Opini
Opini: Sengkarut Krisis Aura Seni di Zaman Ini
Kehadiran sebuah karya seni yang diciptakan biasanya menitip pesan, makna dan penafsiran yang berbeda.
Oleh: Antonius Guntramus Plewang
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
POS-KUPANG.COM -Seni adalah upaya untuk menciptakan gerak dari suatu emosi yang menjelma menjadi suatu karya yang konkret, getaran jiwa dan keselarasan perasaan serta pikiran yang terwujud menjadi sesuatu yang indah (Darmawan, 1988).
Sementara karya seni adalah hasil ciptaan seni. Seorang pencipta karya seni memiliki pengalaman emosional dan ide pemikiran tersendiri tentang realitas budayanya yang kemudian ia tuangkan dalam sebuah karya seni.
Kehadiran sebuah karya seni yang diciptakan biasanya menitip pesan, makna dan penafsiran yang berbeda.
Setiap orang yang menyaksikan suatu karya seni punya kebebasan untuk menafsirkan pesan karya tersebut pun pula dalam mengevaluasi keindahan sebuah karya seni.
Baca juga: Presiden Timor Leste Ngopi Bareng Pekerja Seni Indonesia
Sebuah karya seni selalu berada dalam konteks ruang dan waktu (dimensi historis). Karya seni yang indah kerap diidentikkan dengan situasi zamannya.
Semakin karya seni itu memiliki makna historis yang mendalam, maka semakin tampak kualitas atau keindahan karya seni tersebut.
Kita dapat menyaksikan keindahan lukisan “Mona Lisa” yang diciptakan oleh Leonardo da Vinci, atau dalam konteks Indonesia, kita bisa menyaksikan keindahan lukisan karya Raden Saleh Syarif Bustaman yaitu “Penangkapan Pangeran Diponegoro”.
Keindahan tersebut bukan saja terletak pada hasil tangkapan indrawi kita terhadap karya, tetapi juga sesuatu yang melampaui itu (baca: metafisik).
Dengan kata lain, keindahan dua karya seni di atas justru termaktub dalam narasi historis tentang kemunculannya di hadapan publik.
Sayangnya, era teknologi digital saat ini mengakibatkan karya seni lambat laun kehilangan kualitas keindahannya.
Karya seni yang begitu langka sekalipun, tampaknya direproduksi dan disebarkan lewat berbagai media.
Coba kita bayangkan apabila kedua lukisan yang penulis sebutkan di atas dipublikasikan di media massa secara luas, serta tanpa pemahaman yang baik dari pengamat tentang narasi historis kemunculan lukisan itu.
Penulis meyakini bahwa barangkali lukisan itu tidak begitu menakjubkan seperti yang dahulu orang-orang alami pada masanya.
Selain itu, seni saat ini mengalami kemerosotannya pun karena merasuknya budaya kapitalisme, intrik politik, dan plagiarisme.
Situasi seperti ini disebutkan oleh Walter Benjamin sebagai krisis aura seni.
Krisis Aura Seni
Menurut Walter Benjamin (filsuf dan kritikus sastra asal Jerman), konsep "aura" merujuk pada kualitas unik dan otentik yang dimiliki oleh sebuah karya seni yang asli, yang tidak dapat dipindahkan atau direplikasi (Benjamin, 1969).
Aura ini berhubungan dengan keberadaan fisik dan sejarah karya seni tersebut, serta pengalaman estetis yang hanya bisa dirasakan ketika seseorang menjumpainya secara langsung.
Benjamin menekankan bahwa aura hadir karena karya seni tersebut memiliki keaslian dan kesan kehadiran yang hanya bisa dirasakan dalam konteks ruang dan waktu tertentu yang mencakup asal-usulnya.
Sebuah karya seni yang original memiliki kedalaman sejarah, yang menyumbang makna lebih kepada pemirsa yang berinteraksi dengan karya tersebut.
Namun, dalam era modern, terutama dengan berkembangnya teknologi reproduksi seperti fotografi dan film, aura ini mulai mengalami krisis.
Bagi Benjamin, reproduksi massal karya seni menyebabkan hilangnya presensi unik karya tersebut.
Sebagai contoh, sebuah lukisan yang direproduksi dalam bentuk gambar atau foto kehilangan hubungan dengan ruang dan waktu yang mengitarinya, serta kehilangan kualitas otentik yang dihadirkan oleh karya asli.
Hal ini mengubah cara manusia mengalami seni, karena kita lebih sering berinteraksi dengan reproduksi yang dapat diakses dengan mudah, bukan dengan karya seni asli yang memiliki aura tersebut (Benjamin, 1969).
Aneka Faktor Krisis
Krisis aura seni yang terjadi di zaman ini tentu tidak terlepas dari berbagai faktor kemajuan yang dialami dunia.
Panorama tentang keindahan sebuah karya seni tidak lagi dipandang sacral, melainkan suatu objek yang dijadikan sebagai komoditas. Beberapa faktor yang memengaruhinya antara lain.
Pertama, reproduksi karya seni yang semakin masif dengan kemajuan teknologi seperti fotografi, cetakan, dan digitalisasi, telah mengubah cara kita menghargai seni.
Benjamin mengkritik hal ini dengan mengemukakan bahwa reproduksi mengubah hubungan emosional dan intelektual antara pengamat dan karya seni asli.
Dalam era digital, karya seni dapat direproduksi tanpa batas, menghilangkan nilai langka dan eksklusif yang umumnya terhubung dengan karya asli.
Hal ini menciptakan dilema baru dalam memahami esensi dan nilai seni. Pengalaman estetis yang lebih mendalam kerapkali hilang dalam reproduksi yang instan.
Kedua, pengaruh politik dan kapitalistik terhadap karya seni semakin kuat di era modern. Karya seni saat ini diproduksi untuk tujuan komersial atau propaganda.
Seni yang awalnya bertujuan untuk mengekspresikan ide atau perasaan pribadi, akhir-akhir ini terjebak dalam tuntutan pasar dan kepentingan politik.
Dalam beberapa teori kritik atas budaya, para filsuf mengemukakan bahwa industri budaya telah mereduksi seni menjadi produk yang hanya berfungsi untuk memenuhi permintaan pasar, memanipulasi selera massa, dan memperkuat struktur kekuasaan.
Dalam konteks ini, karya seni kehilangan nilai estetisnya dan lebih berfokus pada keuntungan finansial atau tujuan ideologis politik busuk.
Ketiga, plagiarisme dalam dunia seni yang mengacu pada tindakan meniru atau mencuri karya orang lain dan mengklaimnya sebagai karya asli.
Dalam filsafat estetika, ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keaslian dan otentisitas dalam seni.
Immanuel Kant dalam Critique of Judgment menekankan pentingnya penilaian estetis yang otentik dan independent (Moses, 2017), tetapi plagiarisme merusak aspek ini dengan mengabaikan kreativitas asli seniman.
Plagiarisme tidak hanya merugikan seniman yang sah, tetapi juga merusak hubungan antara karya seni dan pengamat, karena karya yang dihasilkan tidak lagi mencerminkan ekspresi individual, melainkan merupakan tiruan tanpa nilai orisinalitas.
Tawaran Filososfi Estetis
Karya seni menjadi salah satu elemen penting yang memengaruhi dinamika peradaban manusia dan budaya.
Seni yang diciptakan menjadi saluran pemikiran dan perasaan manusia kepada realitas di sekitarnya.
Ironisnya, karya seni kini mengalami degradasi aura tatkala teknologi mengambil alih peradaban manusia, sistem kapitalisme dan politik berangsur-angsur melibatkan karya seni dalam permainannya, dan maraknya plagiarism yang menodai kualitas seni.
Apabila kita menelisiknya lewat filosofi estetis, hal ini tentu menjadi kekhawatiran publik karena seni bukan lagi dipandang sebagai sesuatu yang monumental, melainkan layakanya material biasa yang menjadi komoditas seolah-olah karya seni itu hanya berfungsi untuk mendatangkan keuntungan bagi pihak tertentu.
Oleh karena itu, sebagaimana fungsi estetis dari sebuah karya seni adalah untuk menciptakan nilai yang berdaya tranformatif untuk kehidupan, auranya mesti dijaga dan dipelihara demi suatu kualitas manusia yang berbudaya (berpikir dan berperasaan).
Karya seni yang menampakkan auranya secara terang benderang mampu menyumbang pesan mulia bagi semua orang. (*)
Simak terus berita atau artikel opini POS-KUPANG.COM di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Antonius-Guntramus-Plewang1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.