Oleh JB Kleden
Perang Tanding Adonara
PERANG tanding di Adonara kembali terjadi. Pos Kupang menempatkan berita ini di halaman satu. Tentu bukan sekadar karena berita ini punya nilai jual di halaman satu. Dugaan saya, pertimbangannya adalah agar pihak-pihak terkait segera mengambil langkah pengamanan agar korban tidak terus berjatuhan hanya karena lambannya yang 'mahakuasa' menangani kasus ini (PK, 10/3/2010).
Sebab musabab kasus ini tentu memiliki latar belakang sosio-kultural yang kental di masa lalu. Dengan demikian penyelesaiannya tidak semudah membalik telapak tangan, misalnya dengan menerjunkan sekian banyak kompi militer untuk mengamankan wilayah ini. Perlu ada mekanisme kultural menurut adat lewo tanah Nusa Tadon Adonara.
Tetapi yang menarik perhatian saya justeru perspektif baru yang diambil Pos Kupang, Selasa (9/3/2010). Sebab musabab perang tanding di Adonara yang ditulis bukan lagi warisan darah nenek moyang yang mengalir pada jengkalan tanah itu. "Bentrok berdarah ini akibat tidak ada kata sepakat mengenai batas kedua desa (Lamahala dan Horowura). Kawasan di batas desa ini merupakan kawasan pertanian yang relatif subur untuk digarap. Masing-masing kubu mengklaim kawasan itu sebagai milik desanya."
Kalau kita cermati sudut pandang yang diambil Pos Kupang kali ini, memang telah bergeser dari masalah warisan ke masalah ekonomi. Orang memperebutkan lahan untuk bisa bertahan hidup. Mungkin dianggap biasa tetapi sudut pandang yang diambil Pos Kupang ini mencerminkan isu keamanan global yang melanda dunia kita dewasa ini. Bahwa saat ini dan ke depan, isu keamanan tidak lagi dimonopoli oleh isu-isu yang bersifat external threat (ancaman dari lain) tetapi telah beranjak ke isu-isu keamanan internal (dari dalam) dan azimutal (tak terdeteksi asalnya). Bahkan beberapa ilmuwan, menyebutkan era ini sebagai era treath with out enemy. Dan salah satu treath with out enemy itu adalah degradasi lingkungan.
Dengan mengambil sudut pandang 'perebutan lahan garapan yang subur' sebagai sumber perang tanding di Adonara, Pos Kupang mengajak kita untuk menyadari bahwa sebenarnya ada ancaman dahsyat yang sedang kita alami saat ini dan ke depan terkait dengan kerusakan lingkungan global yang berdampak pada berkurangnya lahan-lahan subur sebagai sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk kita di NTT.
***
DEGRADASI lingkungan dalam terminologi kajian keamanan dikategorikan sebagai environmental threat (ancaman lingkungan). Kerusakan lingkungan, hilangnya lahan-lahan pertanian yang subur akibat perubahan iklim, telah menjadi trigger bagi berkembangnya konflik internal dan perang tanding antar suku se-ibu pertiwi. Di Papua orang Amunge berperang melawan Free-port. Di perbatasan Lamahala dan Horowura, anak-anak Nusa Tadon Adonara saling membacok memperebutkan kawasan pertanian yang relatif subur untuk digarap.
Memang tidak seperti potential military threats (potensi ancaman kedaulatan seperti separatisme, terorisme dan serangan militer dari negara lain), tidak semua environmental threat menimbulkan permasalahan keamanan. Kendati demikian, diakui atau tidak, environmental threat dapat menjadi faktor penentu dari terjadinya security problem. Ancaman yang paling dahsyat dari degradasi lingkungan terhadap stabilitas keamanan adalah hilangnya lahan-lahan subur atau lahan-lahan potensial yang menjadi sentra-sentra pertanian. Hilangnya resource bagi penghidupan mayoritas penduduk kita yang hidup dari pertanian ini secara langsung berdampak pada kehidupan baik secara ekonomi maupun sosial. Karena hasilnya, beberapa suku atau kelompok masyarakat berperang serba memperebutkan survival of the fittest untuk bisa hidup dari resource yang tersisa.
Artikel serabutan asal jadi ini mencoba melakukan sebuah penilaian prospektif atas keadaan lingkungan kita di NTT serta melakukan proyeksi dalam kerangka security study sebagai sebuah pemikiran bagi Fren, Gubernur dan Wakil Gubernur NTT untuk mengambil kebijakan seputar penyelamatan lingkungan, atau lebih tepat menjadikan problem lingkungan di NTT sebagai sebuah environmental security yang harus dilaksanakan, bersamaan dengan perjuangan menaman jagung di kawasan Nusa Tenggara Timur ini.
***
DALAM ranah akademis, adalah Homer-Dixon yang mengangkat konsep mengenai environmental security dalam kajian studi keamanan. Meskipun banyak ilmuwan meletakkan environmental security pada aspek ekonomi dan sosial dari kehidupan manusia, ketimbang aspek keamanan suatu negara, namun Homer-Dixonlah yang menitikberatkan aspek keamanan dari permasalahan lingkungan (Jurnal Intelijen dan Kontra Intelijen, Vol. IV, No. 20, pp. 164).
Diskursus mengenai environmental security sebenarnya telah termanifestasikan hampir empat dasawarsa lalu dalam pertemuan UN Conference on the Human Environmental tahun 1972 yang popular dengan sebutan Stokhlom Conference. Namun baru pada tahun 1987 menjadi sesuatu yang memiliki bentuknya melalui apa yang tertuang dalam Bruntland Report. Sejak itu konsepsi mengenai environmental security muncul ke permukaan sebagai sebuah jawaban terhadap berkembangnya ancaman-ancaman non-tradisional, terutama berkaitan erat dengan masalah degradasi lingkungan.
Secara singkat, environmental security dapat didefinisikan sebagai kemampuan dari sebuah negara atau masyarakat untuk bertahan terhadap kelangkaan sumber daya alam, perubahan lingkungan yang berbahaya, serta konflik yang berakar dari masalah lingkungan dalam kerangka berpikir human security dan bukan national security. Konsepsi human security menempatkan keamanan manusia di atas keamanan nasional. Degradasi lingkungan mungkin tidak secara langsung mempengaruhi national security, namun secara pasti akan sangat mempengaruhi human security. Dengan kata lain, terdapat violence on human security akibat degradasi lingkungan. Maka jika terjadi human insecurity akibat kerusakan lingkungan, akan berdampak pada munculnya violent conflict. Pelan tapi ekskalasi dari violent conflict ini secara kolektif jelas akan memunculkan perang terbuka yang berdampak bagi national security.
***
KEMBALI ke soal kita. Dengan mengambil angel perebutan lahan subur sebagai sumber perang tanding di Adonara, disadari atau tidak, Pos Kupang telah menghadirkan sebuah fakta baru ke tengah-tengah kita bahwa environmental threat yang selama ini menjadi isu seksi dunia, telah nyata-nyata ada di tengah kita. Dan pelan tapi pasti kasus-kasus lingkungan di TTU-TTS, Manggarai Barat-Ngada, Adonara, Sumba, Alor dan di seluruh pelosok NTT yang tidak sempat terekam lensa wartawan, yang telah melahirkan human insecurity dan vulnerability sosio-ekonomi di sana telah meningkatkan risiko violent conflict yang menjadi ancaman (threat) paling mengerikan bagi kita di kawasan ini sekarang dan di masa mendatang.
Dalam memperebutkan resource yang terbatas di dunia yang sedih dan tak sempurna ini, tak semua orang bisa jadi pemenang. Tapi juga tak seorang pun mau dikalahkan. Orang akan terus meradang dan menerjang kendati dengan luka menganga dari busur yang tertancap di tubuh. Dalam kehidupan bernegara, konflik memperebutkan lahan ini akan semakin runyam, bila tak ada kekuasaan yang sanggup mengatur pembagian dari keterbatasan itu. Dan siapa yang harus mengatur semua itu?
Dalam arti yang sangat riil, jangan bicara mengenai tentara, polisi atau DPR. Yang ada adalah bupati, dan gubernur. Mereka memang milik semua orang dan karena itu tak boleh melukai siapa saja. Mereka tak mau perang tanding di Nusa Tadon Adonara, berakhir dengan hasil zero-sum. Kendati demikian adalah salah besar jika memilih tutup mulut, apalagi terkesan lari dan menghindar dari persoalan (PK, 10/3). Lalu kita mau apa?
***
POS KUPANG telah menunjukkan fakta lain di balik perang tanding di Nusa Tadon Adonara. Bahwa environmental threat di NTT telah menjadi ancaman nyata terhadap keamanan wilayah kita yang perlu segera ditangani secara serius. Artinya, kalau selama ini masalah kerusakan lingkungan di wilayah kita lebih sebagai sebuah bagian dari low politics dan tidak ada implikasinya terhadap permasalahan keamanan yang biasanya digolongkan ke dalam high politics, sekarang environmental security harus menjadi program dan kebijakan prioritas gubernur dan para bupati se-NTT dan menjadi isu yang sama pentingnya dengan isu-isu keamanan sejajar dengan ancaman yang muncul dari tradional military threat dan kalau perlu berfokuskan pada geopolitical national security.
Dengan menempatkan environmental security dalam kajian keamanan, khususnya human security, diharapkan jajaran pemerintah beserta seluruh masyarakat NTT mengerti bahwa ancaman keamanan dari masalah tanah yang sekarang melahirkan perang tanding kecil-kecil, tak sekadar proyeksi, namun dapat menjadi ancaman yang bereskalasi konflik seandainya tidak ada langkah tegas dari gubernur dan para bupati se-NTT untuk mengupayakan segala means yang dimiliki untuk mencegah dampak kerusakan lingkungan dan punahnya lahan-lahan pertanian yang subur terhadap keamanan masyarakat di NTT.
Dalam rapat kerja dengan para walikota/bupati se-NTT, Gubernur dan Wakil Gubernur NTT telah mencanangkan gerakan menanam jagung, cendana dan seribu pohon. Para kepala daerah yang didampingi para wakilnya menyetujui gerakan tersebut. Diharapkan tiap kabupaten kota bersama rakyat menyuskseskan program tersebut. Hormat untukmu Fren, salam bagimu para bapak-bapak bupati yang telah menyetujui gerakan menanam seribu pohon. Tapi apakah itu sudah menjadi program wajib yang berdampak politik? Katakanlah semacam kontrak politik yang mesti ditandatangani jika gubernur, walikota/bupati bersama para wakilnya tidak melakukan/gagal melaksanakan program tersebut, bersedia mundur dan tidak boleh mencalonkan diri dalam periode kedua?
Halo Fren. Halo juga para bupati se-NTT. Tapi bukan sekadar halo-halo. Masa depan NTT adalah 3,5 juta jiwa yang saat ini memperebutkan sisa resource yang terbatas. Ada gerakan untuk tanam, rawat dan peliharalah lingkungan. Tapi di manakah environmental security itu dalam high politics kita saat ini? Don't let it be until the second period. Kalau tidak sekarang kapan lagi. Jangan tunggu sampai kami angkat busur untuk saling memanah. Jangan tunggu sampai kami saling membabat dengan pedang terhunus, karena tidak ada lahan untuk dibabat. Manusia tidak jelek, memang. Tapi ketidakpastian bisa melahirkan kengerian. Selamat pagi Fren, selamat pagi para bupati, sudah baca Pos Kupang hari ini? *
PNS Kanwil Kementerian Agama NTT