Ancaman Mental Mekanik Pejabat bagi Kepala Daerah
Salah salah satu bentuk penataan birokrasi bisa saja dimulai dari penunjukan dan penempatan
Oleh Marianus Mantovanny Tapung
Mahasiswa S3 UPI Bandung
POS KUPANG.COM - Parade pelantikan para kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 9 Desember 2015 lalu sudah berlangsung. Sebagai kepala daerah, tentu banyak agenda yang harus segera diimplementasikan sesuai amanah visi misi dan janji-janji kampanye.
Dengan itu, euforia dan sukacita pelantikan sebaiknya tidak berlama-lama. Konsolidasi, koordinasi dan (re)strukturisasi kerja dengan pihak-pihak terkait di daerah menjadi sebuah kemendesakan, dan penting untuk segera dilakukan. Salah satu bentuk konsolidasi, koordinasi dan (re)strukturisasi yang perlu dilakukan oleh kepala daerah adalah penataan dan proses 'recovery' birokrasi pemerintahan yang sudah mengalami 'porak poranda' pada masa-masa Pilkada.
Salah salah satu bentuk penataan birokrasi bisa saja dimulai dari penunjukan dan penempatan pejabat-pejabat pemerintah yang kompeten dan profesional di bidangnya untuk menduduki jabatan strategis di instansi/unit kerja tertentu.
Dalam perspektif konstruksi pemerintahan modern dan sesuai tuntutan good and clean governance, penunjukan dan penempatan pejabat dengan pertimbangan the right man on the right place, yang dapat dijaring melalui uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test), merupakan conditio sine qua non. Untuk beberapa wilayah di Indonesia, seperti yang telah dilakukan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di DKI Jakarta, penunjukan dan penempatan pejabat pemerintahan dibuat secara ketat melalui sistem lelang jabatan dengan menguji tingkat kompetensi dan profesionalitas (kapasitas dan kapabilitas) dan kinerja sebelumnya dari para calon pejabat.
Bahkan, pada negara-negara tertentu sudah menerapkan sistem meritokrasi, di mana seseorang dipercayakan untuk menduduki sebuah jabatan, murni karena prestasi (kinerja) yang pernah dicapai dalam bidangnya.
Urgensi Birokrasi Berbasis Kompetensi, Profesionalitas dan Kinerja
Pendekatan penataan birokrasi dengan berbasis pada kompetensi, profesionalitas dan kinerja sudah sangat umum dan modern dilakukan di negara-negara yang sudah berkembang wawasan kepemerintahan dan politiknya. Berdasarkan studi teoretik dan faktual, penerapan model penataan birokrasi pemerintahan seperti ini dapat bertujuan untuk: pertama, membangun sistem birokrasi yang kuat, kompeten, dan profesional sesuai dengan tuntutan pola-pola kepemerintahan modern. Kedua, membangun postur birokrasi ramping, tetapi efektif dan efisien; miskin struktur tetapi kaya kinerja.
Ketiga, membangun sistem kerja pemerintahan yang bersih, baik dan etis (good, clean, and ethical governance) dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas.
Keempat, membangun etos kerja organik, di mana para pejabat pemerintahan bekerja karena totalitas, dedikasi, dan passion yang tinggi terhadap pembangunan masyarakat daerah. Para pejabat bekerja selain karena tuntutan jabatannya, tetapi lebih dari itu, sebagai bentuk aktualisasi diri yang total untuk melayani dan mengabdi kepada masyarakat. Pejabat bermental kerja organik adalah mereka yang memiliki integritas kepribadian dan kredibilitas dalam mengemban jabatannya.
Pentingnya menerapkan sistem birokrasi yang merujuk pada kompetensi, profesionalitas dan kinerja ini, selain untuk tujuan-tujuan di atas, sebenarnya bermanfaat secara personal bagi para kepala daerah. Menurut saya, manfaat yang pertama adalah menghilangkan beban 'janji politik' yang sudah dilontarkan secara sengaja atau tidak sengaja pada masa-masa kampanye kepada pribadi-pribadi untuk menduduki jabatan tertentu. Beban 'janji politik' ini sangat berat, bahkan bisa menjadi buah simalakama bagi kepala daerah.
Banyak pemerintahan yang tidak berjalan dengan baik hanya karena terjerembab dalam politik balas budi dalam membangun sistem birokrasi pemerintahannya. Secara faktual empirik, sistem politik birokrasi pemerintahan yang dibangun dengan semangat 'saya memberi supaya engkau memberi' (do ut des) akan menjadi pedang bermata dua bagi kepala daerah dan masyarakat yang dipimpinnya.
Selanjutnya, bila dikaji dari perspektif revolusi mental ala pemerintahan Jokowi-JK, manfaat dari penerapan sistem birokrasi yang berbasis kompetensi, profesionalitas dan kinerja ini adalah bagian dari upaya mengeliminasi mental mekanik yang lagi mewabah dalam diri para pejabat pemerintahan saat ini. Mental mekanik adalah mental yang terkondisi oleh automatically system dari sebuah sistem kepemerintahan. Ada pejabat yang melakukan tugas utama, pokok dan fungsinya hanya karena jabatan yang melekat padanya. Kreativitas, inisiasi, kemandirian, dan dedikasi sering mengalami proses degradasi dan hibridisasi (kebiri) oleh mental mekanik ini.
Mental mekanik ini secara masif membangun kultur senang membuat 'asal bapak senang', bahkan secara struktural dan sistematis membangun 'kerajaan kecil' di instansinya. Selain itu, mental ini secara laten membentuk egosektoral dan arogansi pada pribadi pejabat yang tergambar dalam perilaku mati-matian mempertahankan jabatan, meskipun mengalami 'gagal kinerja', terindikasi korup dan berperilaku amoral. Bentuk-bentuk lain sebagai polarisasi dari mental ini adalah mental proyek, mental studi banding, mental SPPD, mental konsultasi, mental reses, yang lebih berorientasi uang daripada asas manfaatnya.
Mental Mekanik: Momok bagi Masyarakat
Tentang mental mekanik ini, saya mengelaborasinya dari pandangan Antonio Gramsci (1891-1937). Menurutnya, mental mekanik adalah cerminan dari pribadi oportunis, pragmatis, yang menggunakan segala macam cara, taktik, dan strategi untuk mengekalkan posisi, jabatan dan kekuasaan pada instansi negara dan masyarakat. Mereka mengeksploitasi pengaruh dirinya untuk kepentingan jabatannya sehingga cenderung terlibat dalam konflik kepentingan (conflict of interest).
Menurut Nietzche (1844-1900), mental mekanik merupakan manifestasi dari nafsu yang besar untuk berkuasa (will to power). Secara sosiologis, mental ini merupakan hasil dari bentukan sosial budaya dari suatu masyarakat yang sudah terkontaminasi dengan gejala pragmatisme, instantisme, hedonisme dan konsumerisme.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/para-bupati-diilantik_20160217_231534.jpg)