Opini

Opini: Menakar Penyelenggara Pemilu Secara Proporsional

Demokrasi tidak diukur dari absennya kesalahan, melainkan dari kemauan belajar tanpa kehilangan arah konstitusi. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI JEMRIS FOINTUNA
Jemris Fointuna 

Oleh: Jemris Fointuna 
Ketua KPU Provinsi Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Bagi negara demokrasi seperti Indonesia, sistem pemerintahan tidak berhenti pada urusan kekuasaan semata melainkan berkembang menjadi ruang percakapan yang hidup. 

Sebuah public sphere sebagaimana dikemukakan oleh Jurgen Habermas. Di ruang itu, opini dan argumen berinteraksi secara terbuka, dukungan dan kritik menjadi dua napas yang menjaga sistem tetap bernyawa. 

Demokrasi, sebagaimana dirumuskan Habermas, bergantung pada rasionalitas komunikatif, yaitu kemampuan warga dan lembaga untuk menimbang kepentingan bersama melalui dialog yang terbuka, bukan melalui dominasi atau desakan emosional.

Baca juga: Opini: Guru Berkarakter - Murid Berkarakter

Namun lanskap demokrasi hari ini berbeda. Arus digital mengubah ritme percakapan publik. 

Jika dahulu opini politik bergerak lambat, kini persepsi dapat terbentuk dalam hitungan menit, menggulung fakta sebelum sempat diverifikasi. 

Dalam ekosistem seperti ini, lembaga publik dituntut tetap fokus pada proses. 

Mengutip pandangan Tom R. Tyler, legitimasi lembaga tidak lahir dari hasil akhir, tetapi dari procedural justice, rasa keadilan yang dirasakan publik terhadap cara keputusan diambil. 

Setiap lembaga publik dalam logika negara demokrasi memiliki momen koreksi. 

Demokrasi yang sehat adalah yang membuka ruang peninjauan dan pembelajaran. 

Koreksi bukan tanda kelemahan, melainkan bukti vitalitas sistem. Namun seperti diingatkan Robert Dahl, rasionalitas demokrasi menuntut proportional understanding, yakni kemampuan menilai peristiwa dengan proporsi yang adil.

Tahun 2024 menjadi tonggak besar dalam sejarah demokrasi Indonesia maupun dunia dimana pemilu dan pemilihan serentak dilaksanakan dalam tahun yang sama di 38 provinsi, 514 kabupaten/kota.  

Di tengah kompleksitas geografis dan sosial tersebut, KPU memikul beban kerja luar biasa besar yakni mengorganisir lebih dari lima juta penyelenggara ad hoc hingga tingkat TPS, dengan total 823.220 titik TPS (820.161 di dalam negeri dan 3.059 di luar negeri) berdasarkan data PPID KPU RI. 

Tahapan berlangsung beriringan di tengah dinamika regulasi yang berubah, logistik yang menembus cuaca ekstrem, serta koordinasi lintas wilayah yang menuntut ketepatan waktu. 

Tantangan sebesar itu sering tidak tampak di permukaan. Publik lebih mudah menangkap riuh persoalan di satu titik, tetapi jarang menyaksikan kerja sistemik yang menopang keseluruhan proses. 

Karena itu penilaian terhadap KPU perlu ditakar secara proporsional, antara keberhasilan dan kekurangan, antara ruang koreksi dan capaian integritas yang nyata. 

Albert O. Hirschman (1970) menyebut hubungan antara publik dan lembaga sebagai tarikan antara voice atau kritik dan loyalty atau kepercayaan. 

Keduanya penting bagi kesehatan demokrasi. Tanpa kritik, lembaga kehilangan daya koreksi, tanpa kepercayaan, lembaga kehilangan legitimasi. 

Keseimbangan antara keduanya menjadi rumus yang menentukan daya tahan lembaga publik di tengah tekanan opini yang berubah cepat.

Dalam kerangka Pippa Norris tentang electoral integrity, capaian KPU mencerminkan resilience kelembagaan, bukan tanpa cela, tetapi ketahanan dalam tekanan. 

Banyak negara yang lebih homogen gagal menjaga keteraturan dalam situasi demikian. 

Indonesia justru membuktikan bahwa keberagaman dapat menjadi sumber daya lenting demokrasi. 

Namun legitimasi tidak bergantung pada hasil saja, rasa keadilan dalam proses menjadi modal besar dalam menjaga kepercayaan publik.

Di tingkat lokal, prinsip-prinsip demokrasi menemukan bentuk paling nyata. 

Di Nusa Tenggara Timur, demokrasi tidak hadir dalam simbol, tetapi dalam kerja konkret. 

Petugas pemilu menempuh laut dan daratan untuk mengantar logistik, PPS bekerja di desa dengan sinyal terbatas, dan warga membuka halaman rumah serta balai adat untuk menjadi TPS. 

Inilah gambaran everyday democracy, partisipasi nyata yang tumbuh dari civic virtue budaya lokal.

Dari partisipasi yang bersifat fisik, demokrasi juga tumbuh melalui pembelajaran berkelanjutan. 

Dalam pandangan Dahl, kualitas demokrasi tidak hanya ditentukan oleh prosedur pemilihan, tetapi juga oleh enlightened understanding. Warga perlu memahami konsekuensi politik dari pilihannya. 

KPU menjalankan mandat pendidikan pemilih melalui kelas demokrasi, sosialisasi di sekolah dan kampus, serta pendekatan inklusif bagi pemilih dengan kebutuhan aksesibilitas. 

Demokrasi tidak diukur dari absennya kesalahan, melainkan dari kemauan belajar tanpa kehilangan arah konstitusi. 

Tugas penyelenggara pemilu adalah menjaga jalur hukum dan ritme konstitusi. 

Reputasi lembaga tidak dibangun oleh reaksi spontan, tetapi oleh konsistensi yang tenang. 

Dalam pengalaman Indonesia, KPU bukan hanya lembaga administratif, tetapi juga penafsir moral dari sistem demokrasi itu sendiri, menjadi jangkar yang menjaga agar demokrasi tidak kehilangan bentuknya di tengah suara-suara yang bertubrukan.

Philippe Schmitter menyebut demokrasi sebagai a system that institutionalizes uncertainty, sistem yang menata ketidakpastian melalui aturan yang disepakati. 

Pemilu di Indonesia menunjukkan bagaimana ketidakpastian politik dapat dikelola secara tertib sejauh prosedur dipatuhi dan mekanisme koreksi berjalan. 

Dari situ lahir keyakinan bahwa legitimasi tidak diberikan, tetapi diperoleh melalui pelaksanaan mandat yang terbuka dan dapat diaudit.

Kekuatan demokrasi tidak terletak pada suara yang paling nyaring, melainkan pada keandalan institusi yang stabil. 

Di tengah derasnya arus informasi dan opini yang bersilang, KPU berdiri sebagai penjaga rasionalitas proses elektoral, memastikan setiap tahapan berjalan dalam koridor konstitusi dan hukum menjadi jalan tengah yang adil bagi semua. 

Di situlah demokrasi menemukan bentuk sejatinya, bukan pada kemenangan suara, melainkan pada kesetiaan terhadap proses yang adil dan rasional. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved