MAUMERE JAZZ FIESTA DI HUTAN BAKAU
Jaduk Jatuh Cinta pada Lida dan Tuan (2)
Mendengarkan alunan suara para penyanyi jazz yang tampil solo dan kolaborasi membawakan lagu-lagu daerah di Flores, membuat siapapun yang asalnya dari
Ini (alat musik) Maumere punya Indonesia. Saya datang ke Maumere saya belajar lagi tentang kebhinekaan. Warna musiknya benar-benar menggambarkan kebhinekaan itu.
POS KUPANG.COM -- Menikmati alunan suara musik jazz di berbagai event dan tempat sebenarnya hal biasa.
Semua penyanyi jazz menampilkan karakter dan kekhasan suaranya. Panggung musik Maumere Jazz Fiesta, Minggu (16/10/2016), yang menyedot perhatian ribuan pasang mata menampilkan hal berbeda. Hadirnya Trie Utami, Syaharani, Andre Hehanusa, Ivan Nestorman and Friends, Djaduk Ferianto, Ras Muhamad, dan Barry Likumahuwa, telah menjadi mangnet bagi penonton untuk berbondong-bondong datang ke sana.
Tidak hanya jaminan tontonan yang bermutu, pesta jazz kali ini memang beda dengan pesta jazz di kebanyakan tempat. Umumnya pesta jazz dilaksanakan di hotel dan restoran, lapangan olahraga atau gedung megah. Di Maumere justru lokasi yang dipilih adalah kawasan hutan bakau di pesisir pantai utara Laut Flores, sekitar 31 kilometer arah utara Kota Maumere, ibukota Kabupaten Sikka.
Mendengarkan alunan suara para penyanyi jazz yang tampil solo dan kolaborasi membawakan lagu-lagu daerah di Flores, membuat siapapun yang asalnya dari Pulau Nusa Bunga, bangga bukan kepalang. Ternyata lagu-lagu daerah Flores kaya dalam lirik dan pesannya.
Trie Utami membuka penampilan menyanyikan lagu berbahasa Flores Timur, Doan Kae, mengisahkan bahwa kita boleh saja berjalan jauh ke luar daerah. Kalau sudah berhasil jangan lupa pulang kampung halaman. Tak hanya lagu yang sarat nasehat kepada para petualang, Iie, sapaan Trie Utami, mengenakan rok tenunan Lamalera, Kabupaten Lembata mengaku bangga dengan kainnya. Motifnya kain paus dan ikan pari adalah gambaran keseharian masyarakat Lamalera.
Iie bahkan piawai bercerita tentang perjuangan kaum pria (lamava) ketika ada teriakan baleo-baleo, mereka sigap bergerak menuju tempat penyimpanan peledang (perahu) guna mengejar ikan paus.
"Flores punya alam yang indah dan budaya berenaka ragam. Saya harap kita semua bisa menjaganya," kata Iie.
Syaharani justru membuat suasana sore merayap malam di pantai menjadi panas di bawah terangnya purnama pertama. Menyanyikan lagu berbahasa Manggarai, Syaharani berjingkrak-jingkrak turun ke pasir mengajak penonton menari. Yang paling ditunggu kemunculan Jaduk Ferianto, berkolaborasi dengan Dj Emil & Satu Sikka Orkestra. Emil, anak kampung asal Nita mulai memperkenalkan satu per satu alat musik tradisional Sikka yang akan dimainkannya.
Gong dan waning, gendang dan suling, letor (belahan bambu atau kayu), jelas Emil, sudah diketahui umum masyarakat Sikka. Namun, malam itu, Emil membawa sebatang balok kayu yang disebut tuan mengapit benang tenunan yang sering digunakan kaum ibu di kampung-kampung untuk menenun sarung.
"Saya juga bawa lida (nyiru terbuat dari anyaman bambu) dan beras. Beras ditampi, kata orang Sikka sisi dan sea. Alat-alat yang biasa ini kalau dikolaborasi menghasilkan suara musik yang bagus," ujar Emil dalam bahasa Sikka, yang mengocok perut penonton. "Nanti bisa dengarkan ketika semua alat musik sudah dimainkan," tambah Emil.
Jaduk mengikuti semua penjelasan Emil. Lagu pembuka kolaborasi ana rinting teo, sukses disusul lagu kedua, ketiga dan keempat. Syaharani dan Ivan Nestroman menutupnya dengan lagu Rempe Sikka, dalam iringan Satu Sikka Orkestra.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Prof.Dr.Bambang Brodjonegoro, para dirut bank pemerintah, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, Ketua Komisi XI DPR RI, Melchias Markus Mekeng, Bupati Sikka,Drs.Yoseph Ansar Rera, dan ribuan penonton seolah dihipnotis dengan kolaborasi yang begitu apik. Semua menarik napas, kemudian tepuk tangan membahana.
Jaduk yang telah puluhan tahun malang-melintang dengan kolaborasi musik modern dan tradisional mengaku malu menyaksikan paduan indah Satu Sikka Orkestra. Datang ke Sikka, kata Jaduk, seolah ia harus berlajar lagi memahami keanekaragaman musik tradisional.
"Ini (alat musik) Maumere punya Indonesia. Saya datang ke Maumere saya belajar lagi tentang kebhinekaan. Warna musiknya benar-benar menggambarkan kebhinekaan itu. Yang punya Indonesia ya Maumere. Saya baru tiga hari di sini, saya orang Jawa malu berguru lagi ke sini. Warna musiknya luar biasa. Maumere yang punya Indonesia ini," ujar Jaduk disambut tepuk tangan dan teriakan sukacita penonton.
