Pemuda, Imajinasi, Perjuangan

Suatu hari, seorang novelis belia menyatakan bahwa Indonesia merdeka berkat perjuangan kelompok religius.

Editor: Rosalina Woso
Didie SW/Kompas
Ilustrasi 

Belum lagi imajinasi kita perihal periode sejarah yang penting dalam pembentukan republik menjadi berwajah laki-laki-maskulin.

Kita tak ingat dengan andil perempuan yang dibuktikan oleh beberapa penulis sejarah juga vital.

Bagaimana dengan perjuangan intelektual menyemai embrio gagasan kemerdekaan melalui jurnalisme serta kesusastraan yang dicap Belanda liar? Dengan sendirinya pula ia menjadi redup.

Alasannya pun absurd jika dipikir-pikir. Sesederhana halaman-halaman sejarah ini: membosankan.

Tidak dramatis jika dibandingkan dengan perjuangan berbentuk perang dan angkat senjata.

Apabila perjuangan kemerdekaan yang akan terus diceritakan sepanjang republik ini ada tak pernah tanggal kelekatannya dengan perang, saya khawatir ia membiasakan kita untuk menganalogikan apa-apa dengan perang.

Kerugiannya? Persoalan apa pun, kerugiannya, akan dianggap dapat dipecahkan dengan memenangi perang yang berarti menyingkirkan "yang lain".

Kita tahu, logika yang demikian bukan hanya menyederhanakan. Ia fatal. Apakah kita dapat membayangkan mentalitas demikianlah yang diinginkan para pendiri republik agar dimiliki oleh pemudanya di masa mendatang? Jelas, tidak!

Tidak untuk satu komunitas besar yang kemajemukannya tak terkira-Indonesia. Tidak di satu negeri di mana seseorang yang paranoid dengan liyan dapat menciptakan musuh tanpa akhir.

"Revolusi," ujar Pramoedya dalam orasinya untuk pemuda di 2002, toh, "tak harus dengan kekerasan.". (Kompas.Com)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved