Wage Rudolf Soepratman dan Pesan Kebangsaan
Harga dan nilai dari sebuah perayaan hari ulang tahun kemerdekaan sebuah negara tidak dapat diukur secara material bila
Oleh Drs. Willem B Berybe
Mantan guru, tinggal di Kolhua Kupang
POS KUPANG.COM - Negara Republik Indonesia akan merayakan HUT ke-72 proklamasi kemerdekaan. Titik puncak perjalanan panjang sebuah bangsa.
Hasil kerja keras, pengorbanan jiwa-raga, militansi dan mobililasi spirit kebangsaan seluruh rayat dan para pejuang serta pelopor pergerakan kebangsaan menuju kemerdekaan patut disyukuri dan dimaknai pada setiap perayaan 17 Agustus. Suatu tanda ungkapan rasa patriotisme dan nasionalisme nan tulus dan religius.
Harga dan nilai dari sebuah perayaan hari ulang tahun kemerdekaan sebuah negara tidak dapat diukur secara material bila perayaan hari besar nasional ini diselenggarakan sedapat mungkin meriah dan gegap gempita dengan beragam aktivitas dan pasti berdampak pada ekonomi.
Di setiap rumah warga, jalan-jalan, kantor pemerintah dan swasta, lingkungan persekolahan, perguruan tinggi, tempat ibadat, area pelayanan publik, lapangan upacara dan sebagainya dipasang bendera merah putih; aksesoris bentangan kain merah putih, umbul-umbul warna warni berkibaran; baliho, lampu hias di arena promosi dan pameran bercanda ria; lapangan upacara ditata dan didandan cantik.
Semuanya dikerjakan dengan biaya sesuai gradasi konteks perayaan sekali setahun.
Wage Rudolf Soepratman
Lebih dari satu abad lalu, pria yang diberi nama Wage Rudolf Soepratman lahir di Jatinegara, Jakarta, 9 Maret 1903. Ayahnya seorang bintara KNIL (Tentara Hindia Belanda).
Dalam usia 21 tahun (1924) dia menciptakan lagu Indonesia Raya yang telah menjadi lagu resmi kebangsaaan, national anthem.
Berdasarkan catatan sejarah, pemuda Soepratman pernah menjadi guru Sekolah Dasar. Kemudian bekerja sebagai karyawan perusahaan dagang. Pengalaman berkarier tersebut semuanya di Makassar. Setelah jadi buruh, pindah ke Bandung dan beralih profesi sebagai wartawan hingga hijrah kembali ke Jakarta.
Di ibu kota inilah, Soepratman mulai terusik oleh gencarnya pergerakan nasional yang membuatnya semakin merapat pada tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Abdul Muis, Ki Hadjar Dewantoro, Suryopranoto, M H Thamrin, dll.
Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda dituangkannya dalam sebuah karya tulis, buku berjudul Perawan Desa. Namun kemudian buku ini dilarang beredar oleh pemerintah Belanda karena bisa memprovokasi rakyat.
Spirit kebangsaan Indonesia kala itu terasa terus menguat. Melalui berbagai bentuk dan strategi perjuangan termasuk media cetak, api nasionalisme berkobar-kobar. Adalah majalah Timbul. Secara terbuka media ini mengumumkan kepada para ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Luar biasa. Pemikiran dan gagasan kebangsaan sudah muncul. Mimpi dan cita-cita nasionalisme tumbuh subur dalam lubuk hati bangsa Indonesia. Diakui pula, elemen masyarakat pelaku seni (musikus Indonesia) benar-benar ikut berperan dalam perjuangan bangsa melalui lagu-lagu ciptaan mereka.