Kisah Penganut Agama Leluhur Batak yang Terasing di Negeri Sendiri
Tatapan matanya tajam menghujam jantung saat pertama kali bertemu. Perkenalan diri dan sapa-sapa ringan tak dipedulikannya
POS KUPANG.COM, MEDAN -- Tatapan matanya tajam menghujam jantung saat pertama kali bertemu. Perkenalan diri dan sapa-sapa ringan tak dipedulikannya, bahkan pertanyaan-pertanyaan dijawab dengan sepatah dua patah kata.
Hampir semua orang di Istana Parmalim di Jalan Air Bersih Ujung Medan, yang juga sebagai kantor DPD Kota Medan Punguan Parmalim, berlaku sama. Mereka seakan-akan risih dengan kedatangan orang asing yang datang dengan penuh pertanyaan.
"Sudah capek kami diwawancarai, disurvei, ditanya-tanya, tak ada juganya yang kami terima. Tetap dipersulit, tetap susah, anak-anak kami diejek sampai mereka malu bilang agamanya. Udah puluhan tahun tetap begini, ganti presiden tetap tak ada perubahan sama kami," kata Simanjuntak, ulupunguan (pimpinan) Parmalim Cabang Kota Medan, Senin (24/5/2016).
Beberapa menit kemudian sikapnya mulai melunak. Duduk di bawah pohon beringin yang tumbuh di halaman komplek Parmalim, bersama segelas kopi, Simanjuntak menjelaskan, Parmalim adalah agama leluhur bangsa Batak.
Laki-laki berusia 60 tahun ini paham dan sadar penganut Ugamo Malim tidak banyak, kendati demikian, mereka harus menjadi perhatian pemerintah. Bukan malah meminggirkan mereka layaknya orang asing di negeri sendiri. Padahal bangsa asing saja hidup bebas dan merdeka di negeri ini.
"Banyak ketidakadilan sama kami! Sesuai aturan pemerintah harus memilih salah satu agama yang sudah ditentukan. Agama kami masuk golongan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi generasi muda kami, ini tidak adil. Mereka menuntut ilmu, kemudian mencari kerja, lalu didiskriminasi oleh sesama manusia," kata Simanjuntak masih dengan nada tinggi.
Memang, lanjut dia, sejak didampingi Aliansi Sumut Bersatu (ASB), sebuah lembaga yang peduli dan konsen dengan isu-isu pluralisme, anak-anak muda Parmalim sudah berani tampil dan menunjukkan siapa dirinya.
Sesuai data ASB, 5.026 jiwa atau 0,14 persen dari 12.985.075 jiwa penduduk Sumatera Utara adalah penganut kepercayaan agama leluhur seperti Parmalim, Ugamo Bangso Batak, Pemena, Habonaro Do Bona, dan lainnya.
Untuk Parmalim, penganutnya tersebar di beberapa kabupaten dan kota seperti Medan, Simalungun, Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan pusatnya di Huta Tinggi, Laguboti, Kabuten Toba Samosir.
Di Medan, ada 373 jiwa penganut Parmalim yang tersebar di 10 kecamatan, yakni Medan Amplas, Patumbak, Medan Kota, Medan Denai, Medan Marelan, Tanjung Morawa, Medan Labuhan, Medan Belawan. Sebagian masuk wilayah Kabupaten Deli Serdang, yaitu Kecamatan Sunggal dan Percut Sei Tuan.
"ASB yang mendorong anak-anak muda kami mau tampil, menunjukkan siapa dirinya, apa agamanya, tidak malu menjalankan ibadahnya. Kami harap hak kami sebagai warga negara Indonesia bisa kami dapatkan karena kewajiban kami sebagai warga negara kami laksanakan," jelas Simanjuntak.
Dia berharap kepala desa, camat dan instansi terkait memmudahkan urusan administrasi kependudukan penganut Parmalik supaya mereka bisa memenuhi kebutuhan dan keperluan hidup.
"Menurut pengetahuan kami, dasar negara kita Pancasila yang tidak membeda-bedakan suku, agama dan adat. Kenapa kami merasa asing, merasa lain, merasa bukan sebagai warga negara Indonesia, padahal kami bangga menjadi bangsa Indonesia," ucapnya dengan raut sedih.
Begitu juga dengan Arnold Purba yang ditemui di kantor DPP Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa "Ugamo Bangsa Batak" di Kelurahan Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan.
Pria berusia 50 tahun itu mengatakan, anak-anak mereka mengalami kendala dengan peraturan-peraturan pemerintah. Contohnya saat anaknya melamar pekerjaan, karena agama yang mereka anut tidak terdaftar di negara ini, maka anaknya tidak diterima bekerja.