Pemuda, Imajinasi, Perjuangan
Suatu hari, seorang novelis belia menyatakan bahwa Indonesia merdeka berkat perjuangan kelompok religius.
Pada satu kelompok, misalnya, begitu mendengar Indonesia merdeka beberapa anak muda yang menggebu-gebu ingin melakukan sesuatu berkumpul.
Mereka pun membentuk tentara dengan mengajak kerabat, sepupu, dan teman untuk bergabung.
Tentu saja tak ada pemeriksaan, seleksi, atau pelatihan profesional. Bahkan, sosok komandan dipilih berdasarkan siapa yang paling berwibawa di antara mereka.
Citra dari kelompok-kelompok pejuang ini, di antara orang-orang yang langsung menjumpainya, pun lebih menyerupai jagoan.
Laporan seorang jurnalis yang ditemukan Steedly, misal, menuturkan para pejuang di Sumatera Timur tampil memakai bot dengan dua revolver di sisi kiri dan kanan pinggangnya.
Kemiripan mereka dengan koboi bukan kebetulan. Jurnalis bersangkutan lanjut memaparkan, para pemuda ini memang terinspirasi figur-figur jagoan dari kebudayaan populer seperti jago tembak Amerika, laskar Islam, samurai, dan sejenisnya.
Satu hal jelas di sini. Dengan perjuangan mereka, para pemuda ini berhasrat mengejar citra diri yang gagah.
Satu artikel bertajuk "Sikap Angkatan Muda", yang terbit tahun 1946 di sebuah media nasionalis, bahkan mengungkapkannya dengan lebih benderang.
Artikel tersebut menyerukan kepada para pemuda, "Bentuklah jiwamu menjadi Diponegoro muda, Teuku Umar muda, Tuanku Imam Bondjol muda."
Periode kemerdekaan dan imajinasi perang, kalau boleh saya mengartikannya, menjadi panggung bagi para pemuda untuk merasa dirinya adalah seseorang.
Kendati kita bisa mengatakan inisiatif perjuangan didorong oleh kebutuhan para pemuda untuk memaknai hidupnya, persoalannya, dampak gawatnya nyata.
Perang berarti melenyapkan pihak tertentu. Harus ada mereka yang menjadi musuh, korban, disingkirkan.
Dengan kenyataan para pejuang ini bukan tentara yang terorganisasi, tak heran yang juga acap berkecamuk pada periode itu bukanlah perang terhadap pihak lain melainkan terhadap diri sendiri-terhadap imajinasi ihwal "yang lain".
Pembakaran jamak terjadi terhadap permukiman dan toko-toko warga Tionghoa. Satu kesaksian yang ditemukan James Siegel bercerita, camat sebuah daerah di Jawa Barat yang berpihak pada republik harus menyelamatkan warga Tionghoa di tempatnya dengan mengungsikan mereka.
Para pejuang mendirikan pos di mana-mana, yang mengharuskan orang lewat menyapa "merdeka" agar tak disangka antek Belanda.