NTT Terkini

Polemik Operasi Moke, Antropolog : Minum Sedikit Simpan Lebih Banyak 

Begini pandangan Antropolog Pater Dr. Philipus Tule terkait Polemik Operasi Moke oleh polisi di NTT: Minum sedikit simpan lebih banyak 

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Adiana Ahmad
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI 
TANGGAPAN ANTROPOLOG SOAL POLEMIK MOKE - Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol. Henry Novika Chandra dan Antropolog Pater Dr. Philipus Tule, SVD bersama host Manager Online Pos Kupang, Alfons Nedabang dalam Podcast Pos Kupang, Kamis, 13/11/2025.  

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Operasi Moke yang dilakukan polisi di NTT kini menjadi polemik di tengah masyarakat.

Di satu sisi moke sebagai budaya, di sisi lain bertentangan dengan turan karena bisa memicu gangguan ketertiban umum.

Lalu bagaimana pandangan Antropolog terkait polemik ini?

Antropolo sekaligus akademisi Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Pater Dr. Philipus Tule, SVD mengatakan, pada prinsipnya sebagai seorang budayawan dan juga pastor dia menyadari bahwa konsumsi minuman keras moke dan sopi adalah bagian dari budaya. 

Tapi Pater Philipus Tule mengingatkan, peredaran moke sebagai salah satu minuman keras atau miras ) harus dijaga dan diawasi agar tidak berlebihan.

Baca juga: Polda NTT Tanggapi Polemik Operasi Moke dan Sopi, Polri Juga Penjaga Peradaban

Karena secara budaya, konsumsi moke dalam ritual  tujuannya untuk kebaikan, bukan untuk mabuk. 

"Saya selalu teringat dengan kearifan lokal kami orang Ende, orang Nagekeo, bahwa kalau makan itu kita makan sedikit simpan lebih banyak, minu selo'o welu seondo. Minum sedikit tapi lebih banyak kita simpan dan itulah sebenarnya kebijakan kearifan lokal kita NTT bahwa kalau kita memproduksi minuman keras itu kita minum sedikit lebih banyak kita simpan," katanya. 

Tujuannya, untuk dijua dalam rangka meningkatkani income keluarga. "Itulah sebenarnya satu bentuk pengamanan, pengawasan untuk masyarakat kita sendiri," demikian disampaikan Pater Philipus dalam Podcast Pos Kupang bersama Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol. Henry Novika Chandra, Kamis, 13/11/2025. 

Berikut cuplikan wawancara eksklusif bersama Pos Kupang. 

Seperti apa anda melihat persoalan moke dalam kultur budaya masyarakat NTT ini dari perspektif Antropolog

Sebelum kita masuk pada topik Pro dan Kontra Operasi Penertiban Moke baiklah kita lihat dari perspektif keamanan seperti yang diungkapkan pak Kabid Humas Polda NTT. Dari segi Antropologi saya selalu melihat bagaimana budaya memproduksi moke, sopi dan lain-lain dari perspektif budaya dan bagaimana pemanfaatannya sebagai suatu masyarakat, budaya bahkan tradisional, sebenarnya budaya memproduksi dan mengonsumsi moke itu sudah lama sekali, sebagaimana di dalam masyarakat Eropa, saya sepuluh tahun hidup ditengah masyarakat Eropa dan budaya minum alkohol, minum anggur, minum bir, minum whiskey, aperitif untuk sebelum makan, itu menjadi suatu budaya tapi karena itu menjadi suatu budaya maka semua orang yang mengonsumsi itu tahu bahwa ini manfaatnya, tujuannya adalah untuk aperitif, untuk membangkitkan nafsu makan sebelum makan. Kalau dipakai untuk acara-acara sosial, ritual, juga begitu. Orang tahu bahwa tujuannya untuk ritual, untuk ritual perdamaian, untuk ritual menyelesaikan konflik dan dalam peran kami para imam itu di dalam ritual Misa setiap hari kami juga menggunakan anggur. Ada unsur alkohol di dalamnya. Tapi itu diketahui secara ritual bahwa ini adalah simbol dari Darah Kristus yang menyelamatkan, jadi orang mengonsumsi tidak berlebihan, menjadi over drinking yang bisa memabukkan. Jadi dari segi itu maka produksi moke, sopi di masyarakat NTT secara tradisional dan masyarakat lain pun, itu adalah satu kebudayaan yang layak dilestarikan dan dikembangkan mungkin dengan menggunakan teknologi-teknologi yang lebih tepat guna, yang lebih sehat dan lebih bermanfaat. Kalau perlu bukan untuk ritual dan kebutuhan di dalam masyarakat tapi sampai untuk diperdagangkan, diperjualbelikan. Oleh karena itu, yang dipersoalkan atau yang diperdebatkan, pro - kontra, itu sudah menyangkut aspek-aspek yang tidak baik dari budaya minum alkohol dan itulah yang sebenarnya membutuhkan penertiban. Oleh karena itu saya ketika melihat topik diskusi kita pro dan kontra, kalau secara jelas program ini adalah program pemerintah bahkan program lembaga keagamaan dan masyarakat, saya menyetujui program operasi penertiban, artinya kita bekerja supaya menertibkan orang-orang yang memproduksi moke, sopi dan lain-lain dan mengonsumsi, itu penertiban mulai dari produksi sampai konsumsi. Sebenarnya siapa yang harus menertibkan? Sekarang kita katakan kepolisian, keamanan yang harus menertibkan tapi sebenarnya semua lembaga kita bertanggungjawab. Jadi kalau melihat dampak-dampak negatif dari konsumsi miras yang berlebihan itu bukan saja terbatas di lingkungan masyarakat, masyarakat adat dan sebagainya, sekarang sudah masuk di lembaga pendidikan di tingkat SMA, universitas, harus kita libatkan semua pimpinan lembaga ini, lembaga agama, lembaga pendidikan membantu menertibkan. Kalau sejauh usaha penertiban ini dilakukan masih dengan cara dan langkah yang tepat itu kita pro. Tapi saya kontra kalau misalnya dilakukan operasi eliminasi minuman keras moke atau pemusnahan moke sopi. Itu sebenarnya tindakan kita mengkriminalisasi praktek-praktek budaya yang sudah ada, yang harusnya kita lestarikan. Saya kontra disitu sehingga ini juga menjadi awasan bagi keamanan, bagi kita, mana yang kita mau tertibkan dan sejauh mana upaya kita. 

Baca juga: Polemik Operasi Moke dan Sopi, Kabid Humas Polda NTT: Polri Menganut Asas Ultimum Remedium

Konkritnya untuk penertiban di level produsen dan pihak konsumen seperti apa? 

Kalau saya melihat bahwa para petani dan penyadap tuak kita masyarakat tradisional memproduksi minuman keras moke atau sopi dengan peralatan yang tradisional seperti periuk tanah, itu sangat terbatas jadi pasti mereka akan memproduksi dalam jumlah yang terbatas dan hanya untuk memenuhi kebutuhan yang terbatas juga. Tapi kalau masuk teknologi-teknologi lain yang baru, yang mengutamakan misalnya jumlah, itulah sebenarnya peran keamanan peran pimpinan lembaga untuk mengawasi sehingga pengawasan terhadap produsen minuman keras tradisional ini harus melihat itu karena bagaimana pun kita sadar bahwa kalau produksi miras itu menjadi warisan budaya beberapa petani kita yang dari kegiatan itu mereka bisa mendapat income untuk menyekolahkan anak bahkan anak-anak itu sudah menjadi pegawai, polisi, imam, itu dari penjualan arak juga jadi produsen seperti itu yang perlu kita lindungi, kita awasi dan kita bantu supaya mereka terus menjalankan produksi itu untuk kepentingan income, ekonomi mereka.

Yang harus ditertibkan harusnya peminum bukan produsen. Seperti apa anda melihat ini? 

Saya setuju kalau alkohol dianggap sebagai penyebab kekacauan, perkelahian, KDRT dan bahkan ada satu penelitian dari rekan saya Dr. Sabina Gero, pada tahun 2019 dia meneliti tentang dampak konsumsi alkohol di Kabupaten Sikka, itu sudah merasuki banyak generasi muda, merasuki banyak kepala keluarga maka terjadilah kekerasan dalam rumah tangga dan untuk generasi muda itu juga secara kesehatan memengaruhi inteligensi, menurunnya IQ generasi muda kita. Oleh karena itu saya sangka apa yang harus kita lakukan adalah mengatur pengawasan dan penertiban kepada kelompok-kelompok yang mabuk itu, bukan menghilangkan minuman sopi dan arak tapi kita langsung mengawasi. Jadi mereka itu adalah pasien-pasien dalam masyarakat yang harus ditangani, tentu pertama dengan promosi penyadaran, preventif, tapi kalau mereka sudah mabuk, itu sudah harus dikuratif, ditindak. 

Seperti apa anda mencermati Pergub 44 tahun 2019? 

Dari perspektif saya sebagai seorang pengamat, juga sekaligus yang mengonsumsi dalam momen-momen tertentu, sebagai orang yang biasa mengonsumsi minuman keras atau alkohol, itu biasanya mereka mencari yang berkualitas baik dan karena itu Pergub juga bisa mengatur dan mengawasi pihak pengedarnya, bukan saja produsen, karena produsen dari miras-miras yang berkualitas tinggi itu kan dari luar. Jadi dari situ peran keamanan itu mengawasi sehingga operasi penertiban terhadap pengedar, penjual itu saya sangka perlu. Karena dari segi ekonomis dalam satu masa di 2019 Gubernur Viktor Laiskodat juga pernah bekerjasama dengan Undana menghasilkan Sophia, sopi asli, dengan teknologi yang bagus, dengan penelitian akademik yang baik dan kemudian dijual dengan harga yang mahal juga. Ini akan menjadi orang-orang yang konsumsi alkohol untuk membeli itu juga tapi itu kan bahannya diambil dari sopi, nira, tuak atau arak yang diproduksi oleh petani-petani sederhana. Itu juga satu tahap yang bagus meningkatkan kualitas produksi sopi atau moke kita. 
Tapi yang kedua yang saya inginkan, pengawasan atau penertiban moke dan sopi itu di lingkungan orang-orang yang paling banyak mengonsumsi itu, mungkin dilakukan di pasar, lembaga pendidikan, terminal, itu juga perlu dilakukan karena di luar negeri, orang sudah menggunakan alat yang disebut breathalyzer alcohol content, itu polisi atau pihak keamanan mereka lihat sopir, cek kadar alkohol, lalu ditanda ini sudah melewati batas maka SIMnya dilobangi. Sampai tiga kali dilobangi berarti dicabut SIMnya. Begitu juga kampus atau sekolah. Anak-anak yang tidak boleh konsumsi alkohol itu pihak keamanan bisa melakukan penertiban. 

Jadi kembali ke Pergub, ada satu poin itu penertiban pihak pengedar, penjual, dari tempat-tempat yang seharusnya tidak boleh ada tindakan jual beli disitu.

Apa respon anda terhadap program Gubernur Melki Laka Lena, One Village One Product yang juga menyasar moke untuk dibuat produk yang bagus? 

Itu juga bagus, artinya bukan saja produk minuman keras, ada produk-produk lain seperti mengalihkan hasil nira menjadi gula lempeng, menjadi gula semut, itu sebenarnya usaha-usaha yang bisa dilakukan terhadap masyarakat petani seperti orang Rote misalnya, masyarakat Rote itu dikenal sebagai masyarakat petani Lontar sehingga ada buku yang terkenal, Panen Lontar dari Profesor Vox, karena dari lontar itu orang bisa memproduksi minuman keras tapi ternyata bagi orang Rote bukan itu satu-satunya produk. Dari lontar itu mereka buat sasando, gula, sehingga salah satu penulis Belanda, Max Havelaar menulis, orang Rote itu adalah suku bangsa yang meminum makanannya. Semuanya dari gula. Untuk makannya gula lempeng, untuk cairannya dikasih cair. Karena itulah, mengandalkan produksi dari satu sumber yang mungkin pertama disangka akan menjadi minuman keras ternyata bisa dibuat produk-produk yang lain. (uzu)

Ikuti berita POS-KUPANG.com di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved