Kampus Harus Bebas dari Radikalisme, Inilah Caranya

Kebangkitan nasional merupakan bangkitnya semangat nasionalisme, persatuan dan kesatuan serta kesadaran sebagai sebuah bangsa

Editor: Dion DB Putra
Pos Kupang/Oby Lewanmeru
Krans Bunga dukung Gubernur NTT tolak paham radikalisme 

Oleh : RD Stephanus Turibius Rahmat
Imam Keuskupan Ruteng, Flores -Nusa Tenggara Timur

POS KUPANG.COM - Pada setiap tanggal 20 Mei, bangsa kita memeringati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Pada tahun ini, kita merayakan Harkitnas yang ke 109 tahun. Harkitnas merupakan hari yang menjadi momentum perjuangan seluruh rakyat Indonesia yang ditandai dengan kelahiran organisasi Budi Oetomo pada tahun 1908.

Kebangkitan nasional merupakan bangkitnya semangat nasionalisme, persatuan dan kesatuan serta kesadaran sebagai sebuah bangsa untuk memajukan diri melalui gerakan organisasi yang sebelumnya tidak pernah muncul selama penjajahan. Sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial dan menjadi cikal bakal gerakan yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Momentum Harkitnas harus menjadi saat kebangkitan seluruh warga Indonesia, termasuk dunia kampus untuk merefleksikan kembali upaya atau perjuangan mempertahankan kesatuan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Apakah kita sudah bergerak pada jalur yang benar? Ataukah pergerakan kita lebih banyak diwarnai oleh upaya disintegrasi dalam bentuk radikalisme dan anarkisme. Oleh karena itu, pada momentum Harkitnas ini kita semua, teristimewa kampus perlu membangun komitmen supaya membebaskan diri dari radikalisme, anarkisme dan pelbagi bentuk kekerasan lainnya. Kampus harus menjadi taman pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan. Kampus harus menjadi sumur inspirasi bagi para dosen dan mahasiswa untuk menimba ilmu dan pengetahuan, tempat yang ramah dan kondusif untuk belajar bersaing secara sehat dan berinteraksi sosial secara konstruktif. Kampus harus menjadi tempat berlangsungnya General Education.

Kampus sebagai Locus General Education
Semua komponen masyarakat terus berupaya untuk membebaskan kampus dari pelbagai bentuk tindakan radikal. Pada hari Sabtu, 5 Mei 2017, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), Suhardi Alius, memberikan kuliah umum dengan tema 'Penguatan Karakter dan Prestasi Mahasiswa Bidikmisi untuk Meraih Reputasi' di Universitas Negeri Semarang. Pada kesempatan tersebut, Menteri Nasir mengatakan bahwa kampus harus bebas dari radikalisme, narkoba, dan kekerasan (http://www.suaranusantara.com).

Penegasan menteri ini menjadi sangat urgen karena jika perilaku tersebut dipelihara, maka dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Kampus harus menyatakan tekad untuk mempertahankan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1954, NKRI.

Ketika kita berpegang teguh pada keempat pilar kebangsaan ini, maka tidak ada ruang dan tempat untuk bertumbuhnya radikalisme, intoleransi, anarkisme, antipluralisme, dan diskriminasi. Jiwa nasionalisme kita tidak boleh tergerus oleh pelbagai ancaman yang merongrong persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Semua perguruan tinggi didorong supaya berperang melawan segala bentuk radikalisme, dll. Kampus harus menjadi tempat pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan.

Kita sebagai suatu bangsa yang merdeka patut bersyukur karena para pahlawan telah berjuang dengan meneteskan keringat darah untuk kemerdekaan Indonesia. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa ini perlu mengisi kemerdekaan dengan memperkuat toleransi dan kerja sama yang konstruktif. Negara memberi tempat bagi mahasiswa mengekspresikan kebebasan berpendapat melalui aksi demonstrasi, tetapi dengan syarat bahwa aksi tersebut tidak boleh anarkis dan destruktif.

Oleh karena itu, para rektor dan dosen perguruan tinggi harus secara kontinu meningkatkan kesadaran para mahasiswa akan tantangan global yang harus dihadapi. Pimpinan perguruan tinggi harus bertanggung jawab terhadap kampus dengan membentuk perilaku yang positif dan konstruktif dalam diri para mahasiswa. Jangan sampai kehidupan heterogenitas kampus tercederai ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI.

Ada begitu banyak fakta yang memperlihatkan bahwa tantangan radikalisme global saat ini juga mengancam Indonesia. Kampus di Indonesia dinilai rentan disusupi paham-paham baru. Pelaku tindakan radikal paling banyak berasal dari kalangan muda yang berusia 20-30 tahun.

Institusi perguruan tinggi, baik yang umum maupun agama, kerap menjadi sasaran gerakan radikalisme. Paham radikal merupakan ancaman bagi tegaknya NKRI. Kasus kasus kekerasan atas nama agama, intoleransi, antipluralisme, diskriminasi, penyebaran paham radikal merambah masuk dalam institusi kampus.

Kampus yang selama ini dikenal sebagai tempat persemaian manusia berpandangan kritis, terbuka, dan intelek, ternyata tidak bisa imun terhadap pengaruh ideologi radikal. Radikalisme menyeruak menginfiltrasi kalangan mahasiswa di berbagai kampus, sehingga muncul kelompok ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Berhadapan dengan maraknya gerakan radikal ini, maka perlu ada suatu gerakan cerdas membendung radikalisme ini.

Gerakan itu tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus ada kerja sama semua civitas akademik kampus. Setiap kampus harus menjadikan radikalisme sebagai musuh bersama. Dengan cara-cara seperti ini, kita berharap radikalisme betul-betul tidak ada di kampus manapun. Dengan itu, kita hidup di Indonesia dengan nilai-nilai keragaman yang harus dipertahankan melalui sikap saling menghormati dan terus menyuburkan semangat gotong-royong.

Mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki peran penting dalam mencegah radikalisme. Hal itu dapat dilakukan dengan cara merevitalisasi lembaga, badan, dan organisasi kemahasiswaan intra maupun ekstra kampus. Organisasi-organisasi yang ada di kampus memegang peranan penting untuk mencegah berkembangnya paham radikal melalui pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang komprehensif dan kaya makna. Karena itulah, konteks Nota Kesepahaman antara Badan Nasional

Penanggulangan Teroris (BNPT) dan Kemenristekdikti yang diwakilkan oleh Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan menjadi sangat strategis dalam upaya membendung radikalisme di kalangan mahasiswa (bdk. Kompas.com. 10 Mei 2017).
Ada beberapa hal yang perlu dirumuskan secara sistematis dari kerjasama ini, yaitu : (1) kita tidak perlu mendesain ulang kurikulum menyeluruh karena hal itu mengganggu stabilitas akademis-keilmuan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved