Wisata NTT

Wisata NTT, Kuda Menjadi Simbol Budaya Sumba,  jadi Tunggangan Saat Festival

Begitu menginjakan kaki di Pulau Sumba, wisatwan akan terbiasa melihat kuda yang berkeliaran

|
Penulis: Alfred Dama | Editor: Alfred Dama
KEMENDIKBUD via Indonesia.Grid.ID
Kuda-kuda Sumba dalam sebuah hajat Pasola seusai panen di Waingapu, Sumba Timur. 

Dibanding Flores, yang ada di sebelah utara, Sumba lebih kering. Pesisir utara Pulau Sumba sering kali hanya menerima curah hujan 800–1.000 mm per tahun. Pada bagian barat sedikit lebih basah, dengan curah hujan sampai  1.500 mm per tahun.  

Secara umum, kemarau yang meranggas biasa terjadi 6--7 bulan dalam setahun. Kondisi alamnya pun berbeda. Di pegunungan, tumbuh hutan-hutan tropis kering dengan kerapatan pohon yang tak terlalu tinggi. Di lembah muncul padang savana yang luas menghampar.

Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka

Di mana Matahari membusur api di atas sana

Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka

Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga

Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput

Kleneng genta, ringkik kuda, dan teriakan gembala

Berdiri di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut

Dan angin zat asam panas dikipas dari sana

 
Nukilan puisi berjudul “Beri Daku Sumba” yang ditulis oleh Taufiq Ismail (1970), untuk sahabatnya penyair asal Sumba, Umbu Landu Paranggi (1943-2021), adalah kerinduan untuk alam Sumba yang berdiri megah di atas Tanah Marapu. 

Para perjaka menunggang kuda di atas padang, mengembala kuda-kuda sandel, sapi, dan kerbau di kaki perbukitan. Di pondok bambu di dusun, ibunda mereka mengurus kambing dan babi.

Marapu

Pulau Sumba yang juga berjulukan Tanah Marapu menyimpan kehidupan yang khas. Bagi sebagian penduduk Sumba, mengurus sapi, kerbau, kambing, dan babi adalah urusan ekonomi. Namun soal kuda, itu terkait ke masalah budaya lokal yang akarnya terikat ke sistem keyakinan Merapu, agama klasik yang sejak lama hidup di kalangan masyarakat adat setempat.

Ritual penyembelihan kuda masih sering menjadi bagian dari ritual pemakaman para tokoh adat Marapu. Pengorbanan itu dianggap penting untuk mengantarkan ruh ke Prai Marapu, yakni surga yang diyakini pada penghayat Marapu. Adat itu masih bertahan dengan ritual pemujaan ke arwah para leluhur. Secara harfiah, marapu berarti mulia.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved