Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik Senin 27 Oktober 2025, "Formalitas dan Budaya Cuek"

Jelasnya, jangan sampai kita yang dalam KTP mengaku beragama Katolik, tetapi dalam tindakan dan perilaku kita sehari-hari jauh dari cinta kasih.

Editor: Eflin Rote
Dok. POS-KUPANG.COM
RP. John Lewar SVD menyampaikan Renungan Harian Katolik 

Renungan Harian Katolik Suara Pagi
Bersama Pastor John Lewar, SVD
Biara Soverdi St. Yosef Freinademetz
STM Nenuk Atambua Timor – NTT
Senin, 27 Oktober 2025
Hari biasa Pekan XXX
Rm. 8:12-17; Mzm. 68:2,4,6-7ab,20-21; Luk. 13:10-17
Warna Liturgi Hijau

FORMALITAS DAN BUDAYA “CUEK”

Banyak orang – kalau tidak boleh mengatakan semua – mengaku dirinya beragama. Bahkan dengan bangganya para tokoh masyarakat kita mengklaim bahwa Indonesia adalah negara beragama.

Semua itu secara formalitas nampak benar, tetapi satu hal penting yang harus diperhatikan: Apakah yang mengaku beragama itu sudah menunjukkan sikap imannya yang baik dan benar? Jangan sampai kita “beragama” tetapi tidak “beriman”.

Jelasnya, jangan sampai kita yang dalam KTP mengaku beragama Katolik, tetapi dalam tindakan dan perilaku kita sehari-hari jauh dari cinta kasih.

Kita mengaku “Katolik” tetapi tingkah laku kita menuruti “budaya cuek”, bersikap “masa bodoh” atas semua peristiwa atau hal-hal yang memerlukan perhatian, kepedulian dan bantuan kita.

Perikop Injil hari ini berkisah tentang Tuhan Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang sudah 18 tahun dicengkeram oleh roh jahat hingga punggungnya bungkuk dan tidak dapat berdiri tegak. Ini adalah kisah yang khas dari Lukas, penginjil yang mempunyai latar belakang profesi dokter dan sangat peduli pada orang-orang kecil.

Terlebih lagi Tuhan Yesus tampil sebagai seorang Guru yang penuh perhatian dan sangat peduli kepada mereka yang sakit, lemah, miskin dan terpinggirkan.

Keberpihakan kepada orang-orang kecil sangat mencolok pada Diri Guru Muda dari Nazareth ini, sehingga Yesus tetap menyembuhkan perempuan itu, meski hari Sabat. Inilah yang dikritik oleh kepala sinagoga itu di depan para jemaat. 

Benar bahwa Sabat adalah hari yang dipersembahkan secara khusus kepada Allah. Dan pada hari itu orang-orang pergi ke sinagoga untuk mendengarkan Firman Allah.

Akan tetapi nilai-nilai kehidupan dan keselamatan perlu lebih dijunjung dari pada formalitas aturan hari Sabat. Peraturan untuk mengisi hari suci Sabat itu dibuat oleh manusia. Tujuan utamanya adalah demi Kemuliaan
Allah dan keselamatan manusia. Yesus – yang adalah juga Anak Allah – datang ke dunia ini dengan misi penyelamatan.

Dalam Diri Yesus misi perutusan ini tetap melekat dan tidak dapat ditanggalkan, apalagi dibatasi oleh aturan-aturan yang dibuat oleh manusia.

Maka jika Yesus melihat di depan mata-NYA sendiri seorang “anak Abraham” yang sudah lama dalam kekuasaan roh jahat, apakah IA akan tinggal diam, “cuek” saja dan tidak berbuat sesuatu?

Sabat memang harus dirayakan untuk Tuhan, tetapi tidak berarti tidak bisa atau tidak boleh berbuat kebaikan, terutama yang menyangkut nilai-nilai kehidupan dan keselamatan manusia.

Kalau Yesus mengkritik dan menyebut kepala sinagoga itu “munafik,” bukan berarti bahwa IA tidak mau menghormati hari Sabat dan sengaja melanggar aturan hari Sabat! Yesus mengecam sikap kepala sinagoga yang bersembunyi di balik aturan formal dan ritual hari Sabat, atau aturan agama pada umumnya.

Yesus ingin mengingatkan kita bahwa semua peraturan agama harus didasari oleh iman dan cinta kasih dengan keselamatan sebagai tujuan utamanya.

Jangan sampai hukum dan segala peraturan agama menghalangi kita untuk dapat mencintai dan memberikan keselamatan bagi orang banyak.

Penyembuhan orang sakit pada hari Sabat menunjukkan belas kasih dan cinta Allah melampaui aturan, tata cara dan hukum keagamaan. Tindakan-NYA hendak mengajarkan universalitas kasih Allah yang tidak terikat pada ruang dan waktu.

Kasih Allah diberikan untuk semua orang dan siapa saja yang membuka diri pada Sabda-NYA. Warta dan pernyataan belas kasih Allah membawa kesembuhan dan keselamatan.

Belas kasih Allah menjadi sebuah tawaran bagi setiap orang. Agar mampu menerima dan menghidupi semangat kasih Allah, maka hidup ini harus dipimpin oleh Roh Allah sendiri. Rasul Paulus mengingatkan kita dalam Bacaan Pertama bahwa setiap orang yang menerima ROH menjadi bagian dari anak-anak Allah.

Dan oleh ROH itu pula kita berani menyebut Allah sebagai Bapa (Rm.8: 15). Martabat sebagai anak-anak A llah memampukan kita untuk hidup sesuai dengan Kehendak Allah Bapa dan pada akhirnya mampu memberi kesaksian akan Kasih Bapa yang menyelamatkan.

tu berarti kita harus memberikan diri dan seluruh yang ada pada kita sebagai saluran berkat-NYA bagi sesama dan masyarakat sekitar kita. Hanya dengan demikian kita layak disebut sebagai murid Kristus. Sudahkah hidup kita menunjukkan indikasi itu? 

Semoga Bacaan-bacaan Suci hari ini, khususnya Injil, menyadarkan kita agar dalam hidup menggereja dan memasyarakat kita tidak larut dalam formalisme dan ritualisme yang akan mendangkalkan dan menjauhkan kehidupan iman dari persoalan dan pergulatan hidup sehari-hari.

Doa Penutup: Ya Yesus, ajarilah dan dampingilah aku agar aku tidak bersikap “cuek”, “acuh tak acuh” terhadap segala permasalahan dalam hidup ini.

Jadikanlah aku saksi dan pembela nilai-nilai kehidupan dan keselamatan, sekalipun harus menghadapi berbagai resiko. Amin.

Sahabatku yang terkasih, Selamat hari Senin. Salam doa dan berkatku untukmu dan keluarga di mana saja berada: Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus....Amin. (Pastor John Lewar SVD)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved