Duka Partai 'Kuning' Golkar

Saya terkejut atas ungkapan anak nan polos. Memang di banyak daerah, bendera kuning pratanda ada yang wafat.

Editor: Dion DB Putra
Partai Golkar 

Hal itu berarti secara hukum (akan) terbukti. Dari sini yang terakhir jadi benteng adalah moralitas itu sendiri. Logiknya, aneka pembaharuan mestinya segera ditindaklanjuti mengingat waktu untuk pemilu tinggal setahun lagi.

Ada sebuah kecemasan sekaligus keberanian untuk segera mengambil jalan keluar. Hadirinya pribadi yang lebih bersih dan punya komitmen akan menjadi jaminan untuk hadirnya kepercayaan kembali dari masyarakat.

Tapi di sini, Machiavelle kembali benar bahwa moralitas yang diharapkan akan jauh terwujud. Sebuah moralitas yang tidak akan mudah dilihat sebagai pijakan karena memang politik juga telah ternoda.

Lingkaran setan yang terjalin dalam kepentingan politik menjadikan kian meluasnya kecemasan. Atau membenarkan apa yang dikatakan Gaucho Marx: Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies. Kenekatan untuk terus mempertahankan SN bisa ditafsir dalam perspektif ini.

Para kader yang dekat dengan SN tentu tidak akan membiarkan figurnya dipinggirkan oleh banyak pertimbangan yang tidak sedikitnya diragukan kadar moralitasnya.

Konflik Moral

Lalu apa yang seharusnya dibuat untuk bisa keluar dari kemelut? Tanda-tanda kematian yang dikirim melalui aneka peristiwa yang terjadi dengan Golkar sebenarnya menyadarkan bahwa problem yang terjadi tidak sekadar masalah politik tetapi masalah moral. Moralitas ditandai dengan kesadaran diri pribadi yang melihat masalah nasional-kebangsaan jauh lebih luas dari pribadi tertentu.

Yang terjadi, upaya menekankan imunitas anggota parlemen serta izin formal dari presiden adalah indikator absennya moralitas diri. Di sana kesalahan yang dilakukan yang sebenarnya bagi pribadi yang masih menjunjung tinggi dianggap fatal hingga dapat melepaskan semua imunitas yang dimiliki.

Dalam perspektif politik bermoral seperti di Jepang dan Korea, sang politisi bisa mengambil langkah mundur bahkan ada yang melakukan aksi bunuh diri oleh tingginya rasa malu. Konflik moral seperti ini yang barangkali absen. Ia sekadar ada secara retorik, tetapi tidak diikuti upaya serius mengingat aneka privilese yang bisa saja terus dimiliki oleh mempertahankan seseorang.

Namun bagi yang masih ingin melihat masa depan terus ada pada Golkar, bisa saja punya pandangan lain. Ia tidak akan tinggal diam melainkan proaktif mencari solusi. Dalam pencarían ini, kejadian yang ada dijadikan sebagai sebuah konflik moral. Ia tidak sekadar diterima tetapi diadakan pembaharuan transformatif mengingat tinggal netral dalam kondisi seperti itu adalah sebuah bahaya.

Dalam bahasa Martin Luther King, hukuman bagi orang yang menganggap `biasa-biasa' atau sekadar isu biasa seperti sebelumnya adalah berada di bagian neraka yang paling panas. "The hottest place in Hell is reserved for those who remain neutral in times of great moral conflict" (tempat paling panas di neraka disiapkan bagi mereka yang bersikap netral dalam konflik moral besar).

Mengapa? Karena netralitas dan upaya menjaga status quo tidak saja merugikan diri tetapi juga berimbas kepada rusaknya sebuah tatanan yang lebih besar.

Kita tentu tidak mengharapkan berakhirnya Golkar oleh upaya mempertahankan kepentingan atau orang tertentu. Kita tentu tidak mengharapkan warna kuning Golkar tidak berakhir dengan tanda kematian, rumah duka, tempat di mana orang akan melayat karena sebuah partai besar yang sangat super power itu akan tumbang. Yang kita harapkan adalah sebuah kebesaran hati untuk mentransformasi kenyataan duka menjadi sebuah momen pembaharuan mengingat Golkar jauh lebih besar dari siapapun termasuk sang ketua atau siapapun yang berkuasa di Golkar kini. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved