Mawar Berduri di Taman Pluralisme Indonesia

Melankonisme kebangsaan ini sebentuk respon suasana horor lantaran Indonesia sebagai negara bangsa dibangkrutkan atau

Editor: Dion DB Putra
kolase foto/Tribunnews
Ahok dan Habib Rizieq Shihab 

Mereka berdua begitu mencintai negeri ini dan kini sedang mengganggu rasa keindonesiaan kita yang telah lama bercumbu di bawah remang sabana kemunafikan kolektif dan sangat naif. Artinya, ada ketaktulusan hidup bersama dalam keragaman. Memuja kebhinekaan sambil mengipas kebencian, mengumandangkan toleransi sambil menghela pedang dan belati. Kedua, sepertinya kita sedang belajar hidup bersama dalam perbedaan. Kita sungguh masih ingusan dalam hidup berbangsa.

Sebab, pluralitas lebih diterima sebagai ancaman daripada idaman. Isu agama misalnya, masih menjadi mesiu yang melumpuhkan lawan politik. Ketiga, mungkinkah fenomena ini semacam uji kasus (test case) menuju 2019. Arus deras politiklah yang melululantakan tatanan peradaban kebangsaan. Unsur SARA , terutama agama seakan duri dalam daging Indonesia yang paling potensial melukai saudara sedarah.

Agama memang terlalu sering dilegokan untuk perjuangan politik. Agama dianggap paling ampuh menghamburkan fanatisme dan paling smart mengaduk emosi massa. O'Dea (1996:139) pernah berkata, keyakinan agama sering menimbulkan sikap tidak toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan yang lainnya.

Karena itu, kata Hans Kung: without peace between religions there will be no peace between nations. Padahal, semua tradisi agama besar mengajarkan moral yang ideal tentang berkehendak baik, cinta, dan kasih sayang. Dalam kitab suci Hindu Mahabrata dikatakan, "Seseorang tidak boleh melakukan sesuatu kepada orang lain yang dipandangnya melukai dirinya sendiri."

Dalam kitab suci Jaina, Sutra Kritoga dikatakan, "Seseorang harus memperlakukan semua mahkluk di dunia sebagaimana dirinya ingin diperlakukan". Dalam Taoisme, Tha Shang, dikatakan: "Orang baik akan menganggap keuntungan orang lain seolah-olah miliknya sendiri, dan kerugian mereka sebagai kerugiannya".

Dadistan-i dini zoroaster menyatakan, "Watak itu bagus selama ia tidak melakukan sesuatu bagi orang lain yang bagi dirinya sendiri tidak baik". Yesus mengatakan, "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain memperlakukanmu, maka perlakukan mereka seperti itu". Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad menyatakan:, "Seseorang tidaklah disebut Mukmin sejati, kecuali jika menginginkan bagi saudaranya apa yang diinginkan oleh dirinya.

Kualitas pluralitas di Indonesia masih ditanam seluas bibir, akarnya belum menghujam pada pikiran dan kesadaran. Karenanya, pluralitas sering hanya mengundang antagonistik sosial. Inilah yang saya sebut sebagai mawar berduri di halaman taman pluralitas Indonesia.

Mawar yang begitu sedap dipandang, tetapi di balik keindahan sejumlah duri berpotensi menusuk dan melukai. Padahal, mesti kita terima pluralitas sebagai kodrati Indonesia, sebuah orkestra yang menyajikan keindonesiaan sebagai Negara Bangsa. Sebab, Tuhan telah mengulurkan kleneng azan dari gunung hingga katedral, setiap kita meneteskan rindu pada empat samudra. Lalu, satu demi satu lagu jatuh di pelabuhan.

Terdengar aneka suara dan aura mengendap di telapak Pancasila. Bung Karno bangun dari pusara berseru lirih: Apalagi yang Anda ributkan. Bukankah Indonesia sudah selesai didefinisi? Bukankah saya pernah berkata, "Tantanganku lebih ringan karena melawan penjajah. Tantanganmu lebih berat karena melawan bangsamu sendiri. Lalu, perlahan Bung Karno kembali turun ke peraduan abadi (pusara) sambil mengepul asap cerutu diselingi siul pilu sepilu bangsa ini tidak memahami dirinya.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved