25 Tahun Gempa Flores

Muhammad Jibaku Evakuasi Korban Gempa Flores dari Pulau Babi

Kalau anda ingin tahu bagaimana ganasnya Gempa Flores 25 tahun silam, simak pengakuan mereka berikut ini

Penulis: Eugenius Moa | Editor: Marsel Ali
Pos Kupang/Egy Moa
Saksi bisu gempa tanggal 12 Desember 1992 Gedung Cadika milik Gerakan Pramuka Kabupaten Sikka di Maumere, Pulau Flores 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Eginius Mo'a

POS-KUPANG.COM | MAUMERE - Menyayat hati mendengarkan testimoni para korban selamat dari amukan gempa bumi dan gelombang tsunami menimpa Kota Maumere dan kota-kota lainnya di Pulau Flores, 12 Desember 1992.

Muhammad Sahadu, Ali Sadikin, dan Kusman Efendi, tiga dari sekian puluh ribu warga Sikka yang bertarung nyawa selamatkan diri dan membantu sesamanya.

Muhammad, sehari-harinya guru SD di Pulau Babi (warga menyebutnya Pulau Bater) telah merasakan firasat akan terjadi ketika ia tiba di Pulau Babi, Jumat malam 11/12/1992) sekitar pukul 21.30 Wita menumpang perahu motor dari Talibura.

Ia nekat berangkat malam itu, karena Sabtu (12/12/1992) mengajar senam `Ayo Bersatu' kepada murid SD di Pulau Babi. Pulau Babi, wilayah terdampak paling parah dari musibah ini.

Turun dari perahu motor malam Sabtu itu, kata Muhammad, didapatinya pemandangan kehidupan warga Pulau Babi tak seperti hari-hari sebelumnya. Tak tampak warga yang berada di kolong rumah bermain musik atau senda gurau.

"Firasat saya tidak bagus lagi, ini kok sepi seperti di hutan saja. Saya heran keadaan malam itu," kisah Muhammad.

Hari Sabtu pukul 06.00 Wita, selesai sholat, Muhammad kembali merasakan akan terjadi sesuatu. Rumah seng almunium terasa bergerak. Muhammad tetap berangkat ke sekolah mengajar senam. Hanya sampai pukul 10.00 Wita, semua anak dipulangkanya ke rumah.

"Saya pesan anak-anak cepat pulang dan selalu bersama orang tua. Ibu Kepsek, saya sarankan menghindar dari sini (laut). Saat itu belum gempa. Dia tanya kenapa, saya sarankan ke kampung saja," ujarnya.

Pulau Babi wilayahnya berpasir. Sekitar pukul 11.30 Wita, kata Muhammad, sudah muncul gejalah akan terjadi gempa. Baru pada pukul 12.00 Wita goyangkan kecil terasa.

Dari rumah tetangga, Muhammad mengaku mendengar bunyi ledakan mirip bom. Sekitar pukul 13.30 Wita, terjadi guncangan hebat. Semua bangunan roboh, orang-orang lari ketakutan teriak minta tolong.

"Saya lari keluar ajak istri lari. Belum sampai 100 meter menuju ke kampung (arah ke gunung) muncul gelombang besar. Semua rumah hanyut dan ditutup air laut setinggi pohon kelapa. Beberapa orang tertanam pasir. Saya tolong bawa ke gunung dan masih hidup sampai sekarang," katanya.

Ketika gempa berhenti dan gelombang laut sudah surut, warga ramai-ramai menuju ke pantai. Bersamaan itu, datang gelombang lebih dasyat mencabut semuanya. PUalau Babi dihuni 1.550 orang saat itu, 324 mati mengenaskan.

"Hilang semuanya. Yang sisa hanya yang tidak turun ke pantai Menjelang sore, saya ke pantai temukan ada perahu yang hanyut. Saya berenang 40-50 meter dan dengan sampan itu saya dayung menuju menuju Tanah Merah di Talibura," ujarnya.

Muhammad jalan kaki dari Nebe ke Maumere tiba Minggu pagi. Sempatkan diri mencari istri dan anaknya, mereka selamat dan telah mengungsi ke Ile Geteng.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved