Bisakah NTT Terbebas dari Gizi Buruk?

Kekurangan atau kelebihan dalam jangka waktu lama tentu akan berakibat buruk terhadap kesehatan.

Editor: Dion DB Putra
Kompas.com
Silvester Bifel, bayi penderita gizi buruk berusia empat bulan, sementara menjalani perawatan intensif di bangsal anak RSUD Kefamenanu, Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, Selasa (6/5/2014) 

Peringatan Hari Gizi Nasional, 25 Januari

Oleh José Nelson M. Vidigal
Tinggal di Soverdi Ruteng

POS KUPANG.COM - Idaman keluarga sehat dan sejahtera adalah dambaan semua orang. Namun kesehatan tidak mudah didapat, juga tidak mudah dipertahankan, butuh perjuangan dan kerja cerdas. Pada saat ini, Indonesia sedang menghadapi masalah kesehatan di bidang gizi, entah kekurangan gizi atau kelebihan gizi.

Kekurangan atau kelebihan dalam jangka waktu lama tentu akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Masalah gizi kurang/buruk umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya sanitasi lingkungan, dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya gizi itu sendiri. Sedangkan masalah kelebihan gizi disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi dan menu seimbang.

Saya lebih menyoroti masalah gizi buruk dalam konteks NTT. Sebagaimana diberitakan media ini (Pos Kupang: Senin, 29 Juni 2015), bahwa dari 426.140 bayi di NTT, terdapat 21.134 mengalami kurang gizi dalam periode Januari sampai Mei 2015. Dari total 21.134 bayi kurang gizi tersebut, 1.918 balita di antaranya menderita gizi buruk yang tersebar di hampir seluruh kabupaten di NTT. Bahkan beberapa diantaranya meninggal dunia.

Hal itu dikemukakan oleh Kepala Dinas Kesehatan NTT dr. Stefanus Bria Seran. Masalah gizi buruk pada balita NTT adalah masalah kita bersama. Bukankah bangsa yang kuat terdapat pada tubuh yang sehat (cukup gizi)? Bangsa yang solid juga harus dibangun atas dasar yang solid pula, dan balita adalah salah satu pilar dari kesolidan tersebut. Bila tidak ditangani dengan baik tentu data tersebut akan bertambah hingga tahun 2016 ini.

Pangan adalah salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kebutuhan akan energi dan zat-zat gizi bergantung pada berbagai faktor, seperti umur, gender, berat badan, iklim dan aktivitas fisik. Usia muda dan produktif tentu memiliki kebutuhan energi dan zat-zat gizi yang lebih tinggi ketimbang usia anak-anak atau usia senja nonproduktif.

Seorang ibu hamil/ibu menyusui tentu memiliki kebutuhan energi dan zat-zat gizi yang lebih tinggi ketimbang lelaki dewasa. Orang obesitas tentu memiliki kebutuhan energi dan zat-zat gizi yang lebih tinggi ketimbang nonobesitas.

Orang-orang yang tinggal di iklim yang 'bersahabat' akan mendapatkan kebutuhan energi dan zat-zat gizi yang lebih baik dari pada yang tinggal di daerah beriklim 'kurang bersahabat', dan tentu orang yang memiliki banyak aktivitas akan memiliki kebutuhan energi dan zat-zat gizi yang lebih tinggi ketimbang mereka yang jarang beraktivitas. Oleh karena itu perlu disusun Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang sesuai dengan rata-rata penduduk di daerah tertentu. AKG adalah jumlah zat-zat gizi yang hendaknya dikonsumsi tiap hari untuk jangka waktu tertentu sebagai bagian dari diet normal rata-rata orang sehat.

Solusi yang saya tawarkan berdasarkan penyebab masalah tersebut di atas ialah: pertama, kemiskinan. Tentang kemiskinan, telah dicanangkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 1999 tentang Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi, yang diarahkan pada pemberdayaan keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan cakupan, ketahanan pangan, kualitas pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi; pemantapan kerja sama lintas sektor melalui Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG); dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Kedua, kurangnya persediaan pangan. Akhir-akhir ini kekeringan panjang melanda beberapa daerah di NTT, seperti Flores Timur, Manggarai Timur dan Nagekeo (baca Pos Kupang tanggal 17-19 Januari 2016). Kekurangan pangan selalu dikaitkan dengan iklim, dan iklim buruk selalu membawa dampak buruk yang tak dapat dielakkan. Namun hal itu tidak semestinya diterima lapang dada, perlu disiasati oleh pemerintah (dinas pertanian) dalam rangka peningkatan produksi pangan jangka panjang dan pemberitahuan informasi cuaca yang bakal terjadi kepada warga, sehingga adanya antisipasi sebelumnya.

Ketiga, kurang baiknya sanitasi lingkungan. Sudah pasti bahwa mereka yang jarang memperhatikan kebersihan lingkungannya akan mengalami aneka masalah kesehatan (termasuk gizi kurang/buruk). Keempat, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya gizi. Oleh karena masih kurangnya pengetahuan, maka cara memenuhi AKG belum dapat ditetapkan untuk semua zat gizi yang sudah diketahui.

Untuk itu, dianjurkan agar menu sehari-hari terdiri atas bahan pangan bervariasi yang diperoleh dari berbagai golongan bahan pangan, bukan dari suplementasi/fortifikasi. Di Indonesia pola menu seimbang terdapat dalam menu 4 Sehat 5 Sempurna dan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS).

Selain keempat solusi di atas, ada juga penanggulangan masalah gizi kurang/buruk yang perlu dilakukan secara terpadu antar departemen dan kelompok profesi (Sunita Almatsier, 2001). Hal itu dapat dilakukan melalui upaya pemenuhan persediaan pangan nasional terutama peningkatan produksi beraneka ragam pangan; peningkatan pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan dimulai dari tingkat Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) hingga Puskesmas dan Rumah Sakit; intervensi langsung kepada sasaran melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT); distribusi kapsul Vitamin A dosis tinggi, tablet dan sirop besi serta kapsul minyak beriodium; peningkatan kesehatan lingkungan, peningkatan pengawasan makanan dan minuman; serta upaya penelitian dan pengembangan pangan dan gizi.

Mengetahui penyebab gizi buruk yang terjadi di NTT dan solusinya tidak lantas menjawab judul tulisan ini, butuh kemauan, perjuangan dan kerja cerdas untuk mencapai idealisme yang diharapkan bersama. Hendaknya kita tidak bertindak seperti yang dikatakan A. J. Rob Materi, bahwa banyak orang mengorbankan kesehatannya untuk mendapatkan kekayaan dan akhirnya mengorbankan kekayaannya untuk mendapatkan kesehatannya kembali (gizi yang baik). Selamat Hari Gizi Nasional.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved