Wartawan, Polisi dan Nasi Kotak, Ada Apa Memang?

Dua kejadian ini adalah contoh soal betapa profesi wartawan sudah demikian terdistorsi, terkontaminasi, tercemar, bahkan rusak oleh sikap dan perilaku

Editor: Dion DB Putra

Oleh Tony Kleden
Wartawan, tinggal di Kupang

POS KUPANG.COM -Grup whatsapp (WA) wartawan Polda NTT medio Maret lalu ramai. Yang membuat ramai adalah `ribut-ribut' pascakonferensi pers dengan pimpinan di Polda NTT. Tersebutlah ada wartawan yang mencak-mencak karena tidak kebagian nasi kotak. Mereka bahkan mengancam menulis yang jelek-jelek tentang Polda NTT.

Teringat kejadian yang sama di Mapolda salah satu provinsi di Sulawesi tahun lalu. Sejumlah wartawan terang-terangan menyatakan kecewa karena tidak kebagian amplop setelah mengikuti konferensi pers dengan Kapolda.

Dua kejadian ini adalah contoh soal betapa profesi wartawan sudah demikian terdistorsi, terkontaminasi, tercemar, bahkan rusak oleh sikap dan perilaku orang-orang yang menduga dan mengaku diri wartawan. Dengan penuh keterbatasan, tulisan ini ingin menjelaskan seharusnya seperti apa pers yang profesional, siapa sebenarnya wartawan, sekaligus ingin merespons apa yang terjadi di Polda NTT.

Dari sejarah kehadirannya, kita paham betapa peran pers itu sangat penting dan bermanfaat. Dia menghadirkan ke tengah publik informasi-informasi penting.

Kehausan akan informasi itu begitu kuat mendesak dan butuh jawaban untuk pemenuhannya. Kejelasan informasi yang disajikannya sekaligus juga melawan informasi yang lebih bersifat gosip atau hoax dalam terminologi sekarang.
Terlepas dari akurasi, kebenaran dan juga relevansinya, apa yang ditulis pada newsletter yang beredar di kedai-kedai kopi di kota-kota pelabuhan berabad-abad lalu perlahan-lahan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya informasi melalui medium yang sekarang disebut sebagai pers itu.

Penting dan vitalnya peran pers itu sudah diakui sejak dulu. Bukan tanpa alasan, karena itu, ketika Edmund Burke menegaskan hakikat pers sebagai pilar keempat demokrasi. Dalam masyarakat yang semakin maju, kehadiran pers ibarat oksigen bagi demokrasi. Masuk akal kalau penulis masalah politik Prancis, Alexis de Tocqueville, mengatakan, "Anda tidak bisa membaca surat kabar yang sesungguhnya tanpa demokrasi, dan Anda tidak akan bisa punya demokrasi tanpa surat kabar."

Ungkapan ini telah klasik, karena disuarakan Tocqueville sejak 200 lebih tahun lalu. Tetapi ungkapan klasik itu terbukti kebenarannya sampai hari ini di negara-negara maju. Eksistensi wartawan pun sejak dulu sangat kuat dan kokoh. Itu sebabnya banyak negara telah membuat perlindungan hukum bagi pers yang bebas. Di Amerika Serikat, misalnya, jurnalisme adalah satu-satunya profesi yang disebutkan dalam Konstitusi. Disebutkan dalam Konstitusi AS: "Kongres tidak boleh membuat undang-undang yang membatasi kebebasan berbicara atau pers."

Seolah ingin menegaskan amanat Konstitusi itu, Presiden ketiga AS, Thomas Jefferson, pada tahun 1787 menulis, "Mengingat dasar pemerintah kita adalah pendapat rakyat, tujuan yang paling utama seharusnya adalah memelihara hak tersebut; dan seandainya saya diminta untuk memutuskan apakah kita harus mempunyai pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, maka saya tidak akan ragu-ragu sedikit pun untuk memilih yang terakhir."

Dalam negara demokrasi modern, peran dan tanggung jawab pers semakin mendapat aksentuasi. Pers menjaga agar demokrasi tetap jalan dengan memberikan suara kepada kaum tak bersuara, memastikan segelintir orang yang berkuasa tidak bisa semena-mena menginjak mayoritas rakyat kecil. Penulis humoris Amerika abad ke-19, Finley Peter Dunne, mengatakan pekerjaan wartawan adalah "memberi rasa nyaman kepada orang yang kesusahan, dan menyusahkan orang yang hidup nyaman."

Wartawan
Seturut panggilannya wartawan itu nabi, yang menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak. Seperti nabi, dalam menjalankan tugasnya wartawan bekerja tanpa kenal lelah, tanpa perhitungkan keuntungan yang didapat. Karena nabi, maka wartawan itu lebih dari sekadar pekerjaan. Profesi wartawan itu way of life. Panggilan hidup.

Karena way of life, maka yang dibutuhkan dari seorang wartawan adalah totalitas pada panggilan dan bakti tanpa pamrih pada profesi. Dia mengemban tugas mahaberat memperkenalkan jurnalisme yang benar dan profesional kepada khalayak.

Panggilan pada profesi ini meminta sejumlah persyaratan yang tidak ringan. Wartawan haruslah seorang generalis, yang tahu sedikit tentang banyak hal. Bukan sebaliknya seorang spesialis yang tahu banyak tentang apa yang sedikit. Dia juga bukan seorang dengan mental easygoing, yang hanya mau gampang tanpa suka berlelah-lelah. Ketajaman feeling news seorang wartawan diuji dalam rentang waktu lama di lapangan, bukan dengan duduk manis di belakang meja.

Lebih jauh dari itu, wartawan harus menempatkan kebenaran di atas segala-galanya. Di tangan wartawan profesional, sebuah berita lebih dari sekadar informasi. Berita dan kebenaran adalah dua hal berbeda. Berita hanya memberi isyarat. Fungsinya hanya menarik perhatian terhadap sebuah peristiwa. Sebaliknya kebenaran menukik ke dalam apa yang menjadi berita. Jika berita hanya berfungsi menarik perhatian dan memberi isyarat, maka kebenaran berfungsi membawa ke permukaan atau mengungkapkan fakta-fakta yang tersembunyi.

Dalam konteks seperti ini sebuah berita atau informasi yang datang dari media sosial, atau juga bahkan media online, mesti diserap dengan teliti, dicerna dengan cermat dan disaring dengan hati-hati untuk memastikan kebenarannya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved