Lucius Karus Kritik Pemerintah dan DPR yang Tak Dukung PKPU Soal Larangan Pileg Mantan Napi Korupsi
Peneliti Formappi Lucius Karus mengkritik pemerintah dan DPR yang tak mendukung PKPU terkait larangan mantan napi kasus korupsi maju dalam Pileg 2019.
POS-KUPANG.COM | JAKARTA - Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengkritik sikap pemerintah dan DPR yang tak mendukung peraturan KPU terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi maju dalam pemilihan legislatif (Pileg) 2019.
Larangan tersebut tercantum dalam pasal 7 ayat (1) huruf h rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Baca: Presiden Jokowi Umumkan Pendapatan Operasional Babinsa Naik 771 Persen Mulai Juli 2018
Menurut Lucius, pemerintah dan DPR seharusnya tidak bersikap permisif dan mendorong wacana parlemen yang bebas dari korupsi.
"Bagi saya ini membenarkan kenapa korupsi masih menjadi praktek yang terus berulang sampai saat ini. Itu disebabkan karena sikap-sikap elite baik di DPR dan Pemerintah tetap permisif," ujar Lucius kepada Kompas.com, Selasa (5/6/2018).
Lucius mengatakan, penolakan pemerintah dan DPR terhadap niat KPU melarang mantan napi koruptor justru menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Masyarakat akan mempertanyakan komitmen kedua lembaga itu terkait upaya pemberantasan korupsi.
Baca: Raja Malaysia Akhirnya Merestui Jaksa Agung Non Muslim, Ini 15 Fakta tentang Tommy Thomas
Ia juga mengkritik sikap Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang enggan menandatangani peraturan KPU. Yasonna menyebut peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Ancaman tidak mau menandatangani PKPU dari Menkumham juga bisa memunculkan kritik dari publik yang merasa aspirasi mereka dalam menunjukkan partisipasi untuk penyelenggaraan pemilu yang berintegritas dan bersih justru dibunuh oleh sikap menteri yang cenderung otoriter," kata Lucius.
Sebelumnya, Yasonna Laoly menegaskan bahwa dirinya tidak akan menandatangani draf PKPU yang mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk maju dalam Pemilu Legislatif 2019.
Baca: BREAKING NEWS: Polres Manggarai Barat Tangkap Warga Prancis Tanam Ganja di Labuan Bajo
Menurut Yasonna, PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/6/2018). Pasal 240 Ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
Baca: LIVE STREAMING Indosiar Vidio.com PSMS Medan vs Persib Bandung Pukul 21.00 WIB Malam Ini
Dengan demikian mantan narapidana korupsi, menurut UU Pemilu, dapat mencalonkan diri sebagai caleg. Yasonna mengatakan, KPU tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak politik seseorang selama tidak diatur dalam undang-undang.
Sementara itu Komisi II DPR meminta KPU tak melarang mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg). Hal itu menjadi kesimpulan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR dengan KPU di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5/2018) lalu.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Viryan menilai, penolakan Kementerian Hukum dan HAM dalam memproses draf Peraturan KPU tentang Pencalonan Anggota Legislatif berpotensi mengganggu Pileg 2019.
"Kalau tidak (diproses), berpotensi pileg terhambat," ujar Viryan di Istana Wakil Presiden RI, Jakarta, Senin (4/6/2018).
Menurut Viryan, Kemenkumham pada dasarnya tidak berhak untuk mengoreksi isi dalam draf PKPU Pencalonan tersebut.