BPJS Kesehatan "Rugi" Rp 9,15 Triliun

Prinsip asuransi dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah untuk memastikan kecukupan dana.

Editor: Dion DB Putra
Kompas.com
BPJS Kesehatan 

Oleh Vinsen Belawa Making SKM, M.Kes
Mantan Verifikator Independen Jamkesda Kota Kupang -Wakil Ketua Stikes CHMK

POS KUPANG.COM - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 9,15 Triliun dengan rincian, Rp 3,3 Triliun pada tahun 2014 dan Rp 5,85 Triliun pada tahun 2015 (Policy Brief Hasil Distric Health Account-AIPHSS 2016). Hal inilah yang menjadi pemicu akan dinaikkannya tarif BPJS Kesehatan per 1 April 2016 dengan besaran untuk kelas III Rp 25.500/orang/bulan menjadi Rp 30.000/orang/bulan. Kelas II Rp 42.500/orang/bulan menjadi Rp 51.000 dan untuk kelas I Rp 59.500 menjadi Rp 80.000/orang/bulan.

Mengapa Bisa Defisit
Prinsip asuransi dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah untuk memastikan kecukupan dana. Pertanyaannya, apakah iuran yang ditetapkan oleh pemerintah selama ini masih rendah? Apakah klaim BPJS Kesehatan selama ini sangat besar? Pada tahun 2015, iuran klaim BPJS Kesehatan mencapai hampir Rp 60 triliun, sedangkan uang yang terkumpul dari iuran peserta tidak mencapai angka tersebut.

Apakah jumlah ini sangat besar dalam skala nasional? Menurut perhitungan Akun Kesehatan Nasional (National Health Account) pada tahun 2014, belanja kesehatan Indonesia sekitar Rp 370 triliun. Mereka mencatat belanja kesehatan seluruh rakyat, baik bersumber dari dana pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan maupun rumah tangga. Hal ini berarti belanja kesehatan JKN yang Rp 60 triliun hanya 16 persen dari total belanja kesehatan seluruh rakyat yang sekitar Rp 370 triliun.

Padahal, penduduk yang dijamin oleh pemerintah sudah mencapai 156 juta atau 60 persen penduduk. Artinya total pengeluaran Negara (belanja proporsional) untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat seharusnya mencapai 60 persen dari Rp 370 triliun atau sebesar Rp 222 triliun. Sekali lagi ini artinya iuran kita masih jauh di bawah standar.

Apa yang Harus Kita Lakukan
Terlepas dari hitung-hitungan di atas, saat ini sudah terjadi pergolakan dalam masyarakat. Ada yang pro dan sudah pasti ada yang kontra. Besaran nominal iuran yang ada saat ini saja sudah membebani masyarakat (terutama peserta BPJS jalur mandiri), apalagi jika dinaikkan.

Benar kata mantan direktur RSUD Johannes Kupang, dr. Yovita Anike Mitak, MPH dalam ulasannya di harian ini, Kamis (17/3/2016), bahwa harga yang diberikan belum sebanding dengan pelayanan yang diterima. Hal ini benar-benar dirasakan oleh kita di NTT. Seakan tidak ada bedanya pada zaman Jamkesmas/Jamkesda/Jampersal dengan zaman JKN saat ini. Sarana prasarana hingga pada tataran SDM (tenaga kesehatan) serba kekurangan. Akses ke fasilitas kesehatan sangat memprihatinkan. Pasien yang tidak kuat harus ditandu, sampai-sampai ada bayi yang harus terlahir di tengah jalan.

Pada tataran fasilitas kesehatan lanjutan, ada begitu banyak pasien yang menunggu lama dalam keadaan sakit. Ada juga yang dipingpong karena salah paham petugas, alasan tidak ada tempat, dan lain-lain. Inilah realita yang memerlukan person serta semua pihak dari pusat hingga daerah.

Lantas apa yang seharusnya kita lakukan dengan dana yang minim ini? Sebuah analisis mendalam yang dilakukan oleh tim teknis Australia Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening (AIPHSS) mengungkap salah satu penyebab jebloknya pembiayaan JKN adalah kelemahan program pencegahan dan skrining Penyakit Menular (PM) dan Penyakit Tidak Menular (PTM) yang menyebabkan kasus PM dan PTM menjadi kronis dan berlanjut pada kasus rujukan yang memerlukan tindakan medis intensif dan mahal tentunya. (Tarif dalam Ina CBGs bagi penyakit kronis jauh lebih besar dari penyakit biasa lainnya)

Dari total Rp 52 Triliun pembayaran kepada BPJS tahun 2015, terdapat 23,3% untuk pelayanan primer, 7,5% untuk persalinan, 10,5% untuk penyakit kronik dan 8% untuk pelayanan intensif. Totalnya menjadi 49,3% atau setara dengan 26,3 triliun. Ke empat jenis pelyanan tersebut sebetulnya bisa dicegah dengan intervensi Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Keluarga Berencana (KB).

Sebagian besar penyakit yang diobati di Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) primer dapat dicegah dengan kegiatan promotif-preventif (promkes). Hipertensi, DM dan kanker akan lebih murah apabila ditemukan dan diobati pada fase dini. Hal ini sudah tentu memerlukan kegiatan skrining dan promotif preventif di tengah masyarakat. Apabila semua pihak terutama pemerintah lebih memperhatikan hal yang ada di hulu (orang yang sehat agar tetap sehat), maka saya yakin walaupun dengan dana yang ada saat ini kita tidak akan defisit dan sebaliknya kita pasti mampu berjalan menuju derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Salam Sehat!

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved