Kisruh Sistem Zonasi Penerimaan Siswa Baru

Yang menarik, kisruh PPDB juga menuding penerapan sistem zonasi yang berpayung pada Permendikbud Nomor

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/YENI RAHMAWATI
Suasana penerimaan siswa baru di Kupang,Senin (3/7/2017). 

Oleh: Simon Seffi
Guru SMAN 2 Fatuleu Barat Kabupaten Kupang

POS KUPANG.COM -- Tak puas pada hasil Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), banyak masyarakat marah dan membuat kisruh. Ada sekolah disegel, jalan diblokir, hingga DPRD dan dinas pendidikan dan kebudayaan didatangi. Penyebabnya, sesuai pemberitaan berbagai media, dimulai dari persoalan teknis yang berkaitan dengan pendaftaran online, hingga adanya dugaan kecurangan yang dilakukan oknum guru yang tak mampu hadir sebagai penjaga nilai.

Yang menarik, kisruh PPDB juga menuding penerapan sistem zonasi yang berpayung pada Permendikbud Nomor 17 tahun 2017 sebagai tersangka. Detiknews edisi 11 Juli 2017 merilis bahwa aduan PPDB yang masuk ke Kemendikbud didominasi aduan tentang sistem zonasi.

Padahal, sesuai pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Efendi dalam berbagai pemberitaan, sistem zonasi dipandang mampu menghilangkan pembedaan golongan sekolah karena siswa yang berprestasi dan kaya tidak harus berkumpul di sekolah yang difaforitkan, dan sebaliknya, siswa yang miskin dan kurang pintar juga tidak digusur ke sekolah pinggiran atau nonfavorit.

Penerapan sistem zonasi juga dipandang memiliki banyak dampak positif seperti keamanan yang relatif terjamin karena mobilitas siswa berlangsung di sekitar lingkungan yang relatif dekat rumahnya, termasuk berkurangnya biaya mobilitas. Lebih dari itu, Menteri Muhadjir Efendi meyakini bahwa jika sistem zonasi diterapkan, kualitas pendidikan anak bangsa akan merata dalam waktu mendatang (Tirto.id edisi 14 Juli 2017).

Sepakat dengan Mendikbud Muhadjir Efendi, tulisan ini mencoba mengajak pembaca sekalian agar bersama bersatu mendukung sistem zonasi. Dampak positif penerapan sistem zonasi tidak perlu penulis sodorkan. Sebab, penulis sepakat dengan rasionalisasi yang disampaikan pak menteri. Bagi penulis, menggugat pemberlakuan sistem zonasi dengan alasan apapun sama artinya dengan keinginan untuk terus melanggengkan diskriminasi anak bangsa berdasarkan modal intelektual dan sosial mereka seperti yang dilakukan sistem pendidikan kita saat ini.

Hemat penulis, yang harus dilakukan oleh masyarakat, terutama yang merasa dirugikan (misalnya karena kualitas satuan pendidikan dalam zona terdekatnya relatif buruk padahal modal intelektual dan sosial anaknya tinggi) adalah mendorong pemangku kepentingan agar bertindak cepat mengupayakan pemerataan kualitas pendidikan.

Jika tidak, selain perbedaan kualitas pendidikan tetap dalam posisi ekstrem, kisruh PPDB akan terus berlanjut di waktu mendatang, berbagai kecurangan dan masalah ikutannya juga berpotensi membentuk anak bangsa menjadi manusia yang mengaminkan watak individualis, korup, tidak peka dan terlibat dalam persoalan sosial, manusia yang tidak humanis

Mengidentifikasi Konten
Secara nasional, pemerintah telah menetapkan sejumlah standar minimal yang harus dipenuhi agar kualitas pendidikan di seluruh pelosok Indonesia tidak berbeda secara ekstrem.

Standar Nasional Pendidikan (SNP) itu meliputi standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses pendidikan, standar penilaian, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan pendidikan. Asumsinya, pemenuhan seluruh variabel dari standar tersebut oleh satuan pendidikan dapat mengurangi kesenjangan ekstrem kualitas pendidikan antardaerah ataupun antarsatuan pendidikan.

Tetapi jika sekolah, sesuai pandangan profesor Dr. H. A. R. Tilaar dalam bukunya Paradigma Baru Pendidikan Nasional, diharapkan sebagai lembaga yang optimal menggerakkan proses pemberdayaan (hominisasi) dan proses memanusiakan anak bangsa (humanisasi), sehingga anak bangsa produk pendidikan nasional kita dapat berdaya memanfaatkan kekayaan sektoralnya, termasuk mampu menghadang gempuran kapitalisme global dan trend peningkatan degradasi moral bangsa, maka, hemat penulis, berbagai elemen kurikulum pendidikan kita mendesak untuk direvisi hari ini.

Standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses pendidikan dan standar penilaian sebagai elemen kurikulum pendidikan kita saat ini cenderung manipulatif dan tidak berorientasi humanisasi. Kurikulum pendidikan kita cenderung seragam untuk anak bangsa yang berasal dari latar intelektual, sosial kultural dan geografis yang beragam.

Sudah begitu, beragam potensi kecerdasan setiap anak bangsa sesuai pandangan multiple inteligence-nya Howard Gardner juga cenderung diabaikan sistem pendidikan kita yang terkesan lebih mendewakan aspek kognitif. Edi Subkhan, dalam beberapa esainya di buku 'Pendidikan kritis, kritik atas praksis neo-liberalisasi dan standarisasi pendidikan?, juga menuding praksis pendidikan nasional cenderung dikooptasi kepentingan kapitalisme sehingga berpotensi menumpulkan kesadaran kritis anak bangsa. Karenanya, mendesakkan revisi empat standar yang berkaitan dengan isi kurikulum pendidikan kita hari ini mesti menjadi salah satu agenda revolusi pendidikan nasional kita.

Agenda revolusi pendidikan yang berikut, yakni mendesakkan pemerataan sisa standar yang lain akan berhubungan dengan advokasi pada level desain kebijakan politik anggaran yang dirumuskan elit pemangku kepentingan. Karenanya, yang menginginkan adanya revolusi pendidikan mesti konsisten mengintervensi praksis politik anggaran di setiap level pemerintahan.

Dalam kondisi tertentu, karena produk kebijakan anggaran mesti melewati realitas kekuatan lembaga wakil rakyat yang cenderung disusupi kepentingan sempit oknum elit, yang menginginkan revolusi pendidikan harus siap untuk berjuang. Pada posisi ini, guru harus menjadi pemimpin untuk berlawan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved