Transformasi Baru Pemimpin NTT
Khusus untuk Provinsi NTT, Pilkada serempak di sembilan kabupaten menghabiskan dana
Oleh Frits R Dimu Heo, SH, MSi
Pengamat Ekonomi Pembangunan
POS KUPANG.COM - Baru saja tanggal 9 Desember 2015 kita merayakan pesta demokrasi terbesar di Indonesia, pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilakukan serempak di 224 kabupaten dan 35 kota di delapan provinsi, diikuti 826 pasangan calon petahana (incumbent) dan pemain baru.
Khusus untuk Provinsi NTT, Pilkada serempak di sembilan kabupaten menghabiskan dana sekitar Rp 144 miliar lebih dari APBD 2015. Kesembilan kabupaten itu adalah Ngada, Malaka, Sabu Raijua, Sumba Barat, Manggarai Barat, Manggarai, Sumba Timur, Belu dan Timor Tengah Utara.
Ada yang mengatakan bahwa Pilkada kali ini penuh dengan intrik keterkaitan kepentingan, hubungan kekerabatan, kesukuan, agama dan sebagainya serta tidak menutup kemungkinan adanya praktek politik uang (money politic).
Mereka yang menang atas hasil keputusan KPU setempat karena meraih suara terbanyak sedang menanti untuk dilantik oleh Gubernur setempat atau langsung oleh Menteri Dalam Negeri.
Terlepas dari motif di atas khususnya NTT, rakyat hanya menghendaki agar dalam kepemimpinannya ada paradigma baru untuk mengelola daerah NTT lebih baik lagi.
Paradigma Baru
Paradigma baru itu berupa transformasi diri. Arti kata transformasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "perubahan karakter, pola pikir dan seterusnya untuk menata kembali unsur-unsurnya". Transformasi dimaksud adalah dari "bureaucratic-monopolistic government" menjadi "entrepreneurial-competitive government."
Entrepreneurial government adalah pemerintah yang bijaksana dan selalu berpikir keras untuk melihat dan memanfaatkan peluang yang muncul dalam memakmurkan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya tanpa harus menunggu kucuran dana dari Pemerintah Pusat.
Sementara competitive government adalah pemerintah daerah yang mendorong adanya kompetisi di antara penyedia layanan publik dalam upaya mereka memberikan excellent services kepada para stakeholder, apakah itu investor, wisatawan, atau masyarakat luas.
Perubahan kedua mengharuskan pemerintah daerah melakukan metamorfosis diri dari pemerintah daerah yang bermental birokrat (di belakang meja) menjadi pemerintah daerah yang berorientasi pelayanan, menjadikan rakyat sebagai pelanggan (customer-driven government) dan bertanggung jawab (accountable government) terhadap seluruh stakeholder-nya secara seimbang.
Customer-driven government adalah pemerintah daerah yang selalu berorientasi dan peduli terhadap setiap kebutuhan rakyatnya, menjadikan rakyat adalah tuan/raja dan pemerintah adalah sebatas abdi/pelayan masyarakat. Mereka secara serius mendengar para stakeholders (misalnya melalui investor satisfaction survey/survei kepuasan pelanggan) keinginan dan ekspektasi pelanggan dan merespons setiap keinginan tersebut dalam rangka memuaskan mereka dan bahkan selalu meninjau langsung ke sentra produksi untuk memberikan motivasi dalam bekerja dan melayani masyarakat, inheren dengan gaya blusukan Presiden Jokowi.
David Osborne, seorang pakar manajemen pemerintahan, menyebut pemerintah semacam ini dengan sebuah ungkapan, "put the customers in the driver's seat (meletakkan pelanggan di kursi pengemudi)".
Siapakah pelanggan pemerintah daerah? Pelanggan utama tentu saja adalah masyarakat yang mereka pimpin. Pelanggan lain adalah siapa saja yang memiliki potensi dan kontribusi bagi upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat tersebut. Mereka bisa investor yang menanam modal di daerahnya, kalangan industri yang mendirikan pabrik di situ, atau turis asing yang berkunjung membawa devisa.
Customer-driven government adalah juga accountable government yang sangat serius menempatkan akuntabilitas publik pada posisi terdepan dalam praktek kepemimpinan mereka, sebagai manifestasi "pertanggungjawaban" mereka kepada pelanggannya.
Sementara perubahan besar ketiga akan mendorong pemerintah daerah untuk mulai mengevolusi diri dari pemerintah yang hanya memiliki "local orientation" menjadi pemerintah yang memiliki "global-cosmopolit orientation." Pemerintah daerah semacam ini memiliki wawasan global. Mereka membuka diri terhadap masuknya sumber daya global dan berupaya mendapatkannya, tidak peduli dari mana sumber daya tersebut berasal.
Mereka membuka diri terhadap investor daerah, nasional bahkan investor asing, perusahaan asing, kepemilikan asing, produk asing, teknologi asing, orang-orang terbaik asing, sepanjang semua memiliki kontribusi positif terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Bukankah ini sejalan dengan hakekat MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) atau disebut pasar bebas Negara Asia Tenggara yang digulir sejak tanggal 1 Januari 2016?
