Oleh Canisyus Maran

Teori Balon dan Kawasan Terpadu

PARUH 2008 lalu, teman saya Frans Hani mengundang minum kopi di Manggarai, sambil menikmati indahnya panorama alam di ujung Barat Pulau Flores itu. Begitu bangganya terhadap Manggarai, suatu ketika dia berkata: "Tak mungkin bicara pariwisata Flores tanpa Manggarai karena angin pariwisata berhembus dari sini. Jadi, datang dan saksikan alam Manggarai yang indah dan tak terlupakan," kata mantan birokrat Flores Timur ini.

Undangan ini kembali teringat ketika Pos Kupang menyelenggarakan seminar "50 Tahun Sunda Kecil Berlalu" di Bali 10 Desember 2008 lalu. Seminar yang dihadiri tiga gubernur Bali-NTB-NTT, dan sejumlah praktisi tersebut mencapai kata akhir agar pariwisata dapat menjadi simpul pembangunan terpadu kawasan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara. Seperti ditegaskan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, yakni Bali sebagai ibu yang melahirkan kembaran NTB dan NTT harus prihatin kalau kondisi kedua 'anaknya' merana.


Benelux vs Barelang

Pada abad-abad silam, perairan Selat Malaka merupakan Bandar Niaga Internasional. Berbagai kapal dagang yang melayari kawasan tersebut mengincar Kepulauan Riau yang kaya bauxit, timah serta minyak. Pada abad 16, Riau dan Tumasek (sekarang Singapura) diperintah Sultan Johor, yang kemudian memindahkan kekayaannya ke Pulau Batam agar tidak ditaklukkan oleh Raja Muda. Dan pada abad 17, Belanda dengan bantuan penduduk asli mengalahkan Portugis dan memperoleh hak kontrol atas wilayah Sumatera Timur sehingga armada dagang Belanda bebas melayari Selat Malaka. Berdasarkan perjanjian tahun 1745, Sultan Johor menyerahkan Kepulauan Riau kepada Belanda. 

Sejak itu Batam dibanjiri pengusaha sektor pertanian, pertambangan, perumahan, perhotelan, transportasi, keuangan dan asuransi, serentak pula dibangun Bandara Internasional Hang Nadim. Alhasil, Batam menjadi pintu ke-3 selain Jakarta dan Bali untuk masuknya wisatawan dari Singapura dan alternatif lapangan kerja yang diburu, termasuk putra-putri dari NTT. Peluang investasi kian terbuka ketika tahun 1997, Hongkong berintegrasi ke China di mana sebagian besar pemilik modal di Hongkong mulai melirik lahan investasi baru di Asia. Bersamaan itu, Habbie yang lama bermukim di Eropa melihat bahwa kawasan Barelang (Batam-Rempang-Galang) dapat dibangun jadi satu kesatuan ekonomi, mirip Benelux (Belgia-Netherlands-Luxemburg).

Dari situ, muncul pemikiran untuk menarik ekonomi perdagangan dan pariwisata dari Singapura melalui konsep 'Teori Balon.' Sebagai persiapan, Habibie membangun 6 Jembatan Barelang untuk menghubungkan Batam, Rempang, Galang dan pulau-pulau kecil sekitarnya seperti Pulau Tonton, Pula Nipah, Pulau Setoko, dan Pulau Galang Baru.


Teori Balon

Maret 1979, tujuh bulan sebelum PT IPTN Indonesia dan CASA Spanyol membangun kerja sama dalam pengembangan, produksi, sertifikasi dan pemasaran CN-235 sebagai pesawat komuter yang dikembangkan dengan filosofi desain 'Big Aircraft in a Small Plane', Habibie memperkenalkan 'Teori Balon' untuk mengembangkan perekonomian di Kepulauan Barelang. Dalam konsep yang untuk pertama kali dikemukakan di hadapan Menteri Senior  Lee Kuan Yew, Habibie mengatakan, perekonomian Singapura dan kawasan sekitarnya diibaratkan 'suatu sistem balon' yang dihubungkan satu sama lain dengan katup.

Alasan penggunaan katub yakni apabila salah satu balon terus menerus memuai, maka suatu saat tekanannya akan melebihi titik kritis sehingga bisa pecah. Untuk mencegah agar balon pertama tidak pecah, maka balon ke-2 dapat mengambil tekanan berlebihan melalui katup dan dapat membesar tanpa menyebabkan balon pertama kempes. Balon ke-2 yang mengambil tekanan berlebihan dari balon pertama juga akan terus membesar sampai tekanan kritis sehingga dapat dialirkan ke balon ke-3. Demikian pula balon ke-3, ke-4 dan seterusnya dan seterusnya.

Balon pertama tentunya Singapura terus membesar karena perekonomiannya memang maju pesat sehingga boleh dialirkan ke Batam dan setelah membesar kemudian diberi katup agar bisa dialirkan ke Rempang dan setelah membesar diberi katup lagi untuk dapat dialirkan ke Galang. Balon-balon itu, menurut Habibie, merupakan perekonomian suatu kawasan, akan mampu berkembang hingga tekanan kritisnya tanpa pecah atau dikempeskan balon lain. Besar balon-balon itu tidak perlu semuanya sama karena besar maksimum perekonomian setiap daerah akan tergantung pada batas-batas sumber daya alam dan SDM yang tersedia. Singapura, seperti dikemukakan Habibie kepada Lee Kuan Yew, akan mampu berkembang terus menerus apabila dihubungkan dengan perekonomian Malaysia dan Batam dan ketiganya pun dapat terus dihubungkan dengan daerah lain untuk mengambil tekanan ekonomi yang lebih dari sana. Lantas bagamana dengan Kawasan Terpadu Bali-NTB-NTT?

Adalah menarik bahwa untuk membangun perekonomian Barelang, Habibie perlu membangun 6 jembatan penghubung. Diakui pula, teori balon telah membuat Batam menjadi salah satu kawasan industri teknologi canggih. Pertanyaan kita, bagaimana membangun infrastruktur dan akses trasportasi guna mendorong pariwisata di Bali-NTB-NTT? Bagaimana Lombok mengalirkan tekanan ekonomi berlebih akibat ledakan pariwisata Bali. Bagaimana Sumbawa mampu menyiasati katup ekonomi Manggarai dengan menarik tekanan ekonomi berlebih dari Lombok?

Pertanyaan yang sama untuk para bupati di Flores, sejauh mana mereka mampu menyiasati tekanan ekonomi berlebih dari Sumbawa? Demikian pula Sumba yang terkenal dengan genderang pasola dapat menarik tekanan ekonomi berlebih dari Sumbawa untuk dialirkan ke daratan Timor lalu menyatu dengan Alor yang mendapat tekanan ekonomi berlebih dari Flores, atau sebaliknya?

Lebih dari itu, bagaimana menjadikan pariwisata sebagai 'payung bersama' Nusa Tenggara tanpa harus menangisi masa lalu? Karena setelah berpisah dari Bali, angin pariwisata sepertinya tidak berhembus ke NTB dan NTT. Ledakan pariwisata Bali menyebabkan tanah, pasir, hutan, gunung dan sawah berubah menjadi dolar, serentak mengubah budaya spiritual Bali menjadi materialistis. Kerusakan lingkungan akibat hotel dan tempat hiburan dibangun di mana-mana, menyebabkan cermin budaya Bali seperti 20 tahun lalu mulai buram dan pariwisata kerakyatan pun tidak muncul. Yang terus berkembang adalah pariwisata dengan model 4S (Sun, Sands, Sea and Sex) karena hanya itulah standar mainstream pariwisata.


Kekuatan NTT

Keberhasilan ekonomi pariwisata sangat tergantung gaya kepemimpinan dan kiat membangun daerah. Walikota Sawahlunto, Sumatera Barat, Amran Nur, berhasil mendongkrak kunjungan dari 14.000 wisatawan pada 2004 menjadi 466.000 wisatawan pada 2008. Apa yang dia lakukan, yaitu mengabadikan kereta api pengangkut batu bara dan merestorasi tempat masak bagi para pekerja tambang menjadi museum sehingga menjadi obyek wisata yang menarik. Demikian pula Walikota Solo, Joko Widodo, merevitalisasi ruang publik Taman Balekambang, Taman Sriwedari dan Tirtonadi dan menyelenggarakan Ekspo Kota-Kota Pusaka Dunia (World Heritage Cities Conference) dan Solo International Ethnic  Music pada 2008 lalu.

Dan keberhasilan Bali adalah sisi lain penempatan Bali sebagai 'Pulau Turis'. Bali adalah contoh paling konservatif keberhasilan pariwisata karena sejak 1960, pemerintah pusat membangun Hotel Bali Beach menyusul ditetapkan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) Bali dengan menetapkan Nusa Dua sebagai sentral di bawah payung  Bali Tourisme Development Corporation. Maka tidak heran jika setiap hari ada 5.000 turis yang melancong ke Bali. Tetapi soal yang mengemuka dalam seminar 50 Tahun Sunda Kecil yaitu ketertingalan pariwisata NTB dan NTT dari Bali. Tahun 2006, turis asing yang masuk Bali 1.260.317 sementara NTB hanya 26.069, sedangkan NTT tidak ada data karena jarang dikunjungi.

Dan yang menarik dari seminar tersebut adalah banyaknya peserta NTT. Ada Gubernur Frans Lebu Raya, ada Ketua Lembaga Penelitian Undana, Fred Benu, ada Romo Eduard Jebarus, Helena Jenny Rewos, Sri Palupi dan ada pula Sarah Lery Mboeik. Kehadiran mereka diharap bisa memacu para kepala daerah di NTT untuk menambah daya pikat wisata NTT selain Komodo, Kelimutu, Semana Santa dan Pasola. Jangan diabaikan, NTT dalam peta Wisata Bahari Nasional menempati posisi ke-8 dari 13 kawasan wisata bahari kepulauan yang diunggulkan. Sementara Bali dan Lombok menempati posisi ke-10, Batam-Rempang-Galang posisi ke-11.

Kehadiran para nara sumber asal NTT dalam seminar 50 Tahun Sunda Kecil, seolah membuka kembali lembaran masa lalu ketika terbentuknya Pemerintahan Daerah Tingkat I NTT atas keinginan dan hasrat Daerah Nusa Tenggara dalam bentuk resolusi, mosi, pernyataan dan delegasi. Membuka pula kenangan akan resolusi hasil sidang Pemerintah Daerah Timor pada 10 Mei 1950, agar pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Indonesia Timur (NIT) dihapuskan dan dilebur menjadi Republik Indonesia. Artinya, NTT adalah provinsi paling pertama yang 'pindah ke lain hati' alias bergabung dari NIT ke NKRI  (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dan, Pastor muda Gabriel Manek, SVD adalah salah satu anggota DPR-NIT yang langsung pindah menjadi anggota DPR-RI.

Artinya, perlu kelonggaran hati para kepala daerah di NTT, sebagaimana perjuangan para pendahulu, sebagaimana kesadaran Bali kembali ke 'satu pintu' agar pengembangan pariwisata  tetap pada konsep Tri Hita Karana (keselarasan antara manusia, alam dan Sang Pencipta). Dan sebagaimana keinginan Gubernur NTB, Zainul Majdi, agar kebijakan tata ruang nasional Jawa-Bali perlu ditinjau kembali menjadi Bali-NTB-NTT, seperti awal Sunda Kecil. *


Direktur Utama PT Gita Nusa Minahasa Pena dan Pendiri INDITERA (Institut Studi Potensi Daerah)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved