Berita NTT Terkini
Saat Aksi Damai dan Ingin Beraudien! Aliansi Kecewa DPRD NTT
kecewa terhadap para wakil rakyat yang duduk di gedung dewan (DPRD) Provinsi NTT. Pasalnya, tak satu oran pun anggota dewan yang menemui mereka saat
Penulis: Ryan Nong | Editor: Ferry Ndoen
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ryan Nong
POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Massa rakyat yang tergabung dalam Aliansi Front Perjuangan Rakyat menyatakan kecewa terhadap para wakil rakyat yang duduk di gedung dewan (DPRD) Provinsi NTT. Pasalnya, tak satu oran pun anggota dewan yang menemui mereka saat mereka melakukan aksi damai dan ingin beraudiensi pada Senin (10/12/2018) siang.
Ratusan massa yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, pegiat lembaga masyarakat serta warga dan para pekerja seks komersial dari lokalisasi Karang Dempel Kupang itu bahkan telah menunggu hingga siang hari.
Aksi damai itu sendiri, berlangsung sejak Senin pagi dengan terlebih dahulu mendatangi Mapolda NTT di Jalan Soeharto Naikoten Kota Kupang.
Kepada POS-KUPANG.COM, Koordinator umum aksi, Inosentio Naitio mengungkapkan mereka (massa aksi) kecewa karena tidak dapat menemui wakil rakyat untuk menyampaikan sikap dan beraudiensi dengan mereka.
"Kita kecewa karena mereka tidak mau menemui kita, alasannya semua sedang sibuk tugas luar," ujarnya.
• Warga Sembunyikan Orang Asing Denda Rp 200 Juta
Menurutnya, kekecewaan ini beralasan karena mereka menyuarakan beberapa poin yang menjadi kegelisahan rakyat di beberapa wilayah Provinsi NTT, mulai dari penembakan warga, konflik tanah di Sumba dan Kabupaten TTS, juga persoalan penutupan Karang Dempel di Kota Kupang.
"Beberapa kasus yang kita perjuangakan pada hari HAM ini, diantaranya kasus poro duka, kita kecewa dengan kinerja Polda NTT. Kita juga pertanyakan penembakan saudara kita Agus di Sumba Barat, selain itu kita meminta Pemprof untuk memperhatikan saudara kita di Pula Kera, serta kita sikapi Walikota Kupang untuk berhenti merencanakn penutuoan Karang Dempel, karena bagi kita, Isi akan menimbulkan masalah baru," katanya.
Inosentio menjelaskan, untuk kondisi di Pulau Kera, di sana ratusan kepala keluarga dan warga hanya dlibatkan saat pemilu saja, tetapi tidak ada pengakuan sama sekali soal administrasi kependudukan.
"Disana mereka tidak diperhatikan administrasi kependudukannya, misalnya KK dan KTP mereka, padahal mereka juga warga negara kok, yang kita dapat, rata rata SD kelas 3 mereka pindah ke Sulamu," ujarnya.
Oleh karena itu, dalam sikapnya mereka menuntut reforma agraria sejati, mengusut kasus kematian Poro Duka, pihak negara mengebalikan hutan adat maddala di Desa Wellibo Kecamatan Laboya, Sumba Barat.
Mereka juga meminta aparat penegak hukum untuk menangkap pelaku penebangan liar terhadap hutan adat, meminta pemda Sumba Barat menunjuk batas pilar hutan adat serta mencabut izin PT Usaha Tani Lestari yang beroperasi di hutan adat.
Mereka meminta pihak kepolisian mengusut tuntas penembakan aparat pada petani Agus Ana Mesa, dan menolak penutupan Lokalisasi Karang Dempel serta mendukung pemerintah memberikan akses pendidikan kesehatan dan administrasi kependudukan masyarakat di Pulau Kera. (*)