Amor Crucis et Misericordia Motus
Amor Crucis. Mencintai salib berarti mencintai Yesus. Begitu juga sebaliknya. Mencintai kedua-duanya berarti
Oleh Videntus Atawolo
Tinggal di Oepoi, Kupang
POS KUPANG.COM - Sesuai Kalender Liturgi, umat Katolik masih berada dalam Masa Paskah. Masa Paskah yang didahului dengan Rabu Abu, menyusul Minggu-minggu Prapaskah (masa puasa), hari Minggu Palem, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Alleluya dan masuk Minggu Paskah di mana semuanya disertai liturginya yang paten dan permanen, baik secara fisis dan teologis seturut aturan liturgi yang utuh menyatu dengan tradisi dan devosi; baru akan berakhir sesudah hari Minggu Paskah Ketujuh tanggal 8 Mei 2016 dan selanjutnya akan memasuki Tahun Liturgi Masa Biasa.
Oleh karena itu, hemat penulis, opini ini masih aktual bagi mereka yang percaya kepada Yesus yang bangkit serta mencintai salib dan sungguh merasa dibakar oleh rasa belaskasih Allah yang nampak dalam kematian Yesus di salib (amor crucis et misericordia motus).
Amor Crucis. Mencintai salib berarti mencintai Yesus. Begitu juga sebaliknya. Mencintai kedua-duanya berarti mencintai manusia dan martabatnya; karena itulah yang diperjuangkan Yesus dan yang menghantar-Nya kepada kematian-Nya di salib. Tidak gampang untuk membangun rasa cinta pada salib; sebagaimana tidak mudah pula manusia mencintai penderitaannya dan apalagi peduli dan berbelaskasih terhadap penderitaan sesamanya dalam tataran praksis kehidupan sehari hari. Karena salib berarti bersedia berkorban dan menanggung penderitaan dengan ikhlas untuk diri, sesama dan lingkungan hidupnya demi suatu tujuan yang mulia. Bagi mereka yang dalam keberimanannya sudah terbiasa memakai simbol (salib disertai corpus christi), misalnya, sungguh terbantu untuk melihat dan menghayati salib sebagai simbol inspiratif, reflektif dan transformatif.
Salib sebagai simbol inspiratif berarti salib mampu menggugah semangat dan daya juang manusia agar tidak terpuruk di bawah nasib buruk, melainkan salib justru menjadi sumber peneguh harapan dan keberanian hidup. Seseorang misalnya yang difitnah, tetapi ia tetap tenang dan sabar menerima fitnahan itu, karena Yesus yang ia imani ketika bergantung di salib pun masih difitnah. Salib sebagai simbol reflektif mendorong manusia untuk menjadi lebih peka, tanggap, peduli serta berdialog dengan berbagai arus perasaan dan dorongan yang berkecamuk baik dalam diri dan situasi hidup sehingga hidup tidak menjadi kering, dangkal, dan keras hati.
Artinya, pengalaman-pengalaman pahit tidak membuat manusia menjadi bagai binatang terluka, keras dan kalap berhati batu, melainkan tetap menjadi manusia yang berhati lembut dan rahim (Yeh 36:26). Artinya, manusia tidak diseret oleh kepahitan- kepahitan tersebut untuk lalu menggunakan logika kekerasan: mata ganti mata, nyawa ganti nyawa (Mt. 5: 38-42). Itulah sebabnya, segi utama yang mencuat dari kepribadian Yesus adalah kemampuan-Nya untuk mengampuni. Di kayu salib dari balik kancah penderitaan-Nya, Dia berkata: "Ya, Bapa, ampunilah mereka" (Luk. 23:34).
Selanjutnya, salib sebagai simbol transformatif mampu mengubah sikap dan perilaku manusia terhadap sesuatu. Misalnya rasa iba yang tak berdaya. Manusia sedih bila orang yang dicintainya menderita dan tak kuasa mengubah apapun selain meratap (Mat. 23: 37-39). Atau bentuk cacat badaniah, luka batin dan penindasan sosial. Atau sikap manusia terhadap kematian, misalnya, akan berubah bila fakta fatal itu lantas disimbolkan sebagai benih yang hancur di tanah agar menghasilkan buah berlimpah.
Rasul Paulus, misalnya, menafsirkan penderitaannya sebagai simbol dari partisipasi dalam penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus sehingga dia bisa berkata: "Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian; kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami (2 Kor. 4:8-9).
Misericordia motus. Analogia entis (analogi peng-ada), merupakan suatu usaha untuk mengenal Allah melalui sifat-sifat kenyataan duniawi dan manusiawi yang diterapkan kepada Allah secara superlatif, yakni mengenal Allah per remotionem et per excessum sebagaimana dikatakan St. Thomas Aquinas. Artinya, dengan menyingkirkan kekurangan yang terdapat dalam makna kata-kata, dan sekaligus dengan memenuhinya dengan sifat-sifat yang mengatasi kemampuan manusia untuk memahaminya. Dengan cara itu, Allah lantas disebut sebagai Mahasempurna, Mahabijaksana dan sebagainya.
Namun pengetahuan semacam itu baru sekedar sebagai discere divina. Yakni, pengetahuan yang "dangkal" karena hanya menyentuh kulit luar keberadaan Allah. Manusia perlu menggali lebih dalam menuju pati divina, yakni sungguh mengalami dan merasakan sendiri isi hati Allah. Pengalaman akan Allah tersebut terjadi melalui analogia doloris (analogi penderitaan), dengan jalan mengambil bagian dalam penderitaan Yesus. Rasul Paulus merumuskannya sebagai berikut, "Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat" (Kol. 1:24).
Keterlibatan dalam penderitaan menyebabkan manusia dapat sungguh mengenal isi hati Allah yang teraduk-aduk menyaksikan kemalangan umat manusia. "Aku telah memerhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang tertindas. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka" (Kel. 3:7-9).
Dengan sungguh mengenal Allah dalam diri Yesus berarti disengat oleh misericordia motus, dibakar oleh rasa belaskasihan yang menggumpal di hati Allah. Rasa belaskasihan itu tersalurkan dengan menggugat ketidakadilan dan membaktikan diri bagi proses pembebasan kaum yang tertindas: "Melakukan keadilan dan kebenaran, serta mengadili perkara orang sengsara dan miskin dengan adil, itulah namanya mengenal Aku" (Yer. 22:16).
Cinta akan salib (amor crucis) bukanlah sekedar berarti menanggung penderitaan pribadi dengan tawakal. Cinta akan salib berarti ikhlas masuk ke dalam kancah penderitaan sosial yang menghimpit nasib sesama. Motif inilah yang mendorong Musa untuk dengan ikhlas melepaskan hak dan keistimewaannya sebagai putra istana dan bergabung dengan nasib kaum budak, bangsa Israel. Getaran dan gerakan yang serupa telah menyebabkan Yesus dengan ikhlas mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba dan mati di salib (Fil. 2:6-8).
Cinta akan salib dan misericordia motus akhirnya mesti menjadi sumber inspirasi, reflektif dan transformatif bagi mereka yang percaya kepada Yesus yang bangkit untuk mengalami kehadiran Yesus dalam dunia yang sarat akan derita dan ketidakpastian dan pada momentum yang sama mewartakan kasih melalui perbuatan perbuatan baik yang berakar pada Sabda Allah sehingga sesama dan dunia boleh mengalami sukacita injili, berkat dan belaskasih seperti yang terlaksana dalam pribadi Yesus. Dengan demikian, amor crucis et misericordia motus pada akhirnya membangun dalam diri sikap "Misericordes sicut Pater" (hendaklah kamu berbelaskasih seperti Bapa-mu berbelaskasih...)*