samarithan) . Ia menjadi orang terakhir dari imam dan lewi, yang mau turun dari kudanya dan menolong korban para penyamun. Ia menanggalkan status dan jabatan.
Ia menurunkan segala sekat-sekat kebangsaan yang naif, yang cenderung mengkotak-kotakan orang dalam kultus kekudusan di Sion. Lebih mengagumkan lagi, orang Samaria yang baik hati ini menegaskan makna hukum yang penuh belas kasih dalam kekakuan hukum Yahudi.
Status questionis hukum kebaikan Samaria adalah semangat apakah yang menjiwai pembentukan hukum manusiawi Yudaeisme? Apakah tradisi Yudaeisme membenarkan ketidakadilan dan penindasan atas nama nasionalisme dan standar religiositas?
Di atas pijakan inilah, Kristus memberikan makna baru atas hukum yang kerapkali kaku, teguh dan kokoh. Mengapa orang-orang kalah (Samaria) yang mesti memberikan roh pada hukum orang Yahudi? Kontradiksi yang sanggup dipahami oleh ketulusan dan kebaikan yang melampaui sekat-sekat atau getho produk manusia.
"The Good Samarithan" hadir sebagai wajah manis namun penuh kritikan pedas atas struktur hegemoni kekuasaan dan kekayaan. Simbolisme Samaria menempatkan hegemoni Yudaeisme dalam dua ranah penting. Pertama, Yudaeisme menegakkan supremasi hukum bangsa dan agama, antara nasionalisme dan religiositas (baca: spiritualisme Sion).
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/dewi-hukum_20171124_185032.jpg)