Publik Semakin Rasional dalam Memilih

Preferensi publik menentukan calon kepala daerah yang akan dipilih pada Pilkada 2017 mulai bergeser

Editor: Rosalina Woso
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Ilustrasi pemungutan suara: Warga memberikan suara saat simulasi pemungutan suara di TPS Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (3/3/2013). 

Sejarah bangsa selama ini sangat kental dengan sistem pemerintahan feodal, yang suksesi kepemimpinannya berputar di level elite dengan berdasar pada garis keturunan dan kedekatan dengan penguasa politis.

Bahkan, kondisi ini masih dilembagakan selama Orde Baru hingga berlanjut setelah reformasi sampai tahun 2004.

Suara rakyat tak perlu didengar dan rakyat diposisikan sebagai penerima skenario yang dibuat dan dilakonkan kelompok elite.

Pemimpin, dari level daerah hingga negara, menikmati tempat di strata lebih tinggi di atas warganya dalam tatanan sosial.

Kedua pihak kemudian memainkan peran selayaknya raja dan rakyat yang dianggap lazim dalam budaya politik bangsa ini selama berabad-abad. Demikianlah realitas sosial yang sudah kuat terkonstruksi dalam masyarakat.

Praktik demokrasi yang sudah berjalan lebih dari satu dekade terakhir pelan-pelan mulai mempertanyakan konstruksi tersebut.

Kesadaran akan nilai suara bagi perubahan membuat sebagian warga mulai memakai timbangan sebelum menentukan pilihan.

Potret tersebut tertangkap pada hasil jajak pendapat Kompas terhadap 653 responden yang diselenggarakan pada 5-7 Oktober 2016.

Namun, fakta menunjukkan, banyak kepala daerah yang justru gagal membuktikan kepemimpinan yang baik.

Kemendagri mencatat, hingga awal tahun 2015 ada sebanyak 343 kepala daerah tersangkut masalah hukum. Sebagian besar di antaranya tersandung masalah pengelolaan keuangan daerah.

Strategi pemenangan

Setelah mencermati preferensi publik akan kriteria pemimpin, strategi disusun untuk memenangi pertaruhan.

Meminjam pemikiran Pierre-Felix Bourdieu yang membedah dunia sosial di masyarakat dari interaksi bagian-bagian yang ada di dalamnya.

Bourdieu melihat adanya perebutan kuasa dalam arena yang mendorong penggunaan strategi memainkan kapital (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik).

Para calon kepala daerah pada Pilkada 2017 memasuki arena dengan warna yang sedikit beda. Publik memiliki bayangan ideal sosok pemimpin yang berprestasi, demokratis, dan egaliter yang menggambarkan penekanan pada pertimbangan lebih rasional.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved