Opini
Opini: Abnormalitas yang Dinormalisasi
Setiap orang bertindak seolah peserta didik yang wajib mengisi presensi setiap memulai pelajaran sebagai konfirmasi kehadirannya.
Oleh: Agustinus S. Sasmita
Alumnus Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Tendensi manusia untuk beradaptasi merupakan kemampuan bawaan dan sudah teruji dalam periode evolusi di masa lalu.
Semula kebutuhan primer manusia hanya terbatas pada sandang, pangan dan papan.
Namun, kini ada variabel tambahan dari ketiga kebutuhan dasar itu,
yakni kehausan akan pengakuan dari pihak lain.
Ada banyak indikator untuk membuktikan hal tersebut, satu dari antaranya ialah perlombaan menampilkan potret diri di berbagai platform media sosial.
Setiap orang bertindak seolah peserta didik yang wajib mengisi presensi setiap memulai pelajaran sebagai konfirmasi kehadirannya.
Baca juga: Dinkes Timor Tengah Utara Beberkan Data Kasus HIV-AIDS Kurun Waktu Tahun 2023-2025
Tambahan kebutuhan ini tidak luput dari konsekuensi plus-minus. Para penggiat kejahatan diperluas frekuensinya dengan kehadiran teknologi yang menjadi fasilitas berkembang biaknya berbagai aksi kriminalisasi.
Frekuensi ini menjadi validasi atas kebutuhan pengakuan oleh lebih banyak pihak yang notabene seminat.
Setiap orang bahkan rela terbelenggu dalam kerumunan kelompok tertentu untuk dianggap sebagai individu-individu yang relevan.
Kenyataan ini dapat diamati dalam tampilan kasus yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik, yakni bullying dan HIV/AIDS yang kian meningkat.
Kasus-kasus ini merupakan dua variable yang dari definisinya dikategorikan sebagai unsur yang sama sekali berbeda.
Namun, keduanya tampil seolah premis yang merujuk pada kesimpulan yang identik, yakni sebagai dua “problematika kembar” yang lahir dari satu rahim “penyebab” yang sama.
Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kota Kupang, mencatat hingga September 2025 terdapat sebanyak 2.539 kasus HIV/AIDS.
Dari data tersebut menunjukan kelompok pelajar dan mahasiswa menempati posisi tertinggi sebagai penderita, melampaui jumlah wanita pekerja seks langsung (WPSL) (Jambi-independen.co.id/23/10/2025).
Rincian profesi pengidap HIV/AIDS di Kota Kupang menunjukan bahwa pekerja sewasta menempati urutan pertama sebanyak 889 kasus (35 persen), disusul oleh ibu rumah tangga sebanyak 406 kasus (16 persen), selanjutnya pelajar dan mahasiswa 254 kasus (10 persen), WPSL 203 kasus (8 persen), dan lain-lain atau profesi yang tidak spesifik sebanyak 432 kasus (17 persen).
Lebih mengejutkan lagi, KPAD juga menemukan praktik prostitusi yang melibatkan pelajar tingkat SMP.
Dari data yang sama menyampaikan bahwa beberapa pelajar bahkan mengaku melayani 3 hingga 8 orang perhari dengan tarif Rp. 50.000 per transaksi.
Sebagian besar dari mereka tidak menggunakan pengaman karena menganggap akan kehilangan pelanggan.
Temuan KPAD ini yang juga didukung oleh data DP3A (Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak) yang sebelumnya menemukan praktik prostitusi antar- pelajar melalui grup WhatsApp SMP se-Kota Kupang.
Di samping maraknya kasus HIV/AIDS ini, terdapat pula persoalan pelik lainnya yakni kasus bullying yang juga terus memakan korban.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2025 tercatat sebanyak 25 anak Indonesia memilih mengakhiri hidupnya sendiri.
Kasus tersebut mayortas terjadi karena dipicu oleh bullying atau
perundungan, dan notabene terjadi di lingkungan sekolah (Jambi-Independen.co.id/01/11/2025).
Secara statistik, jumlah kasus ini menurun per-tiga tahun terakhir: 2023 sebanyak 46 kasus, 2024 terdapat 43 kasus, dan hingga Oktober 2025 terdapat 25 kasus.
Dalam menganalisis persoalan ini, penulis menilai beberapa indikator pendukung terjadinya kasus tersebut, yakni: pertama, kehadiran alat elektronik.
Dalam beberapa kasus, alat elektronik menjadi “pengasuh” yang dapat diandalkan oleh para orang tua untuk mengelabui anak-anaknya.
Setiap anak yang diizinkan untuk menggunakan alat elektronik ini tanpa
pengawasan dari orang tua.
Penulis melihat pada titik ini, anak mengalami “obesitas kepercayaan”, artinya orang tua seolah mempercayai anak-anak mereka untuk memilah konten mana yang baik untuk dikonsumsi dan yang tidak baik.
Kedua, tuntutan gaya hidup yang kian meningkat.
Penulis mencoba melihat lebih jauh dalam kronik sejarah manusia sebagai mekhluk eksploitatif; jika sebelumnya manusia cenderung mengeksploitasi alam dan sesama untuk kepuasan diri sendiri atau kelompoknya –sekarang manusia justru mengeksploitasi diri sendiri demi memenuhi standar yang dianut kebanyakan orang.
Tampilan baru aksi eksploitasi ini menjadi kian pelik dan sukar diobati. Setiap orang merasa berkewajiban untuk memenuhi standar sejahtera, cantik, tampan dan menjadi sangat impresif sesuai selera publik.
Menghadapi persoalan ini, rekomendasi yang kiranya relevan diucap adalah pertama-tama, penting untuk meningkatkan kontrol sosial.
Jalan ini bukan bertujuan mereduksi kebebasan setiap individu, melainkan ekspresi tanggung jawab kolektif untuk mengantisipasi terjadinya budaya baru yang berpotensi merusak nilai kemanusiaan.
Selain itu, meningkatkan aspek spiritual menjadi satu langkah yang baik untuk dilakukan.
Aspek spiritual di sini tidak dipersempit pada urusan religius semata, melainkan kebiasaan menginternalisasi nilai-nilai etis.
Penghayatan atas nilai-nilai etis harus membudaya, baik di lingkungan keluarga, di dunia pendidikan, maupun dalam lingkungan masyarakat.
Pada akhirnya, hal yang paling penting adalah meningkatkan budaya literasi.
Literasi tidak melulu pada aktivitas membaca dan menulis, melainkan harus sampai pada mengasah kemampuan analitik. Literasi yang membudaya akan meningkatkan sumber daya manusia.
Konsekuensi lanjutnya, langkah ini membantu setiap orang dalam membedah setiap persoalan sekaligus memperkaya alternatif pertimbangan sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu. (*)
Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Agustinus-S-Sasmita.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.