Sampah dan Revolusi Mental Warga
Berbagai regulasi soal pengelolaan sampah sudah ada. Termasuk Perda Kota Kupang tentang
Oleh Isidorus Lilijawa, S.Fil, MM
Warga Kota Kupang
POS KUPANG.COM - Tanggal 25 April 2016, Kota Kupang merayakan hari ulang tahun ke-20. Di tengah kota yang kian berkembang, berbagai persoalan kota pun turut berkembang. Salah satu persoalan yang sangat terasa di kota ini adalah sampah. Sampah adalah cermin untuk menilai warga kota dan pemerintah kota saat ini.
Soal Mentalitas
Persoalan sampah di Kota Kupang cenderung berkaitan erat dengan persoalan mental warga kota. Sudah beberapa tahun jargon revolusi mental digembar-gemborkan bangsa ini. Revolusi mental sebagai daya dorong luar biasa dan pembaharuan sikap ternyata belum sepenuhnya mengubah paradigma dan sikap warga Kota Kupang dalam memperlakukan sampah. Imbauan dari pemerintah setempat sudah bahkan terus-menerus. Kinerja dinas kebersihan dinilai meningkat dalam mengatasi sampah. Gerakan Jumat bersih digalakkan.
Tetapi mengapa Kota Kupang selalu dihiasi sampah-sampah, baik di tempat-tempat pembuangan sampah yang tidak terangkut maupun di jalanan kota dan tempat-tempat publik? Manajemen pengelolaan sampah yang keliru atau mentalitas warga kota yang mangkrak?
Studi kecil yang saya lakukan terhadap manajemen sampah di Kota Kupang mendeskripsikan beberapa hal. Sistem pengelolaan sampah di Kota Kupang menggunakan pola kumpul -angkut -buang. Pengumpulan sampah dari rumah tangga atau pertokoan ke TPS dilakukan oleh warga masyarakat.
Pembuangan ke TPS dilakukan sejak pukul 19.00 -04.30 pagi dan kegiatan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA sampah dilakukan oleh petugas Dinas Kebersihan Kota Kupang dengan menggunakan truk sampah. Selanjutnya sampah dibuang ke TPA Alak yang berjarak kurang lebih 16 km dari pusat kota dan mengalami proses akhir secara kimia dan biologi.
Ada beberapa persoalan yang berkaitan dengan manajemen sampah di Kota Kupang. Pertama, pada aktivitas pengumpulan: warga tidak membuang sampah pada TPS yang disiapkan (buang di halaman rumah, lahan kosong, sembarang tempat). Warga tidak membuang sampah pada waktu yang ditentukan. Sampah yang dibuang warga belum dipisahkan antara sampah organik dan anorganik.
Kedua, pada tahap pengangkutan dari TPS ke TPA. Kendala finansial menyebabkan sampah diangkut sekali sehari sehingga selalu terlihat tumpukan sampah di mana-mana karena warga tidak membuang sampah sesuai waktu yang ditentukan. Pengangkutan sampah belum menjangkau semua wilayah di Kota Kupang (khususnya di jalan-jalan lingkungan). Selain itu, jumlah TPS yang disediakan terbatas dan sebarannya tidak merata dan tidak semua warga yang membayar retribusi sampah mendapat jasa pengangkutan sampah.
Ketiga, ada beberapa persoalan pada tahap pembuangan diantaranya TPA Alak dioperasikan dengan menggunakan metode open dumping yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa bau busuk dan menjadi tempat pembiakan bibit penyakit melalui lalat, tikus, dll. TPA Alak hanya seluas kurang lebih 5 hektar, padahal metode open dumping memerlukan lahan yang lebih besar, sehingga yang terjadi di TPA adalah penumpukan sampah. Kemudian sistem daur ulang sampah menjadi pupuk kompos sudah tidak berjalan maksimal sehingga sejak tahun 2008 sampah-sampah yang ada dibakar begitu saja.
Keempat, manajemen sampah dengan pola kumpul -angkut -buang menimbulkan banyak persoalan seperti yang disebutkan di atas. Ini mengindikasikan bahwa kinerja dinas terkait belum optimal, kesadaran masyarakat masih rendah dan komitmen pemerintah untuk mengatasi persoalan ini belum sepenuhnya terwujud. Masih sekadar wacana, dan belum ada terobosan yang jitu untuk meminimalisir problem klasik di Kota Kupang ini.
Berkaitan dengan persoalan di atas, kesimpulan sementara saya adalah buruknya manajemen sampah di Kota Kupang disebabkan oleh perilaku masyarakat. Seberapa banyak tong sampah ditempatkan di kota ini, toh orang masih buang sampah di sembarang tempat. Berikutnya adalah keteladanan.
Pemerintah seharusnya menjadi contoh bagaimana memperlakukan dan mengelola sampah di setiap kantor pemerintahan. Lantas, manajemen sampah di kota ini mau mulai dari mana jika semua komponen adalah problem maker dan bukan problem solver?
Partisipasi Warga
Banyak kalangan berpikir sampah adalah urusan remeh-temeh. Tak usah diperdebatkan. Karena selagi ada manusia pasti ada sampah. Namun dalam keadaban publik, mengelola sampah dengan baik adalah cerminan dari pengelolaan pemerintahan yang baik. Program pemerintah boleh hebat. Walikota tampil luar biasa. Tetapi jika sampah berserakan di mana-mana, orang akan menilai pemerintah gagal mengelola kota.
Revolusi mental dalam pengelolaan sampah di Kota Kupang hemat saya adalah bagaimana menggerakkan partisipasi warga dalam mengurus kota ini, termasuk mengurus sampah. Keliru jika urusan sampah hanya domain dinas kebersihan. Itu mesti menjadi tanggung jawab semua warga. Pemerintah sebagai operator mesti bisa memainkan potensi-potensi ini dengan baik.
Sudah saatnya pemerintah keluar dari cara berpikir bahwa sampah adalah problem. Jika pola pikir ini masih bersarang di kepala, maka sampai kapan pun urusan sampah di kota ini tidak akan beres. Mulailah untuk berpikir bahwa sampah adalah investasi. Dengan spirit go green, kita dapat mengubah sampah menjadi sumber daya bernilai ekonomis.