NTT Terkini

Transisi Energi di NTT Harus Responsif Gender

keterbatasan energi menambah beban perempuan dan meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender karena minimnya penerangan di ruang publik.

Editor: Eflin Rote
POS-KUPANG.COM/TARI RAHMANIAR ISMAIL
Ketua Analisis Mitigasi dan Sektor Energi Pokja Perubahan Iklim NTT, Sherley S. Wila Huky 
Ringkasan Berita:
  • Pokja Perubahan Iklim menegaskan transisi energi di NTT tidak hanya soal teknologi dan pengurangan emisi
  • Paparan data RCA CIS Timor menunjukkan ketimpangan yang mencolok perempuan di NTT bekerja hingga 17 jam per hari

Laporan reporter POS-KUPANG.COM, Tari Rahmaniar

POS-KUPANG.COM, KUPANG — Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Pokja Perubahan Iklim menegaskan transisi energi di NTT tidak hanya soal teknologi dan pengurangan emisi, tetapi juga soal keadilan sosial. 

Penegasan ini disampaikan dalam pemaparan “Potret Transisi Energi Berkeadilan” yang dibawakan Ketua Analisis Mitigasi dan Sektor Energi Pokja Perubahan Iklim NTT, Sherley S. Wila Huky, dalam kegiatan Cross Learning NTB/NTT, Senin (17/11/2025) di Taman Laut Handayani Kupang. 

Di tengah tingginya ancaman triple planetary crisis perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati NTT masih menghadapi kenyataan emisi sektor energi terus meningkat, mencapai sekitar 3 juta ton CO₂eq pada 2024.

Ironisnya, dari potensi 383,31 MW energi terbarukan, pemanfaatannya baru 8,76 persen atau 52,33 MW. 

Paparan data RCA CIS Timor menunjukkan ketimpangan yang mencolok perempuan di NTT bekerja hingga 17 jam per hari, termasuk aktivitas domestik dan produktif, jauh lebih berat dibanding laki-laki yang bekerja 11 jam dengan waktu istirahat hingga dua kali lebih lama. 

Ketimpangan ini berakar dari kurangnya akses energi: 68 persen rumah tangga masih memakai kayu bakar, penggunaan LPG hanya 2,35 persen, 4,96 persen rumah tangga belum berlistrik, meski 87,81 persen sudah terhubung PLN.

Baca juga: VCA Gelar Temu Inspiratif Local Champions Penggerak Perubahan Iklim Nusantara di Kupang

Sherley S. Wila Huky, menjelaskan keterbatasan energi menambah beban perempuan dan meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender karena minimnya penerangan di ruang publik. 

"Karena itu, pemerintah merumuskan transisi energi di NTT harus responsif gender, inklusif disabilitas, dan melibatkan masyarakat adat. Kelompok rentan diposisikan bukan hanya penerima manfaat, tetapi juga aktor perubahan dalam penyediaan dan efisiensi energi," ujarnya, Senin (17/11). 

Strategi integrasi GEDSI memberikan manfaat nyata, seperti berkurangnya beban mencari kayu bakar, meningkatnya waktu produktif perempuan, kesempatan anak belajar malam hari, meningkatnya keamanan perempuan dan anak, peluang ekonomi baru berbasis energi bersih 

NTT memasukkan prinsip berkeadilan ke dalam rancangan Perda RUED 2025–2034. Tujuannya memastikan setiap warga baik perempuan, laki-laki, lansia, anak, penyandang disabilitas, maupun masyarakat adat mendapat akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang setara dalam pembangunan energi. 

"Lima misi pembangunan energi disusun untuk menjawab tantangan tersebut, mulai dari pemanfaatan EBT, konservasi energi, tata kelola yang baik, hingga memastikan pembiayaan energi yang terjangkau serta mengarusutamakan GEDSI di seluruh program energi daerah," ungkapnya. 

Salah satu target penting RUED adalah mendorong keterlibatan perempuan dan kelompok rentan dalam pemanfaatan energi terbarukan untuk menekan kemiskinan ekstrem bentuk kebijakan yang menempatkan energi sebagai pintu masuk kesejahteraan, bukan sekadar infrastruktur teknis. (iar)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved