Oleh JB Kleden
Aneh-aneh sa!
"BAKAL heboh!" Ibu Tin, rekan kerja di Hukmas dan Kerukunan Umat Beragama, muncul dengan teriakannya yang khas membuat seisi ruangan kaget. "Heboh apa lai? Kariting ne tiap saat ada-ada sa berita baru," Saodah menimpali. "Ko beta na. Tapi berita ini bakal heboh," Tin, si yang oleh teman-teman di ruangan dipanggil Kariting tetap dengan gaya persuasifnya.
"Heboh apa iting," saya bertanya. "Awi ketong pung babe ketinggalan. Ustad deng Pandeta mau badebat mengenai dong pung agama masing-masing," ia mengklarifikasi perihal berita hebohnya. "Aneh-aneh sa. Mana ada debat macam itu," si Pardi menimpali. "Andia ni. Be ju son abis mangarti, orang-orang dong ni son ada kerjaan lai ko pi badebat soal yang tak penting begitu. Tuhan su atur ketong hidup basudara deng ketong pung agama su bae-bae dong pi badebat lai, farek deng dong!" Kariting merasa di atas angin melihat informasinya dikerubuti orang seisi ruangan. "Santai saja to. Kenapa pusing-pusing amat? Tapi baik ju teman-teman pi dengar dong badebat. Siapa tau sa dong bisa mengubah Tuhan segala umat menjadi Tuhan agama-agama."
Terlepas dari benar atau tidaknya debat semacam itu, tanpa menaruh prasangka negatif, saya memang tidak habis pikir seperti apa yang dikatakan Iting . "Apa memang kurang kerjaan koq sehingga perlu mendiskusikan payudara asmatis alias tetek bengek yang tidak perlu itu meskipun mungkin sangat penting bagi mereka yang berdebat?
Entah dari mana si Kariting mendapat informasi, debat ini menurut hemat penulis, tidak lucu dan tidak serius. Bukan karena tema itu menyangkut soal akidah, tetapi terutama karena yang berdebat ini adalah para penjaga gawang kebenaran di agama masing-masing. Mereka tentu sudah mafhum betul bahwa meskipun mereka bisa berargumen secara rasional dan logis sehingga kita yang mendengarnya mesti mendapat kesan bahwa semua itu a matter historical record, debat mengenai kontras perbedaan agama selalu akan berakhir dengan kesimpulan: bagimu agamamu, dan bagiku agamaku. Sebagai misal, bagaimanapun kuatnya argumen Kristiani untuk menjelaskan kesaksian Alkitabiah mengenai Yesus Kristus sebagai kamal al-nubuwwa, tidak akan mengubah satu pun noktah dari keyakinan umat Islam bahwa Muhammad SAW adalah Khatam al-nabiyin.
Selanjutnya juga sedih Iting. Betapa tidak, di tengah sekian banyak persoalan yang dihadapi bangsa dan negara ini, ketika para pemimpin negara mengetok hati para pemimpin umat mengkoordinasikan kerja sama lintas agama mengatasi berbagai kemelut dan krisis sosial, membantu saudara-saudara kita yang mengalami musibah gempa bumi, kita di NTT justru sibuk mengurus debat soal agama. Apalagi, agama orang lain yang nota bene kita sendiri tidak imani. Kita berdebat untuk memiliki Tuhan. Padahal Tuhan tidak bisa dimiliki. Tuhanlah yang memiliki kita dan seisi jagat ini. Mestinya semakin berilmu luas, tahu banyak tentang kitab suci, maka semakin takyublah kita dan semakin rendah hati, dibanding umat biasa yang cuma menafsir kitab suci secara sepenggal-sepenggal hanya karena diangkat jadi ketua kring lalu merasa diri tahu segala-galanya. Maka terasa benarlah betapa dungu dan primitifnya segala persengketaan antaragama, seperti anak moyet berebutan kerupuk.
Lalu apa yang dicari dengan sejumlah argumen yang dibangun secara logis dan rasional itu meski tidak kritis? Sekadar mau mengajar umat Allah untuk berargumen membela agamanya? Bukankah Tuhan tidak minta manusia menjadi ahli teologi apalagi ahli kitab, tetapi menjadi orang beriman? Ataukah karena sekarang ini jalan-jalan tak lagi ramai dengan panji-panji dan perdebatan ideologi, teologi seakan mati, ada yang merasa kangen lalu beriktiar membersihkan pikiran orang, meluruskan dogma dan keyakinan orang lain seperti para ahli taurat dalam kisah Injil? Di langit berlintasan beribu-ribu peristiwa beribu-ribu penampakan dan tanda tanya tanpa kita sendiri sanggup menangkapnya.
Di negeri yang ber-keTuhanan Yang Mahaesa ini, dari Rote sampai ke Talaud, kita memang tak putus-putusnya menyaksikan apa yang indah dari perjalanan spiritualitas dan religiositas manusianya. Tetapi pada saat yang sama kita juga saksikan dari Sabang sampai Merauke, bagaimana bangsa yang proklamasi kemerdekaannya dikumandangkan atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa ini, orang-orang dengan beringas mengganasi orang lain atas nama agama yang berbeda. Apa desain Tuhan dengan semua ini? Apa gerangan iradahNya bagi bangsa yang mengklaim diri sebagai tempat pertemuan agama-agama besar dunia ini?
Banyak mungkin jawaban bisa diberi, tetapi satu hal jelas. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Tuhan mengutuk manusia Indonesia dan memerintahkannya saling menghabisi satu sama lain dengan menjadikan negara ini sebagai tempat pertemuan agama-agama besar dunia. Tetapi sebaliknya kita juga tidak bisa menyimpulkan bahwa tanah tumpah darah yang suci dan mulia ini menjadi tempat yang berbahagia dengan pluralitas agama yang dianuti warganya. Lalu?
Terkadang amatlah naif memikirkan hal-hal semacam ini. Kita mencari serba ikhtiar untuk mencobakan kemungkinan-keungkinan lain bagi komfort bentuk baru yang artifisial dengan memusnahkan banyak program kebahagiaan yang terpampang di depan mata. Adakah kita lupa bahwa kesempurnaan rumusan dogmatis teologis bukan selalu menjadi nilai yang terakhir.
Rupanya kecemasan yang sama membuat seorang Karl Rahner mendadak prihatin ketika menulis "Manusia melakukan banyak hal yang sangat berbeda-beda. Sudah bukan nasibnya untuk melakukan hanya satu hal saja biarpun dalam dirinya ada satu kerinduan rahasia yang barangkali sendiri tak disadarinya untuk melakukan hanya satu hal saja yang bernilai bagi dan sesuai dengan tenaga dan cinta hatinya. Manusia harus melakukan banyak hal. Tetapi bukankah segala sesuatu yang dilakukannya itu sama tingkat dan kepentingannya. Sesuatu bisa menjadi penting semata-mata hanya karena tak terelakkan, lalu apa yang sungguh penting dan dibutuhkan akan dengan mudah dielakkan. Namun bukan semua yang harus dilakukan itu dengan sendirinya juga menjadi yang terpenting". Rahner menulis ini mengenai keprihatinannya pada pendewaan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun intinya arif untuk semua aspek kehidupan, termasuk berbagai upaya atas nama pembangunan keagamaan. *
PNS pada Kanwil Depag NTT