Wartawan, Polisi dan Nasi Kotak, Ada Apa Memang?

Dua kejadian ini adalah contoh soal betapa profesi wartawan sudah demikian terdistorsi, terkontaminasi, tercemar, bahkan rusak oleh sikap dan perilaku

Editor: Dion DB Putra

Patutlah disyukuri bahwa dengan karakternya yang mengutamakan kecepatan (speed), media sosial dan media onlie sangat membantu masyarakat mengetahui banyak peristiwa, menyerap banyak informasi dan mempengaruhi sikapnya. Akan tetapi kebenaran sebuah informasi juga menjadi standar etik dalam jurnalisme.

Media sosial dan media daring sangat membantu mempersingkat waktu tiba sebuah informasi di tangan khalayak. Tetapi yang utama tetaplah kebenaran informasi, bukan kecepatan tibanya. Berlaku hukum ini: Get it first, but first get it right. Jadilah orang pertama yang mendapat berita, tetapi yang utama berita itu harus benar.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menggariskan "bahwa kebebasan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin."

Merespon jaminan ini, pada awal reformasi pers Indonesia mengalami masa bulan madu. Bak jamur di musim hujan penerbitan pers muncul di mana-mana. Ketika Orde Baru tumbang, di Indonesia tercatat hanya 289 media yang mempunyai SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Tidak sampai setahun memasuki era reformasi, muncul lebih dari seribu media di Indonesia. Dan, seperti kita ketahui, dari tahun ke tahun, dari bulan ke bulan, dari hari ke hari, semakin banyak media yang muncul.

Sejatinya kita mesti mengucapkan selamat datang kepada media-media yang baru muncul. Di Indonesia Dewan Pers mencatat saat ini hadir sekitar 42.000 media (cetak, elektronik, online). Di NTT, menurut data dari Biro Humas Setda NTT, lebih dari 100 media yang mendaftarkan diri. Jumlah ini tidak terhitung media-media yang terbit di kabupaten-kabupaten. Baik di Indonesia maupun di NTT, lebih dari 50 persen media yang ada merupakan media online.

Kehadiran media yang semakin banyak mesti dilihat secara positif. Positif karena dengan itu masyarakat semakin banyak mendapat bahan bacaan dari sumber informasi. Tetapi harapan ini dalam prakteknya tidak selalu benar. Apa yang dalam ilmu komunikasi disebut sebagai deficiency information sangat terasakan dalam jagat pers Indonesia, juga NTT.

Media yang begitu banyak dan beragam menyajikan seribu satu berita, menyebar beragam informasi. Tetapi informasi yang beredar di ruang publik adalah informasi yang sudah terdistorsi, terkontaminasi dan terkerangkeng dalam kepentingan elit politik, terkungkung dalam sungkup kepentingan bisnis yang digelorakan pemilik media dan atau pemegang saham mayoritas.

Tidak heran jurnalisme yang ditampilkan adalah talking journalism (jurnalisme omong-omong). Halaman-halaman media cetak, konten berita di radio dan televisi, juga di media online adalah berita omong-omong. Kurang lebih dalam lima tahun terakhir, pembaca di NTT tidak pernah disuguhkan laporan investigasi tentang kasus-kasus yang sangat boleh jadi ikut membuat provinsi ini semakin miskin. Newspaper kemudian diplesetkan menjadi viewspaper.

Insiden di Polda
Apa yang terjadi di Polda NTT, sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, memang tidak enak dibahas. Siapa pun wartawan yang mendengar berita itu pasti mengelus dada. Sudah sebegitu murahnya profesi wartawan?

Menurut keterangan dari Polda NTT, wartawan yang boleh melakukan tugas jurnalistik di lingkungan Polda NTT adalah wartawan dari media yang keberadaannya mengikuti standar yang ditetapkan Dewan Pers. Wartawan yang medianya mengikuti standar Dewan Pers umumnya tergabung dalam organisasi wartawan yang diakui pemerintah yakni PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia). Meski begitu, Humas Polda NTT masih membuka ruang bagi koresponden/kontrubutor media nasional
yang bertugas di NTT.

Sangat boleh jadi, wartawan yang diundang mengikuti konferensi pers mengenai kasus narkoba di Polda NTT hanya wartawan yang telah terdaftar di Polda NTT. Mereka yang terdaftar tentu berasal dari media resmi, yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan administratif sebuah perusahaan pers.

Artinya nasi kotak yang disediakan hanya untuk para wartawan yang diundang dengan merujuk pada daftar yang telah ada. Maka yang tidak mendapat nasi kotak mestinya bertanya diri, mengapa saya tidak kebagian? *

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved