Oleh JB Kleden
Rindu Kariting, Damba Unwira
SABTU, 3 Oktober 2009. Suasana di Oriental Hotel Kupang pagi itu terlalu ramai oleh gairah, tanpa suatu puisi pun. Sunyi musnah hilang, rontok satu-satu. Benar karena hari itu adalah hari sukacita. Setidaknya bagi 352 mahasiswa Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang yang hari itu diwisuda menjadi kuli-kuli pintar dan sarjana-sarjana arifin bertaraf diploma hingga magister.
Karena berada pada kursi pertama di barisan depan, saya agak leluasa melihat wajah-wajah mahasiswa yang hari itu diwisuda. Hampir semua wisudawan penuh semangat ala gelora mahasiswa, bergaya flamboyan serba merdeka. Tapi astaga, di sudut kanan baris ketiga ada wisudawan tampak diam terpekur, tenggelam dalam romansa. Tempo-tempo matanya berkaca menjangkau horison langit di luar jendela, terutama ketika Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, mengingatkan para wisudawan agar tidak melupakan jasa para orangtua yang telah dengan susah payah membiayai kuliah mereka hingga selesai.
Memandang wajah sang wisudawan yang pias dalam kesenduan, saya jadi teringat pada sebuah sajak yang ditulis Taufik Ismail. "Setiap perjuangan," tulis Taufiq Ismail dalam sajaknya itu, "selalu menghadapkan kita/pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang" (Jangan kau kecewa, Hadi). Batinku menebak: "Apakah wisudawan ini termasuk kaum yang bimbang menghadapi gelombang? Boleh jadi! Jika tidak, apa sebenarnya yang dia risaukan justeru di tengah acara wisuda yang sangat dia tunggu-tunggu ini?"
Saat makan siang saya sempat berdialog dengannya. Karena tak meminta izin, sesuai kode etik penulisan, dengan terpaksa disertai minal aidin wal faidzin, untuk kepentingan tulisan ini, saya membaptisnya dengan nama baru sesuai mahkota yang menutupi batok kepalanya, Kariting. Dari ijazah yang dipegangnya, Kariting lulus dengan predikat sangat memuaskan. Tapi yang membuat saya terperangah adalah sepenggal asa yang digoreskannya pada bagian belakang kartu proficiat dari universitas. "Tuhan/hari ini saya di wisuda/Terima kasih untuk penyertaanMu/Kini ijazah S1 ada dalam genggamanku/Tapi Tuhan/apa yang akan aku kerjakan nanti? Berilah aku pekerjaan yang layak/agar aku dapat membahagiakan kedua orangtuaku."
Servi Fidelis. Ingin membalas budi baik orangtua. Tapi tidak tahu mau kerja apa. Inilah jawaban yang membuat si Kariting gundah di hari wisudanya. Di depannya aku tergagap. Profilnya perlahan merayapi dinding hatiku dan melahirkan pertanyaan tersendiri. Maka bukanlah suatu kebetulan kalau hari itu profil wisudawati berambut kriting ion, berhidung bombai, berbibir ember, bermata kea (penyu), bergigi pisah dan klasik garis-garis wajahnya itu memenuhi langit-langit hatiku. Dan malamnya, I have a dream. Adakah doa itu sebuah harapan ataukah sekadar ungkapan kegundahan di tengah keputusasaan?
***
DREAMING of Kariting. "Semoga segera mendapatkan pekerjaan yang layak." Tentu saja ini merupakan kerinduan hati seluruh wisudawan. Maka, rindu Kariting dengan demikian menjadi juga dambaan Unwira, almamater yang melahirkannya. "Ut vitam habeant abudantius." Supaya semua lulusannya memiliki kehidupan secara berlimpah!
Just not for sentimental reason. Bukan untuk sebuah alasan yang cengeng jika saya menautkan rindu Kartini ini dengan orasi ilmiah Dr. Stanis Man dalam rapat senat terbuka luar biasa Unwira hari itu. "Agar Perguruan Tinggi menjadi lokomotif penggerak kewirausahaan dalam rangka membangun ekonomi bangsa". Menjadi lokomotif penggerak kewirausahaan artinya Unwira diharapkan menghasilkan lulusan pencipta lapangan kerja guna turut memberikan kontribusi terhadap pembangunan bangsa.
Terasa benar betapa getirnya harapan sang doktor itu jika ditautkan dengan kondisi faktual lulusan perguruan tinggi kita umumnya yang terekam nyata dalam galau rindu Kartini. Bukan hanya cari kerja, tapi juga tidak tahu mau kerja apa. Tidak bisa ditampik. Ini fakta, ini nyata. Ini potret lulusan pendidikan tinggi kita (di NTT) saat ini. Baru bisa menciptakan lulusan yang bingung mencari kerja. Memrihatinkan memang.
Masyarakat tahu itu, tapi toh seumumnya mereka tidak sampai hati mengatakannya. Mereka cinta kepada Kariting yang sedang gamang karena keadaannya (yang terberi oleh sistem pendidikan kita). Tapi mereka juga tetap cinta dan akan terus menyekolahkan anak mereka pada kampus "Menara Ilmu Pengetahuan" karena janjinya. Bahkan seumumnya para orangtua malah khusuk berdoa, semogalah anak-anak mereka dapat menjejalkan kakinya di perguruan tinggi karena bangga mendengar sanjungan, "the student of today, the leaders of tomorrow". Sekarang mahasiswa, esok pemimpin.
Hari ini diwisuda, esok Que s'est-il pase? "Jadilah seorang entrepreneur." Dr. Stanis Man memberi jawab dalam orasi ilmiahnya. "Ut vitam habeant abudantius, damba Unwira. "Awiiii.. Tapi karmana? Be rasa..." Kariting membatin dengan pedih.
***
PROGRAM kewirausahaan dalam pendidikan mulai digelindingkan pada awal dasawarsa 1990-an diharapkan mulai berlaku efektif dalam tahun 2009 ini. Meski disadari bahwa faktor pendidikan mempengaruhi sikap kewirausahaan seseorang, bahkan sering dikatakan pertumbuhan sikap kewirausahaan seseorang dimulai dari ruang-ruang kelas, faktual pendidikan nasional kita saat ini memang belum ikut membentuk sikap (tekanan pada sikap) kewirausahaan peserta didiknya. Sikap kewirausahaan yang selama ini ada dalam masyarakat kita tumbuh secara alamiah.
Malah gema pendidikan sebagai pembentukan SDM entrepreneur dalam propagandanya justeru melenceng dari tujuan awalnya. Ambil contoh paling jelas. Lihat saja iklan "Ayo masuk SMK (sekolah menengah kejuruan/keterampilan)" yang menghadirkan sosok Mendiknas sendiri dengan biaya puluhan juta rupiah oleh Depdiknas untuk menunjukkan kewirausahaan dalam sistem pendidikan SMK, tak lebih dari sebuah avonturisme penuh aksi versi anak sekolahan. Karena materi dan isi iklan itu sendiri justeru menampilkan kurikulum yang menjurus pada penyiapan lulusan siap kerja. Pembekalan keterampilan sangat dominan dalam sistem pendidikan SMK, tetapi apa implikasinya?
Peserta didik (SMK) dipersiapkan dengan berbagai keterampilan untuk siap kerja secara terampil, bukan pada kepemilikan sikap kewirausahaan. Sehingga lulusannya lebih siap sebagai tenaga kerja yang siap bekerja, bukan tenaga kerja yang siap berusaha secara mandiri. Iklan itu dengan jelas menggambarkan sistem pendidikan yang mempersiapkan peserta didiknya untuk diserap atau dikonsumsi oleh industri, bukan menjadi pengusaha kecil yang mandiri.
Dan ini berlaku juga dalam seluruh sistem pendidikan nasional kita, tidak terkecuali perguruan tinggi kita di NTT. Pertanyaan sekarang adalah bagaimana kontribusi Unwira dalam membentuk sikap kewirausahaan dalam diri mahasiswanya secara efektif dan efisien sehingga para alumninya (entah lulus atau yang drop out/DO) memiliki kehidupan secara berlimpah?
***
DALAM orasinya, Dr. Stanis Man mengatakan untuk mewujudkan terguruan tinggi menjadi lokomotif penggerak kewirausahaan dalam rangka membangun ekonomi bangsa diperlukan berbagai syarat internal (dalam kampus) dan eksternal (di luar kampus). Untuk dukungan eksternal saya kira kita mesti sepakat dengan apa yang disampaikan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, bahwa soal dana, prasarana tidak menjadi halangan, asal saja para wisudawan sendiri memiliki sikap kewirausahaan itu. Gubernur malah berkelakar begini, "Tidak apa-apa pada awal tenteng-tentang map dulu, tawarkan proposal ke sana ke mari". Karena itu yang ditekankan di sini adalah pembenahan faktor internal.
Untuk internal Unwira memang sudah terdapat "Lembaga Pengembangan Usaha Mandiri dan Kewirausahaan". Juga sudah ada mata kuliah kewirausahaan yang diajarkan. Namun sayangnya itu baru terbatas pada Fakultas Ekonomi. Karena itu Dr. Stanis Man menawarkan seyogyanya lembaga itu dikembangkan menjadi milik universitas dan agar mata kuliah kewirausahaan menjadi mata kuliah wajib pada semua fakultas. Saya kira itu tak ada salahnya. Tetapi persoalannya seperti yang diguyonkan Bapak Gubernur, "Apakah para lulusan yang telah menyandang gelar sarjana itu mau menenteng map ke sana ke mari menawarkan proposal kerja bak seorang pengemis?
Intisarinya adalah pada pembentukan sikap dan iklim entrepreneur di perguruan tinggi. Maka seyogyanya hal yang paling pokok dan mendasar yang harus diajarkan dan dikembangkan adalah sikap dan semangat kewirausahaan dalam setiap mata kuliah. Artinya ciri-ciri kewirausahaan seperti yang dikedepankan Dr. Stanis Man dalam orasi ilmiahnya harus tampak dalam seluruh perkuliahan di Unwira.
Dari 8 ciri sikap entrepreneur yang disampaikan Dr. Stanis Man, saya mencatat minimal ada 4 karakteristik mendasar yang perlu diperhatikan almamater Unwira. Pertama, menumbuhkan sikap kritis. Karena dengan sikap kritis, mahasiswa diandaikan dapat menganalisa permasalahan dan mempertanyakannya. Kemampuan untuk bertanya secara kritis sangat jarang dijumpai saat ini dalam perkuliahan kita. Kewajiban seorang dosen untuk menumbuhkan sikap ini dalam setiap perkualiahannya. Kedua, menumbuhkan sikap inovatif. Kalau para dosen sudah mampu menumbuhkan sikap kritis, perlu ditindaklanjuti dengan menumbuhkan sikap inovatif. Mahasiswa harus diajak untuk mencari dan menemukan alternatif jalan keluarnya. Ketiga menumbuhkan sikap berani mencoba. Kalau mahasiswa sudah mampu berinovasi, ajaklah mereka untuk mencoba. Perhitungan yang telah dilakukan secara kritis digunakan sebagai pisau analisis rasional sehingga segala risiko yang mungkin terjadi sudah dapat diprediksi terlebih dahulu. Keempat menumbuhkan sikap kemandirian. Dalam ketiga proses di atas, perlu ditekankan pada kemandirian mahasiswa. Berilah ruang bebas yang cukup bagi mahasiswa untuk seperti Galileo Galilei, "exploring frontiers and searching for new galaxies". Mencari dan menemukan 'tata surya' baru. Maka nanti bila si Kariting tiba-tiba berpakaian seperti bajak laut Hang Tuah karena solider dengan para petani rumput laut di Rote Ti, maka bagi masyarakat, mutatis mutandis Unwira, jangan langsung ditafsir si mahasiswi telah berubah menjadi 'mina hancur'.
Last but not least, sebagai marginalia saya ingin menambahkan satu butir di sini agar lulusan Unwira benar-benar 'memiliki hidup dalam kelimpahan'. Pengembangan semangat kewirausahaan hendaknya dikembangkan sebagai pengayaan nilai-nilai spiritual dan religius tanpa harus melupakan pengembangan kemampuan profesionalnya. 'Tata surya' baru yang ditemukan harus dikembangkan di atas landasan kemanusiaan. Dengan demikian para entrepreneur yang dihasilkan Unwira juga memiliki moralitas dan bertanggung jawab. Inilah lambang the sparkling of life's qualities.
Dengan demikian mudah-mudahan 'rindu Kariting: agar bisa bekerja dan berbakti kepada orangtua, serta damba Unwira "Ut vitam habeant abudantius' dapat terwujud. Tekanan pada mudah-mudahan. Tanpa itu, que sera sera sajalah. (*)
PNS pada Kanwil Depag NTT