Publik Semakin Rasional dalam Memilih

Preferensi publik menentukan calon kepala daerah yang akan dipilih pada Pilkada 2017 mulai bergeser

Editor: Rosalina Woso
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Ilustrasi pemungutan suara: Warga memberikan suara saat simulasi pemungutan suara di TPS Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (3/3/2013). 

Hanya 53,5 persen responden yang menjawab kriteria tersebut penting. Begitu juga kriteria kekayaan.

Hanya 46,9 persen responden yang menyatakan penting bahwa seorang calon kepala daerah harus kaya.

Sementara untuk kriteria calon kepala daerah harus diusung dari partai yang dipilih responden, hanya 4 dari 10 responden menjawab penting.

Konfigurasi jawaban responden tersebut menunjukkan responden mulai meninggalkan sentimen subyektif bersifat tradisional, di mana aspek kesamaan emosional antara responden dan calon menjadi acuan utama memilih.

Menempatkan kriteria prestasi dan santun pada sosok calon kepala daerah berarti responden mulai bersikap rasional dengan memprioritaskan kinerja dan citra sebagai acuan utama memilih.

Konstruksi pemimpin

Dengan menggunakan kacamata teori konstruksi realitas sosial tampak proses dialektika dalam mengonstruksi realitas mengenai sosok pemimpin ideal.

Dalam bukunya yang berpengaruh The Social Construction of Reality (1966), Peter L Berger dan Thomas Luckmann menjelaskan relasi antara individu dan masyarakat mendefinisikan realitas sosial.

Karakter Presiden Indonesia bisa menjadi ilustrasi. Dengan gayanya yang berwibawa, tetapi berjarak, Presiden Soeharto membangun gambaran sosok pemimpin seperti raja.

Definisi yang diterima sebagai realitas oleh masyarakat ini sempat goyah dengan gaya Presiden Abdurrahman Wahid yang bertolak belakang. Namun, masa kepemimpinannya yang singkat tak sempat mengubah konstruksi.

Dialektika terjadi pada masa Jokowi, yang bersamaan dengan munculnya pemimpin daerah bergaya sama. Kriteria seorang pemimpin ideal berada di ruang diskusi terbuka.

Selain penekanan pada jejak kinerja/prestasi, konstruksi sosok pemimpin daerah yang saat ini mengemuka adalah kesiapan melayani rakyat.

Lebih dari 85 persen responden menganalogikan pekerjaan kepala daerah sebagai pelayan, hanya 11 persen yang masih memandangnya seperti raja.

Pilkada yang dimulai sejak Juni 2005 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuka pintu masyarakat untuk berpartisipasi aktif memilih pemimpin mereka.

Dari sisi politis, ini menjadi kesempatan membangun demokrasi. Sementara secara sosiologis masyarakat "dipaksa" menimbang pilihannya.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved