Kisah Penganut Agama Leluhur Batak yang Terasing di Negeri Sendiri
Tatapan matanya tajam menghujam jantung saat pertama kali bertemu. Perkenalan diri dan sapa-sapa ringan tak dipedulikannya
"Saya pernah bilang, untuk apa anak-anak kami sekolah tinggi-tinggi kalau tidak adanya pekerjaan yang layak untuk mereka. Masalahnya bukan karena dia tidak mampu, atau ilmu yang dimilikinya tidak sesuai, tapi karena agamanya. Saya tidak tahu dimana hubungan agama dengan jenis pekerjaan," kata warga Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara itu.
Pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), para umatnya yang tidak mau beralih keyakinan mengisi kolom agama dengan kepercayaan, atau dikosongkan saja, atau dengan terpaksa memakai agama lain.
Memilih menggunakan agama lain menjadi pertentangan batin, tetapi terpaksa mereka lakukan demi bertahan dan mendapatkan hak-hak hidup mereka sebagai warga negara.
"ASB mengangkat masalah kami ke permukaan, biar semua orang tahu. Kami merasa beruntung mereka mau berkorban, sementara pemerintah saja tidak mau tau apa yang kami rasakan, kesulitan yang kami hadapi," ujar Arnold.
"Inikan Bhineka Tunggal Ika, dari Sabang sampai Marauke kita sama, sama-sama bayar pajak walau agamanya berbeda. Seingat saya dulu Soekarno pernah bilang, mari kita berdoa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Apa kepercayaan itu? Itulah pengikut kepercayaan leluhur," lanjut dia dengan dialeg Batak yang khas.
Arnold meminta pemerintah untuk tidak membeda-bedakan penganut agama asli Batak.
"Kami mohon kepada pemerintah supaya disamakan hak penghayat sama seperti agama lain. Kepada dinas pendidikan, para guru, maunya memberitahukan sama para anak didiknya bahwa penghayat kepercayaan itu sah di negara ini dan mereka adalah warga Negara Indonesia," tegas Arnold.
Intoleransi dan diskriminasi
Komunitas Ugamo Bangso Batak (UBB) di Sumut terdapat di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Samosir dan Kota Tanjung Balai. Jumlah total jemaat adalah 90 jiwa. Data jumlah ini sering diminta dan menjadi materi Pemerintah Indonesia, khususnya Sumut, untuk menggambarkan keberagaman Sumut sehingga bisa menjadi barometer toleransi di Indonesia.
Kenyataannya, masyarakat di Sumut sering dihadapkan dengan realitas intoleransi, diskriminasi dan pemiskinan, khususnya kepada kelompok penganut kepercayaan lokal.
"Data kami terkait inkslusi sosial yang dialami Parmalim dan UBB menunjukkan bahwa kelompok ini bermasalah di pemenuhan hak dasar dan akses ke pelayanan publik. Seperti tidak terpenuhinya hak atas identitas agama, ini merujuk ke permasalahan adminduk. Temuan kami, banyak ketidaksingkronan indentitas agama di KK dengan di KTP," kata Veryanto Sitohang, pendiri ASB.
Menurut Veryanto, kepala lingkungan (Kepling) yang bertugas mengurus KK dan KTP sering memaksa kedua komunitas penganut agama leluhur itu untuk memilih agama yang diakui negara dengan alasan supaya proses pembuatannya lebih cepat.
Banyak dari komunitas Parmalim di KK dan KTP beragama Islam atau Kristen tapi surat keterangan nikahnya dikeluarkan oleh Parmalim Hutatinggi, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Ketidaksinkronan agama ini yang selalu menjadi kendala.
Soal inklusi pemenuhan hak-hak dasar, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 merupakan produk kebijakan publik yang berusaha mengakomodir kebutuhan aliran kepercayaan di Indonesia, yaitu dengan mengosongkan kolom agama pada KTP. Namun implementasinya kebijakan tidak berjalan sesuai harapan.
"Tidak semua pelaksana kebijakan mengetahui substansi undang-undang, juga ada unsur stereotipe dari pelaksana kebijakan yang menganggap aliran kepercayaan itu sesat, ateis, bahkan komunis. Pemerintah tidak melakukan sosialisasi terkait substansi kebijakan secara holistik kepada implementor kebijakan," kata Very lagi.