Reshuffle Emosional?
Saya mencoba tidak emosional mengkritisi reshuffle Mendikbud ini agar tidak terjebak dalam situasi yang sama dengan Presiden
Oleh: Damianus D. Samo
Mahasiswa Pasca Sarjana UPI Bandung
OPERASI senyap yang tidak rahasia, penuh intrik, negosiasi, kompromi dan transaksi bernama reshuffle akhirnya terwujud tanggal 27 Juli lalu. Sebuah tanggal yang tidak kebetulan tentunya bagi seorang Presiden Jokowi. Dan terjadilah reshuffle tersebut yang akhirnya menghadirkan beberapa muka baru dan sebagian besar muka lama yang hilir mudik dalam pemberitaan media, baik sebagai politisi maupun profesional berprestasi.
Sebenarnya peristiwa reshuffle adalah hal yang biasa dalam sistem kekuasaan presidensil yang menempatkan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang memberi kekuasaan presiden untuk memilih para pembantunya yang mampu menerjemahkan visi Presiden dalam membawa bangsa ini pada cita-cita kemerdekaan. Tidak ada visi menteri, yang ada visi Presiden yang membuat reshuffle jilid pertama menelan korban beberapa menteri yang dinilai tidak mampu berjalan selaras dengan visinya bahkan berlari dengan visi masing-masing. Tampak mengejutkan karena beberapa menteri yang diganti adalah menteri yang cukup dekat dengan Presiden, memiliki ciri pekerja dalam diam dan memiliki kinerja baik di mata semua orang yang mengenal dan bergelut dalam bidang yang dipimpinnya. Sebut saja salah satunya Mendikbud Anies Baswedan.
Saya mencoba tidak emosional mengkritisi reshuffle Mendikbud ini agar tidak terjebak dalam situasi yang sama dengan Presiden atau dengan mereka yang membisiki bahwa Mendikbud layak diganti. Anies Baswedan adalah salah satu tokoh dekat Presiden ketika mencalonkan diri pada 2014, dengan latar belakang pendidikan yang brilian, muda, memiliki gagasan cemerlang untuk pendidikan Indonesia. Anies Baswedan identik dengan Gerakan Indonesia Mengajar yang merupakan gerakan mengajar bersama masyarakat yang berikhtiar untuk ikut berperan aktif mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai wujud upaya melunasi janji kemerdekaan, telah meletakkan dasar penting dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Sebuah gerakan semesta yang menyadarkan kita akan pentingnya pendidikan adalah tanggung jawab bersama bukan semata tanggung jawab guru di sekolah. Tercatat paling tidak beberapa gebrakan penting selama 20 bulan masa menjabat yang patut diapresiasi, antara lain, kebijakan UN yang bukan lagi menjadi penentu kelulusan, Ujian Nasional Perbaikan, Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN), Sekolah Aman, PAUD O Kilometer, Gerakan Literasi Sekolah, penghapusan perploncoan dalam MOS, juga gerakan mengantar anak di Hari Pertama Sekolah dan terakhir revisi Kurikulum 2013.
Gebrakan terakhir yang menjadi gebrakan pertama seorang Anies Baswedan bahkan belum selesai dan belum diimplementasikan dan akan menjadi pertanyaan banyak orang, bagaimanakah nasibnya? Akankah stigma ganti menteri ganti kurikulum menjadi stigma yang kekal? Stigma ini melekat di kepala hampir semua masyarakat Indonesia. Sebuah ungkapan spontanitas yang didasarkan pada kenyataan perubahan kurikulum dalam durasi yang begitu cepat. Tercatat paling sedikit telah terjadi 11 perubahan kurikulum sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini yang merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan Iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.
Anies Baswedan bekerja dalam diam. Jauh dari kontroversi dan polemik. Tidak dalam konsep retorika kemudian bersembunyi dan diam. Alasan klise pemerintah demi percepatan dan ekspektasi lain yang diinginkan menjadi lemah ketika yang kita bicarakan urusan manusia dan fisik pembangunan. Dalam pengantar pidato reshuffle kabinet, bagi saya, tujuan Presiden berkaitan dengan alasan reshuffle yang dikaitkan dengan pengurangan kesenjangan ekonomi, memperkuat ekonomi nasional guna menghadapi tantangan global, membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga membutuhkan kecepatan dalam bertindak dan memutuskan sesuatu yang efeknya langsung dirasakan oleh rakyat, sehingga kabinet bekerja cepat, efektif dan solid nampaknya menjadi mentah ketika kita mengaitkan antara tujuan jangka panjang dan pendek dalam pembangunan sebuah negara. Bahwa membangun manusia bukanlah pekerjaan setahun dua tahun, mendidik guru bukanlah pekerjaan seminggu pelatihan selesai, membentuk karakter bukanlah pekerjaan 8 jam cukup di kelas. Persoalan ini adalah pekerjaan rumah besar yang membutuhkan proses yang konstan, kontinu dan terevaluasi. Dan pertanyaan mengapa Anies Baswedan, tidak akan terjawab hingga kita lupa bahwa kita pernah mengungkapkan pertanyaan tersebut.
Apakah reshuffle ini emosional? Pertanyaan ini hanya Tuhan dan Presiden saja yang mampu menjawabnya. Seperti kata Anies, pencopotan dirinya bukan karena kinerja, melainkan mungkin saja ada kepentingan lain atau ada yang harus diakomodasi, ada keperluan lain yang mengharuskan ada orang lain berada di tempatnya. Apapun sangkaan kita, Presiden telah menunjuk Mendikbud yang baru. Pimpinan baru tentu memberi harapan baru, memiliki cara pikir baru dan tentu punya porsi yang besar dalam menentukan ke mana arah pendidikan kita.
Kita tidak kekurangan orang pintar dan dari banyak itu, banyak pula yang menyimpan amunisi kepintarannya sebagai senjata yang siap membidik mati orang lain ketika menggantikan posisinya dan akhirnya kita terjebak dalam keadaan baru lagi dan lagi serta salah lagi dan lagi.
Kita sedang berupaya membangun pendidikan yang humanistik. Sebuah desain konseptual kurikulum yang menyangkut tujuan pendidikan yang mungkin berubah harus didasarkan pada semangat Paulo Freire yang mengatakan bahwa pendidikan bertujuan memenusiakan manusia, membangkitkan kesadaran kritis dan transformatif untuk mengubah nasib kehidupan yang sedang terpuruk menuju kebangkitan dan mengangkat masyarakat tertindas menuju kelas yang bermartabat dan berkemanusiaan, memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya, baik untuk dihormati, dihargai maupun beraktualisasi diri. Kita sedang menuju konsep membentuk karakter bangsa sesuai visi Revolusi Mental Presiden yang dimulai dengan perubahan paradigma dalam keluarga sebagai unit terkecil yang harus membentuk anak dengan sikap dan daya pikir.
Kita sedang menuju cita-cita guru yang profesional yang memiliki hati, integritas dan kemampuan menjadi guru dengan konsepsi membawa keseharian hidup ke ruang kelas, bukan membawa siswa ke dalam kotak tertutup bernama kelas. Seperti kata para pendahulu kita, negara kita dibangun dari ruang kelas.
Banyak catatan perubahan yang harus dibuat dan tentunya tidak instan. Saya tidak skeptis dengan apa yang baru karena bagaimana pun setiap orang memiliki gagasan baik untuk pembangunan pendidikan kita asal tidak emosional. Selamat bekerja Pak Muhajir. Terima kasih Pak Anies.*