Wisata NTT

Wisata NTT, Kuda Menjadi Simbol Budaya Sumba,  jadi Tunggangan Saat Festival

Begitu menginjakan kaki di Pulau Sumba, wisatwan akan terbiasa melihat kuda yang berkeliaran

|
Penulis: Alfred Dama | Editor: Alfred Dama
KEMENDIKBUD via Indonesia.Grid.ID
Kuda-kuda Sumba dalam sebuah hajat Pasola seusai panen di Waingapu, Sumba Timur. 

Berada di posisi terluar, Sumba relatif bebas dari pengaruh luar. Ekspedisi Kerajaan Singasari dan Majapahit tercatat pernah sampai ke pulau ini, tapi tak meninggalkan jejak budaya. Orang Eropa (Portugis) juga pernah masuk 1522, tapi tak membangun koloni. Sumba tak dijajah oleh siapapun hingga Pemerintah Hindia Belanda datang 1866 memasukkan Sumba dalam wilayahnya.

Baca juga: Wisata NTT,  Pesona Kampung Adat Kawa di Kaki Gunung Ebuloba dan Amagelu di Nagekeo NTT

Penyebaran Kristen berlangsung sejak 1881, antara lain, melalui lembaga Zending yang membuka  sekolah rakyat. Tapi, pengaruhnya hanya pada golongan atas saja, yaitu pada kelompok Ratu dan Maramba, yang tidak banyak jumlahnya. Sebagian besar masyarakat masih tetap memilih menjadi penghayat Marapu.

Bahkan, di Kecamatan Umalulu, Sumba Timur, misalnya, hingga 1982 hanya 1,1 persen saja dari seluruh penduduk yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Namun, situasi telah berubah. Kini, dari sekitar 260 ribu warga Sumba Timur, 77,6?ragama Kristen. Katolik 8,8 persen , Islam 6,3 persen , Hindu 0,16 persen, dan penghayat Marapu 6,8 % . Selebihnya Buddha dan Konghuchu.

Lonjakan jumlah umat beragama itu tak lepas dari dinamika masyarakat Sumba sendiri, di samping ada tuntutan administrasi negara yang mensyaratkan semua orang  menganut  agama resmi. ‘’Mau ambil KTP, daftar sekolah, apalagi yang mau ikut tes masuk pegawai negeri  atau TNI-Polri, semua harus mengisi kolom agama, ‘’ kata Umbu Laiya Kasedu, tokoh adat Marapu pada  sebuah seminar  di Solo (2018).

Toh, keprihatinan Umbu Kasedu tidak berlarut-larut. Ketentuan kolom agama yang telah berumur 41 tahun itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sejak awal 2019, Kemendagri mengizinkan warga mengisi aliran kepercayaan yang dianutnya (termasuk Marapu) pada kolom agama di KTP.

Adat Marapu pun kini makin leluasa bergerak bersama derap kuda-kuda Sumba. Kini, kuda Sumba tak hanya menjadi bagian dari ritual budaya, ia pun bagian dari geliat ekonomi rakyat. Populasinya terus bertahan. Di Sumba Barat ada 6.900 ekor kuda, dan di Kabupaten Sumba Timur yang padang kembaranya lebih luas dan lebih hijau hidup 37.000 ekor. Masih ada 15.000 ekor lainnya di Sumba Tengah dan Barat Daya.

Meski tak terlalu cepat, perekonomian Pulau Sumba juga terus berkembang. Populasi sepeda motor, sapi potong, dan kerbau sudah melampaui jumlah kuda. Ribuan ekor sapi, kerbau, dan kuda setiap tahunnya dikapalkan keluar pulau untuk diperdagangkan. Begitu halnya dengan kambing dan babi.

Sumba  adalah tempat hewan ternak dibudidayakan. Untuk  sapi, kerbau, kambing, dan babi, ada banyak sentra produksinya, tapi untuk “komoditas kudaSumba ialah “agen tunggalnya”. Sekitar 6.000–7.000 ekor kuda Sumba dijual ke luar pulau. Ada yang diperdagangkan sebagai kuda wisata, kuda pacu, kuda delman, atau kuda indukan. Harganya sekitar Rp7 juta hingga Rp8 juta untuk kuda anakan, Rp20 juta untuk kuda dewasa, dan bisa berlipat kali untuk kuda juara.

Secara geneologis kuda Sumba disebut berasal dari ras kuda Mongol, yang datang ke Nusantara pada awal era penyebaran  Hindu. Kuda bukan hewan endemik Nusantara. Belum  ada dokumen kuat yang menyebut awal kedatangannya ke Sumba. Namun diyakini, mereka datang pada waktu yang hampir bersamaan dengan kuda-kuda yang ada di Flores dan Pulau Timor.

Kemungkinan ketika Portugis datang ke Sumba awal 1500-an untuk berdagang, kuda-kuda Sumba sudah ada. Orang Portugis diduga membawa kuda Arab sebagai alat pembayaran untuk kayu-kayu cendana (sandalwood) yang diborongnya. Persilangan kuda Arab dan kuda lokal itu agaknya yang menjadi tetua dari kuda sandelwood Sumba. Orang Belanda kemudian mendatangkan kuda-kuda jantan Australia untuk membuat kuda sandelwood itu lebih kekar.

Hasilnya ialah kuda sandelwood yang ada saat ini. Tinggi kuda Sumba diukur dari punggung antara 110–130 cm, dengan berat rata-rata 210 kg. Lebih kecil dari kuda Arab yang tingginya 140--150 cm dengan berat di atas 300 kg. Sementara itu, kuda-kuda Eropa-Amerika tingginya 150--170 cm, dengan berat badan di atas 400 kg.

Karena fisiknya yang kecil, sebagian tingginya di bawah 110 cm, kuda Sumba sering disebut sebagai kuda pony. Ciri khasnya adalah bentuk kepala yang besar, rata, kuping kecil, dan leher serta bahu yang kekar. Namun, kuda Sumba relatif lebih gagah dari kuda-kuda di Jawa yang hingga kini masih banyak digunakan untuk kuda delman atau kuda wisata.

Kuda Sumba kini terus berlari berpacu dengan zaman, ketika sebagian padang gembala digunakan untuk budi daya sapi potong dan kerbau. Mereka juga harus beradaptasi pada situasi baru setelah Presiden Jokowi menargetkan hadirnya 5.000 ha (50 km2) ladang-ladang di Sumba dijadikan food estate, dengan tanaman pagi, jagung atau sorgum.

Kuda-kuda Sumba itu akan berderap bersama lenguhan sapi, kerbau, dan derum traktor dan ribuan sepeda motor. Mereka bukannya sedang berlomba dan saling menyingkirkan, hanya mencari derap yang padu dalam harmoni adat Tanah Marapu.

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka

Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh

Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda

Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh *

Baca berita lain di Pos Kupang.com KLIK >>> GOOGLE.NEWS

 

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved