Pemuda Ini Lulusan Terbaik Akabri, Dulunya ke Sekolah Berbekal Jagung Goreng
Keluarga ini berkecukupan dan di desanya boleh dikata masuk katagori petani cukup kaya.
Sejak MI hingga SMA diakui ibunya, Srikanah hidupnya sangat sederhana, tekun dan tertib.
Saat sekolah di Madrasah Ibtidaiyah jarang meminta uang saku. Jika diberi diterima, jika tidakpun tidak pernah meminta.
"Kalau sekolah seringnya saya beri sangu (bekal) jagung
gorengan (marning, Red)," kata Srikanah yang ditinggal suaminya Slamet ke Jakarta lebih awal kepada Surya.
Termasuk ketika masuk SMP Negeri Modo. Dari rumah sekitar 2 kilometer naik sepeda ontel menuju sekolah. Dan soal uang saku juga normal saja, tanpa pernah meminta.
"Kemana-mana selalu bawa buku pelajaran. Saya juga sampai heran," kata Tarwi.
Sang perwira AAL ini juga sangat patuh denga orang tua. Tidak pernah berbicara kasar, apalagi membantah.
Cerminan itu diakui para tetangga yang siang tadi ikut berkerumun di rumah Samsul Huda.
Huda sangat senang dengan anak kecil. Kalau pulang saat masa pendidikan seringkali membelikan jajan anak - anak tetangga dan sejumlah keponakannya.
"Kalau pulang dipanggil Pak Huda tidak mau. Katanya tidak pantas, karena yang memanggil usianya lebih dari dia," imbuh Katiyem.
Di mata para tetangganya, Samsul Huda dinilai sebagai anak yang menyenangkan. Kalau di rumah tidak pernah main sampai jauh-jauh ataupun cangkrukan di luaran sampai malam hari.
Sikap kesederhanaan itu setidaknya telah dicontohkan kedua orang tuanya.
Disaat banyak orang yang mementingkan membangun rumah, tidak dengan Slamet dan Srikanah.
Rumah yang ditempatinya sekarang juga biasa, plafon anyaman bambu, lantai ruang depan dan tengah dipasang tekel. Dan bagian belakang berlantai tanah. Termasuk kamar Samsu Huda.
Srikanah, ibu Huda, benar sederhana. Disaat kebanyakan memasak menggunakan kompor elpiji, Srikanah sampai sekarang tetap bertahan dengan menggunakan tungku dan kayu bakar.