Mawar Berduri di Taman Pluralisme Indonesia
Melankonisme kebangsaan ini sebentuk respon suasana horor lantaran Indonesia sebagai negara bangsa dibangkrutkan atau
Oleh: Marsel Robot
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Undana Kupang
POS KUPANG.COM - Hampir setahun, Indonesia diguyur gerimis fobia kebangsaan, cenderung melankolis, bahkan terkesan cengeng. Serasa rakyat Indonesia ditinggalkan Ibu Pertiwi tanpa usap di muka.
Itulah sebabnya, entah di aula, di halaman, di ruang rapat, acara resmi, atau kerumunan di mana saja selalu berkumandang lagu Indonesia Raya, Indonesia Tanah Air Beta, lagu Rayuan Pulau Kelapa disertai pekikan "Aku Indonesia, Aku Pancasila." Semboyan yang terus diwanti Presiden Joko Widodo setiap kesempatan. Pancasila yang sakti itu seolah telah menjadi "besi tua" atau rongsokan yang tidak relevan lagi di orde penuh monster ini.
Melankonisme kebangsaan ini sebentuk respon suasana horor lantaran Indonesia sebagai negara bangsa dibangkrutkan atau disusutkan oleh drama kolosal yang dilakonkan Ahok (panggilan gaul mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) dan Rizieq Sihab (Iman Besar Forum Pembela Islam) dengan menenteng-nenteng agama sebagai dekor perjuangan.
Ahok dan Rizieq tentu bukan sendirian. Ada sejumlah orang meronda di belakang. Ahok dan Rizieq sekedar aktor berkarakter hebat yang digerakkan sejumlah sutradara handal di panggung belakang. Karena itu pula, memahami drama Ahok dan Rizieq tidak cukup dari perspektif normatif, lantas memandang keduanya sebagai sebuah kekeliruan atau keterlaluan.
Sebagai aktor, perilaku keduanya sangat simbolis, sebuah teks yang menyiratkan makna di balik yang tampil. Peran keduanya menyajikan narasi amat luas di balik lakon kolosal itu. Disusun dalam alur yang sangat rumit, gelap dan mengendapkan kepentingan politik yang tengik. Juga, ada sutradara dan penyandang dana yang terus menghidupkan api dalam sekam, memenuhi pundi-pundi guna mengongkosi orasi atau perfomance di jalanan.
Tentu, orang biasa seperti saya, yang pengetahuan politik seluas halaman rumah ini sungguh tak mampu memasuki gua politik seserem ini. Betapa sulit bagi saya memahami, semisal, tanpa bukti hukum yang kuat Ahok dijebloskan ke bui. Lebih tidak dipahami lagi, ketika penganut Ahok ditimpuk rindu agar Ahok dibebaskan melalui upaya banding, malah Ahok sendiri menolak banding.
Ia begitu tenang dan dengan senyum dikulum menerima keputusan dua tahun dalam bui. Penganut Ahok dibiarkan terlantar dalam teka-teki itu. Apa gerangan Ahok membiarkan diri mendekam di balik jeruji? Apakah cara ini paling khas membibitkan martir yang rela mengorbankan diri untuk orang banyak dan bukan orang banyak korban karena dirinya?
Mungkin juga Ahok sedang mengontruksi kesadaran bangsa ini, bahwa pada ujung sejarah tertentu, ia dikenang sebagai legenda pemimpin yang jujur, adil, tegas dan anti korupsi? Atau, ada reken-reken politik tertentu demi kepentingan orang tertentu. Andalah yang paling mampu menjelaskan semua pertanyaan itu.
Demikian pun sebaliknya, Habib Rizieq. Bayangkan, menjelang Ahok divonis , Rizieq malah umroh ke tanah suci. Begitu bandel. Malahan, ia dibiarkan pergi sambil memanggul sejumlah sabuk tersangka di pundaknya. Lebih tak paham lagi, dia diklaim sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh pihak kepolisian, toh sampai sekarang sulit ditangkap. Padahal, Amien Rais dan sejumlah petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) begitu mudah bertemu dengannya. Ada apa gerangan? Apa sengaja dibiarkan agar situasi dalam negeri tentram selama menjalani bulan puasa atau ada kepentingan lain. Anda jugalah yang mengetahui ini.
Lantas siapa yang paling tersiksa dari kedua orang ini. Apakah Ahok yang disekap di balik jeruji bui? Atau Rizieq yang tersekap dalam persembunyian. Hemat saya, kedua orang ini mungkin saja mempunyai debit penderitaan dan kadar kegembiraan hampir sama. Belum tentu Ahok merasa dibui.
Mungkin dia menikmati kebebasan dalam bui itu. Ahok lebih nyaman karena sudah terbebas dari semua urusan. Baginya, penjara menjadi beranda yang lebih khusuk kembali "ke kamar dalam" (ruang ritual), banyak waktu membaca kitab suci dan meminimalisir kesibukan di kamar luar (ruang rutin) yang berserakan tulang-tulang politik dan terus menyediakan potensi konflik yang merobek-robek cadar kebangsaan. Lebih banyak waktu menyaksikan mata hari terbenam, selalu ada saat menyaksikan air mengalir ke lautan, jam tidurnya lebih teratur dan berat badannya terukur.
Sebaliknya, jangan dikira, Habib Rizieq yang berkeliaran jauh lebih aman dan nyaman dibandingkan Ahok. Rizieq justeru semakin tidak aman karena siang malam diburu telepon yang terus mengintai. Desah cecak di dinding pun terkadang diidenfikasi sebagai seruan penangkapan. Ia mendekam dalam buih sosial yang paling masif. Jam tidurnya kurang karena keningnya tak pernah tenang memikir skenario selanjutnya, makan terasa banyak gabahnya.
Sekali lagi, bagi saya, Ahok dan Rizieq hanya aktor di panggung depan. Ada sutradara yang menyusun skenario di panggung belakang, bergerak siluman di antara tumpukan sampah kepentingan. Sutradara dengan perangai macan terus menghamburkan opini dalam sekam politik. Sedangkan agama yang dijadikan dekor perjuangan Rizieq hanya entitas yang memelihara petir politik yang terus memercikan api konflik untuk menghanguskan lawan politik. Pada level itu, begitu sulit membedakan antara malekat dan iblis, atau sejenis malekat yang iblis atau iblis yang malekat bergentayangan di jagat pluralisme Indonesia.
Lebih dari sekedar aktor, Ahok dan Rizieq adalah sekuntum kesadaran. Lakon keduanya menggugat keindonesiaan kita untuk sejenak mengerutkan kening seraya merefleksikan tiga hal. Pertama, Ahok dan Rizieq dilahirkan dan diorbitkan oleh sejarah dalam sekam politik saat ini.
Mereka berdua begitu mencintai negeri ini dan kini sedang mengganggu rasa keindonesiaan kita yang telah lama bercumbu di bawah remang sabana kemunafikan kolektif dan sangat naif. Artinya, ada ketaktulusan hidup bersama dalam keragaman. Memuja kebhinekaan sambil mengipas kebencian, mengumandangkan toleransi sambil menghela pedang dan belati. Kedua, sepertinya kita sedang belajar hidup bersama dalam perbedaan. Kita sungguh masih ingusan dalam hidup berbangsa.
Sebab, pluralitas lebih diterima sebagai ancaman daripada idaman. Isu agama misalnya, masih menjadi mesiu yang melumpuhkan lawan politik. Ketiga, mungkinkah fenomena ini semacam uji kasus (test case) menuju 2019. Arus deras politiklah yang melululantakan tatanan peradaban kebangsaan. Unsur SARA , terutama agama seakan duri dalam daging Indonesia yang paling potensial melukai saudara sedarah.
Agama memang terlalu sering dilegokan untuk perjuangan politik. Agama dianggap paling ampuh menghamburkan fanatisme dan paling smart mengaduk emosi massa. O'Dea (1996:139) pernah berkata, keyakinan agama sering menimbulkan sikap tidak toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan yang lainnya.
Karena itu, kata Hans Kung: without peace between religions there will be no peace between nations. Padahal, semua tradisi agama besar mengajarkan moral yang ideal tentang berkehendak baik, cinta, dan kasih sayang. Dalam kitab suci Hindu Mahabrata dikatakan, "Seseorang tidak boleh melakukan sesuatu kepada orang lain yang dipandangnya melukai dirinya sendiri."
Dalam kitab suci Jaina, Sutra Kritoga dikatakan, "Seseorang harus memperlakukan semua mahkluk di dunia sebagaimana dirinya ingin diperlakukan". Dalam Taoisme, Tha Shang, dikatakan: "Orang baik akan menganggap keuntungan orang lain seolah-olah miliknya sendiri, dan kerugian mereka sebagai kerugiannya".
Dadistan-i dini zoroaster menyatakan, "Watak itu bagus selama ia tidak melakukan sesuatu bagi orang lain yang bagi dirinya sendiri tidak baik". Yesus mengatakan, "Sebagaimana kamu menginginkan orang lain memperlakukanmu, maka perlakukan mereka seperti itu". Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad menyatakan:, "Seseorang tidaklah disebut Mukmin sejati, kecuali jika menginginkan bagi saudaranya apa yang diinginkan oleh dirinya.
Kualitas pluralitas di Indonesia masih ditanam seluas bibir, akarnya belum menghujam pada pikiran dan kesadaran. Karenanya, pluralitas sering hanya mengundang antagonistik sosial. Inilah yang saya sebut sebagai mawar berduri di halaman taman pluralitas Indonesia.
Mawar yang begitu sedap dipandang, tetapi di balik keindahan sejumlah duri berpotensi menusuk dan melukai. Padahal, mesti kita terima pluralitas sebagai kodrati Indonesia, sebuah orkestra yang menyajikan keindonesiaan sebagai Negara Bangsa. Sebab, Tuhan telah mengulurkan kleneng azan dari gunung hingga katedral, setiap kita meneteskan rindu pada empat samudra. Lalu, satu demi satu lagu jatuh di pelabuhan.
Terdengar aneka suara dan aura mengendap di telapak Pancasila. Bung Karno bangun dari pusara berseru lirih: Apalagi yang Anda ributkan. Bukankah Indonesia sudah selesai didefinisi? Bukankah saya pernah berkata, "Tantanganku lebih ringan karena melawan penjajah. Tantanganmu lebih berat karena melawan bangsamu sendiri. Lalu, perlahan Bung Karno kembali turun ke peraduan abadi (pusara) sambil mengepul asap cerutu diselingi siul pilu sepilu bangsa ini tidak memahami dirinya.*