Urgensi Haluan Kebijakan

Tema ini terasa penting untuk didiskusikan saat ini ketika kebijakan yang dibuat oleh pemerintah nampak tidak jelas dan simpang siur.

Editor: Dion DB Putra

Oleh Laurensius Sayrani
Peneliti Bengkel APPeK; Kandidat Doktor Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM

POS KUPANG.COM - Beberapa waktu yang lalu, saya diminta oleh panitia Fisip Undana dan Tim Pengkajian MPR untuk membahas reformulasi GBHN dalam sistem perencanaan Indonesia. Tema ini terasa penting untuk didiskusikan saat ini ketika kebijakan yang dibuat oleh pemerintah nampak tidak jelas dan simpang siur.

Sebagai contoh, kita agak sulit memahami ketika Presiden Joko Widodo dengan Nawacita-nya serta tol laut sebagai salah satu isu utamanya "diserobot" oleh kebijakan untuk membangun kereta api cepat Jakarta -Bandung yang terkesan tiba-tiba. Apa pula yang bisa kita pahami ketika pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt nampak simpang siur bahkan di antara para menteri terkait.

Paradoks Sistem Kebijakan Pluralis
Memasuki era reformasi saat ini, situasi politik dan kebijakan di Indonesia justru memperlihatkan wajah yang paradoks. Di satu sisi, demokratisasi di Indonesia membuat sistem politik dan perumusan kebijakan di berbagai level menjadi arena yang lebih plural. Arena kebijakan menjadi terbuka yang memungkinkan perluasan aktor dalam konstelasi kebijakan.

Pada batas tertentu, sepertinya nyaris tidak ada satu aktor dominan yang mampu "memveto" aktor yang lain. Kebijakan akan terumuskan ketika semua kekuatan dan arus kepentingannya bertemu pada satu arus yang sama sebagaimana yang ditesiskan Kingdon (1984) dengan teori policy window-nya.

Namun kalau kita jeli melihat fenomena ini, justru dalam situasi pluralis semacam ini, konstelasi antar aktor menjurus pada apa yang oleh Bachrach dan Baratz (1963) sebagai fenomena non decision making, dimana muncul semacam proses pembatasan dan penyingkiran agenda kebijakan dari aktor yang beragam tersebut. Fenomena ini dimungkinkan terjadi karena demokratisasi yang saat ini berkembang ditopang oleh dua hal sekaligus yaitu liberalisasi politik di satu sisi yang secara bersamaan membuka penentrasi kekuatan-kekuatan modal dalam politik dan kebijakan di sisi lainnya.

Implikasinya adalah dalam sistem kebijakan kita, pluralitas aktor dihasilkan, namun secara bersamaan justru ditopang oleh kapasitas akses dan kontrol yang timpang antara aktor yang timpang.

Personalisasi Kebijakan
Bersamaan dengan itu semua, kecenderungan lompatan kebijakan yang dibuat pemerintah menandakan munculnya situasi personalisasi kebijakan oleh aktor kebijakan terutama secara formal seperti presiden atau pada level yang lain bisa kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota). Personalisasi kebijakan, secara sistemik dipahami ketika desain kebijakan di Indonesia saat ini tidak memberi ruang yang cukup memadai untuk adanya timbal balik antar lembaga kekuasaan dalam mendesain kebijakan.

Dalam desain sistem presidensial Indonesia saat ini, secara formal presiden nyaris memegang semua instrumen kebijakan mulai dari penyusunan RPJP, RPJM, APBN serta implementasinya tanpa mekanisme "balikan" yang komprehensif. Situasi ini dibayangkan akan membuat eksekusi pembangunan menjadi efektif dengan sedikit gesekan terutama secara politik.

Meski demikian, personalisasi kebijakan menjadi sesuatu yang tidak terkendali ketika di aras informal, determinasi aktor-aktor politik dan ekonomi secara personal atau kelompok yang memiliki sumber daya politik, ekonomi maupun keduanya justru memiliki akses memadai bahkan mendikte ruang formal perumusan kebijakan publik yang dihasilkan pemerintah. Gejala ini bisa dikenali dari menguatnya pilihan kebijakan pragmatis, dadakan, tidak strategis yang boleh jadi dibangun semata-semata oleh kepentingan ekonomi politik. Persis di titik inilah inkonsistensi, penyimpangan dan bahkan penyalahgunaan kebijakan terbuka lebar.

Haluan Kebijakan
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah masalah inkonsistensi dan pragmatisme kebijakan yang dialami Indonesia saat ini dapat diatasi dengan "menghidupkan" kembali GBHN (ala Orde Baru)? Apakah sistem dan mekanisme perencanaan saat ini di bawah payung UU No.25 Tahun 2004 tidak bisa mengisi ruang problematika perencanaan selama ini?

Model perencanaan ala GBHN mungkin diperlukan untuk menjadi payung besar arah pembangunan Indonesia, namun di saat yang bersamaan model ini juga terasa tidak mencukupi. Model GBHN kembali diperlukan di masa kini karena dua hal. Pertama, mesti diakui bahwa desain pembangunan saat ini menyisakan celah yang tidak pernah kita sadari yaitu gap antara konstitusi di satu sisi dengan kebijakan operasionalisasinya di sisi yang lain. Konstitusi adalah substansi normatif yang berisikan harapan ideal tentang negara dikelola yang membutuhkan penjabaran dalam bentuk kebijakan publik yang dilakukan pemerintah.

Persoalannya adalah yang normatif semacam konstitusi selalu tidak pernah jelas menentukan batas-batas yang diperbolehkan atau tidak. Oleh karenanya selama ini, ketidakjelasan ini diharapkan diisi oleh arah kebijakan rezim pemerintah yang berkuasa dimana penafsirannya pun menjadi penafsiran rezim yang berkuasa. Teori tentang personalisasi kebijakan adalah manifestasi konkretnya. Celakanya, di Indonesia, pergantian rezim kekuasaan adalah pergantian kebijakan. Kebijakan diinstrumentasikan sebagai alat legitimasi rezim. Persis di titik ini persepsi tentang ketiadaan arah pembangunan menjadi nampak kuat.

Kedua, perencanaan model GBHN juga diperlukan karena landasaan utama pembangunan saat ini yaitu sistem perencanaan pembangunan (UU 25/2004) sejatinya hanya merupakan regulasi tentang mekanisme bagaimana perencanaan pembangunan di Indonesia dilakukan. Di sisi lain, kebutuhan pembangunan di Indonesia adalah pokok-pokok substansi pembangunan Indonesia yang menjadi pegangan dalam merumuskan kebijakan publik operasional.

Meski demikian, perencanaan model GBHN juga tidak mencukupi untuk konteks Indoensia saat ini. Demokratisasi membuat sistem politik dan kebijakan Indonesia yang semakin plural sekaligus deterministik, menyebabkan model perencanaan apapun akan sulit terimplementasi secara efektif sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Di saat yang bersamaan, desain desentralisasi ala Indonesia saat ini mendorong paradoks yang lain yaitu terbukanya ruang daerah mendesain pembangunannya sekaligus mempersempit ruang kendali pembangunan dalam visi bersama (Indonesia). Hal yang kemudian nampak adalah pembangunan Indonesia oleh daerah yang berjalan sendiri-sendiri.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved