Begini Potret Politik Kelas Menengah di NTT
Memotret politik kelas menengah di NTT, tulisan ini mengajukan beberapa argumentasi. Pertama, politik lokal
Oleh: Bene Dalupe
Alumnus Undana, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
POS KUPANG.COM -- Tulisan ini hendak memotret suatu golongan kelompok sosial yang begitu berpengaruh di tingkat lokal. Di antaranya mereka yang paling berkepentingan dalam hajatan politik hari-hari ini.
Penjelasan yang gamblang akan menghantarkan kita untuk menemukan jawaban terkait persoalan kemiskinan atau perubahan sosial yang sepertinya tidak kelihatan.
Memotret politik kelas menengah di NTT, tulisan ini mengajukan beberapa argumentasi. Pertama, politik lokal di NTT merupakan politik elit yang didukung atau bersumber dari kelas menengah.
Kedua, distribusi kesejahteran sosial yang bersumber dari ruang politik negara banyak mengalami hambatan (bahkan pembusukan) di kelas ini. Ketiga, kecenderungan sebagian besar anggota kelas ini terhadap status quo (kemapanan).
Potret Kelas Menengah di NTT
Tidak ada definisi universal mengenai kelas menengah, sebab tidak ada kategori baku yang disepakati para ilmuwan sosial untuk membedakannya dengan kelompok lain.
Tetapi penulis meminjam hasil studi Gerry Van Klinken,dkk (In Search of Middle Indonesia, 2016).
Klinken menyebut kelas menengah dengan istilah "kelas menengah bawah" (lower middle class). Mereka yang ditemukan di kota-kota menengah di Indonesia.
Kota Kupang, merupakan salah satu locus studi Klinken. Jumlah anggota kelas ini tidak sedikit, terdiri dari wiraswastawan atau pengusaha menengah, pegawai swasta dan di sektor publik/milik negara. Anggota-anggota masyarakat terkaya dari kelas ini adalah pengusaha sukses, profesional pendidikan, tokoh agama, dan pejabat senior (birokrat/politisi).
Pada tingkat nasional, posisi tersebut sebagian besar termasuk kelas menengah bawah. Namun di kota mereka sendiri, mereka lebih cenderung dilihat sebagai "elit".
Perdagangan dan pemerintahan mendominasi ekonomi mereka. Mereka boleh disebut sebagai kelas yang beruntung karena pendidikan, status, pendapatan, akses terhadap negara yang mereka dapatkan dibandingkan yang lain.
Temuan Klinken di kota-kota menengah itu mirip dengan di kota-kota kecil kabupaten seperti di Sumba. Jacqueline Vel (Uma Politics, 2008) menyebut dengan istilah `kelas politik' untuk suatu golongan kelompok sosial di Sumba, dimana negara adalah sumber pekerjaan bergaji paling penting dan menjadi sektor utama ekonomi bagi mereka.
Istilah Vel tersebut kiranya jelas membatasi `kelas menengah' yang dimaksud. Karena itu politik lokal adalah tentang distribusi sumber daya negara dan strategi untuk mendapatkan posisi atau akses di/ke pemerintahan
Menurut Klinken, negara merupakan sumber utama pekerjaan mayoritas kelas ini. Keuntungan yang didapatkan umumnya tidak dengan mengontrol alat-alat produksi, tetapi mengontrol rente yang mereka peroleh dari negara atau dari posisi manajerial.
Mereka terlibat aktif dalam politik dengan motivasi untuk mendapatkan kontrol yang lebih langsung atas sumber daya negara. Akses ke kekuasaan melalui jalur birokrasi formal dan sering pula tampak dengan cara-cara informal; pendekatan sosial dan budaya.