Duka Partai 'Kuning' Golkar

Saya terkejut atas ungkapan anak nan polos. Memang di banyak daerah, bendera kuning pratanda ada yang wafat.

Editor: Dion DB Putra
Partai Golkar 

Oleh: Robert Bala
Alumnus Resolusi Konflik dan Penjagaan Perdamaian Facultad Sciencias Politicas Universidad Complutense de Madrid

POS KUPANG.COM - Sekadar `literasi politik', saya tanyakan anak saya tentang spanduk yang bertebaran di pinggir jalan sepanjang Taman Makam Bahagia Angkatan Udara Pondok Aren.

Jawaban anak saya mengejutkan. Ternyata ia tidak terlalu memerhatikan logo `Golkar' yang barangkali bagi anak seumur 7 tahun belum terbiasa. Ia hanya melihat warna kuning. Jawabannya pun di luar dugaan saya: "Siapa yang meninggal pak?"

Saya terkejut atas ungkapan anak nan polos. Memang di banyak daerah, bendera kuning pratanda ada yang wafat. Ia menjadi penunjuk keluarga duku tentang lokasi di mana jasad orang yang meninggal dibaringkan.

Tetapi ungkapan polos ini justru mengagetkan hingga memunculkan pertanyaan: apakah Golkar akan wafat juga?

Moralitas?

Genderang tentang kematian Golkar tidak saja menjadi sebuah isu ekstra yang sengaja dibesar-besarkan lawan politik. Memang di tengah gejolak yang melanda `partai' paling berkuasa di era Orde Baru, ada lawan politik (yang sebenarnya tidak juga dianggap bersih) memanfaatkan momen untuk mendiskreditkan Golkar sambil menampilkan partainya yang paling baik.

Hal itu wajar-wajar saja. Dalam politik semua momen harus dimanfaatkan dengan baik. Siapa tahu membawa berkah, berkat mengelola masalah sehingga yang tampak hitam jadi putih.

Tetapi bila awasan itu juga datang dari dalam, khususnya Akbar Tanjung yang mengawaskan kematian Golkar, kita pun terkejut. Apakah awasan itu dibiarkan terjadi atau sebaliknya tetap berdiri pada asumsi bahwa itu sekadar isu yang akan berhenti dengan minim pengaruh terhadap kepercayan masyarakat pada publik.

Tetapi bila awasan itu serius, maka tidak salah ketika gejolak yang terjadi melalui ditahannya Ketua Golkar, Setya Novanto (SN) menjadi momen refleksi. Adakah moralitas sebagai benteng terdalam telah berada di ambang penggugatan atau bahkan ancaman serius?

Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sia-sia. Niccolo Machiavelli sendiri pernah bilang: "Politics have no relation to morals". Tidak ada relasi antara politik dan moral. Keduanya dalam praktik, berjalan secara berseberarangan, meski dalam era kampanye keduanya dianggap satu.

Hal ini bisa dibenarkan dalam kasus yang melanda Golkar. Proses yang berakhir dengan penahanan SN yang didahului peristiwa `kecelakaan' di tiang listrik maupun tidak melupakan kemenangan dalam praperadilan menunjukkan bahwa tidak mudah menjerat SN.

Minimal hal itu menjadi kesimpulan sekaligus pertaruhan terutama bagi KPK. Pengalaman kekalahan dan terus `lolosnya' SN telah memahirkan aparat hukum untuk menutup semua celah yang bisa menjadi alasan penyerangan balik pihak SN.

Artinya, penahanan sendiri adalah contoh terakhir bahwa telah tedapat bukti hukum yang lebih dari cukup mengingat terlepasnya SN akan menjadi akhir juga bagi KPK karena dianggap ceroboh.

Jelasnya, penahanan itu adalah sinyal cukup jelas bahwa niscaya terjadi kekeliruan dua kali. Atau lebih tepatnya, proses hingga penahanan telah memenuhi semua kriteria dengan kemungkinan kekeliruan yang sangat minim.

Hal itu berarti secara hukum (akan) terbukti. Dari sini yang terakhir jadi benteng adalah moralitas itu sendiri. Logiknya, aneka pembaharuan mestinya segera ditindaklanjuti mengingat waktu untuk pemilu tinggal setahun lagi.

Ada sebuah kecemasan sekaligus keberanian untuk segera mengambil jalan keluar. Hadirinya pribadi yang lebih bersih dan punya komitmen akan menjadi jaminan untuk hadirnya kepercayaan kembali dari masyarakat.

Tapi di sini, Machiavelle kembali benar bahwa moralitas yang diharapkan akan jauh terwujud. Sebuah moralitas yang tidak akan mudah dilihat sebagai pijakan karena memang politik juga telah ternoda.

Lingkaran setan yang terjalin dalam kepentingan politik menjadikan kian meluasnya kecemasan. Atau membenarkan apa yang dikatakan Gaucho Marx: Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies. Kenekatan untuk terus mempertahankan SN bisa ditafsir dalam perspektif ini.

Para kader yang dekat dengan SN tentu tidak akan membiarkan figurnya dipinggirkan oleh banyak pertimbangan yang tidak sedikitnya diragukan kadar moralitasnya.

Konflik Moral

Lalu apa yang seharusnya dibuat untuk bisa keluar dari kemelut? Tanda-tanda kematian yang dikirim melalui aneka peristiwa yang terjadi dengan Golkar sebenarnya menyadarkan bahwa problem yang terjadi tidak sekadar masalah politik tetapi masalah moral. Moralitas ditandai dengan kesadaran diri pribadi yang melihat masalah nasional-kebangsaan jauh lebih luas dari pribadi tertentu.

Yang terjadi, upaya menekankan imunitas anggota parlemen serta izin formal dari presiden adalah indikator absennya moralitas diri. Di sana kesalahan yang dilakukan yang sebenarnya bagi pribadi yang masih menjunjung tinggi dianggap fatal hingga dapat melepaskan semua imunitas yang dimiliki.

Dalam perspektif politik bermoral seperti di Jepang dan Korea, sang politisi bisa mengambil langkah mundur bahkan ada yang melakukan aksi bunuh diri oleh tingginya rasa malu. Konflik moral seperti ini yang barangkali absen. Ia sekadar ada secara retorik, tetapi tidak diikuti upaya serius mengingat aneka privilese yang bisa saja terus dimiliki oleh mempertahankan seseorang.

Namun bagi yang masih ingin melihat masa depan terus ada pada Golkar, bisa saja punya pandangan lain. Ia tidak akan tinggal diam melainkan proaktif mencari solusi. Dalam pencarían ini, kejadian yang ada dijadikan sebagai sebuah konflik moral. Ia tidak sekadar diterima tetapi diadakan pembaharuan transformatif mengingat tinggal netral dalam kondisi seperti itu adalah sebuah bahaya.

Dalam bahasa Martin Luther King, hukuman bagi orang yang menganggap `biasa-biasa' atau sekadar isu biasa seperti sebelumnya adalah berada di bagian neraka yang paling panas. "The hottest place in Hell is reserved for those who remain neutral in times of great moral conflict" (tempat paling panas di neraka disiapkan bagi mereka yang bersikap netral dalam konflik moral besar).

Mengapa? Karena netralitas dan upaya menjaga status quo tidak saja merugikan diri tetapi juga berimbas kepada rusaknya sebuah tatanan yang lebih besar.

Kita tentu tidak mengharapkan berakhirnya Golkar oleh upaya mempertahankan kepentingan atau orang tertentu. Kita tentu tidak mengharapkan warna kuning Golkar tidak berakhir dengan tanda kematian, rumah duka, tempat di mana orang akan melayat karena sebuah partai besar yang sangat super power itu akan tumbang. Yang kita harapkan adalah sebuah kebesaran hati untuk mentransformasi kenyataan duka menjadi sebuah momen pembaharuan mengingat Golkar jauh lebih besar dari siapapun termasuk sang ketua atau siapapun yang berkuasa di Golkar kini. *

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved