Salib sebagai Jalan Perdamaian
Sejak 26 Februari 2017 umat Kristen sedunia mulai merayakan pekan kudus pra paskah (quadragessima) atau yang juga dikenal sebagai
Oleh: Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Pendeta GMIT, tinggal di Salatiga
POS KUPANG.COM -Sejak 26 Februari 2017 umat Kristen sedunia mulai merayakan pekan kudus pra paskah (quadragessima) atau yang juga dikenal sebagai minggu-munggu sengsara. Tujuh minggu dipakai untuk momen perenungan makna salib dan penderitaan Kristus. Berikut ini sepotong perenungan untuk memaknai pekan kudus itu.
Salib Kristus berdiri tegak di tengah-tengah dunia di antara langit dan bumi untuk mengumumkan berakhirnya kekerasan dan segala bentuk penindasan. Pesan ini juga terkandung dalam prototipe salib Yesus yang berabad-abad sebelumnya dikisahkan dalam Alkitab, yakni ketika di padang gurun Musa disuruh Tuhan membuatkan sebuah patung ular tembaga menaruhnya di atas sebuah tiang lalu ditancapkan ke langit. Setiap orang Israel yang dipagut ular tidak akan mati kalau mereka melihat ke arah ular tembaga itu (Bil. 21:9; Yoh. 3:14).
Sayangnya, dalam sejarah kekristenan salib justru dibelokkan, ia dijadikan simbol penaklukkan dan kekerasan terhadap mereka yang lain. Perang salib dalam abad pertengahan merupakan kejahatan kemanusiaan berkedok salib yang harus diceritakan dengan tunduk dan malu. Salib juga tidak lagi dilihat sebagai ethos hidup, melainkan sekedar sebuah perayaan liturgis.
Yesus tak pernah meminta pengikut-pengikutNya melakukan perang salib atau menyembah salib. Yang ia minta dari mereka adalah memilih jalan memikul salib. Itulah pesan paling dominan dari salib. Paguyuban religius mana pun yang berdiri dalam barisan orang-orang penentang kekerasan dan penindasan, serta yang memilih untuk diet kemewahan materi demi melayani mereka yang miskin, apa pun juga nama paguyuban itu sesungguhnya ia adalah anggota keluarga Kerajaan Allah.
"Sama seperti Musa meninggikan ular di padang guru, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya beroleh hidup yang kekal. (Yoh. 3:14-15)" Inilah ilustrasi Yesus kepada Nikodemus. Yesus langsung menunjuk kepada salib sebagai titik pusat upaya reorientasi diri, batin dan spiritual atau dalam percakapan dengan Nikodemus dipakai istilah dilahirkan kembali.
Kalau kita sejajarkan salib dalam percakapan Yesus dengan Nikodemus dengan ular tembaga yang Musa buat di padang gurun, maka jelas bahwa jalan keselamatan melalui salib bukan hanya soal memiliki iman percaya yang kuat. Dalam Bilangan 21:8-9 disebutkan bahwa orang-oang yang digigit ular bisa selamat dari kematian kalau mereka melihat kepada ular tembaga buatan Musa. Sekali lagi ibu dan bapak: keselamatan melalui salib bukan sekedar soal percaya, berpegang dengan kuat dan teguh kepada salib. Tetapi juga berhubungan dengan hal melihat salib.
Keselamatan melalui jalan salib bersangkut paut dengan percaya dan melihat. Untuk poin pertama, tidak ada masalah. Poin kedua yang justru bikin pusing kepala. Salib bukan hanya untuk disembah, dijadikan obyek devosi di pusat tata ibadah. Kalau ini yang ditekankan maka salib baru sekedar menjadi obyek iman. Salib juga harus ditunjukkan kepada sesama.
Mereka yang berada di luar gedung ibadah, yang tidak bergabung di sekitar pusat tata ibadah harus melihat salib dalam hidup kita. Yaitu pada kita terjadi kelahiran kembali. Ada reorientasi sikap hidup dan komitmen batin.
Salib harus menjadi kuasa yang membaharui liturgi kehidupan di dunia soial sehari-hari. Jalan keselamatan melalui salib perlu kita perlihatkan dalam hidup tiap-tiap hari. Adalah David W. Shenk yang membantu kita menyingkap arti itu dengan cara menaruh secara sejajar simbol-simbol Budha dan Kristus seperti nampak dalam gambar di bawah:

Coba simak perbedaan gambar Yesus dan Budha. Ikon-ikon Budha umumnya menghadirkan Budha dengan kedua tangan terlipat, sementara citra Kristus selalu ditampilkan dengan tangan yang terbuka. Shenk memberi penjelasan sebagai berikut.
"Kedua tangan Budha mengkomunikasikan roh kesendirian dalam usaha mencari perdamaian; mereka menunjukkan bahwa tidak ada pertolongan yang nyata dari orang lain. Kristus di atas salib memiliki kedua tangan terentang yang terluka. Inilah tangan-tangan dari seseorang yang aktif merangkul, yang mengasihi dan mengundang musuh-musuhNya, tangan dari seorang yang telah memilih jalan penderitaan.
"Sementara jalan perdamaian yang ditawarkan Muslim, begitu kata Shenk adalah penyerahan diri kepada Allah, perdamaian yang didukung, didirikan dan diperluas oleh kekuasaan politik (David Shenk. Ilah-Ilah. 147).
Di atas salib tangan Kristus terbuka. Ia rindu merangkul semua manusia apa pun juga agama, budaya, adat-istiadat, ritus, simbol, pengalaman keagamaan dst. Kristus adalah adalah the impartiality God, Allah yang tidak partisan, kata Koyama (Three Mile, 1982:49). "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya" (Mat. 5:17). Kalau begitu apa alasannya untuk orang Kristen mengambil sikap menolak dan mengkafirkan orang beragama lain dan budaya masyarakat?
Kristus selalu ditampilkan dengan dua belah tangan terentang lebar. Lalu para pendeta dan pastor mencoba meniru Kristus, merentangkan kedua tangan mereka di akhir ibadah dan misa suci. Apakah itu sekedar sebuah gesture tubuh yang tanpa makna? Bukankah dikandung di dalamnya pesan bahwa semua peserta ibadah terutus ke dalam dunia untuk merangkul dan menyatukan, ketimbang menolak dan mengutuk sang lain?