Opini

Opini: Dari Cogito Ergo Sum ke Aku Klik Maka Aku Ada

Dalam konteks AI yang canggih ini, AI, yang diprioritaskan manusia, mulai mengesampingkan peran akal murni manusia dalam konstruksi pengetahuan. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI DARVIS TARUNG
Darvis Tarung 

Kekeliruan pengetahuan ini diperburuk oleh dominasi layar spektral yang menenggelamkan manusia pada penampakan simulasi, membuat eksistensi manusia menjadi tidak otentik. 

Realitas siber menciptakan ruang simulasi yang melapisi realitas nyata. 

Jika Descartes mewaspadai ilusi yang digambarkan berasal dari setan yang cerdas (genius malignus) yang menghambat penalaran manusia, kekeliruan saat ini terletak pada kenyataan bahwa ego manusia tidak menyangsikan eksistensi digitalnya, padahal citra-citra dalam dunia digital tidak sepenuhnya benar. 

Hal ini menunjukkan AI, sebagai penentu pikiran manusia yang dibentuk oleh citra digital, mengambil alih posisi penentu kepastian.

Sistem AI modern beroperasi melalui struktur yang sangat kompleks, seperti jaringan saraf berulang (Recurrent Neural Networks atau RNNs), yang cocok untuk memproses data sekuensial dan mempertahankan "status tersembunyi"  untuk menyimpan informasi tentang konteks masa lalu dan saat ini. 

Model-model canggih seperti Transformers bahkan menggunakan mekanisme self-attention untuk memproses seluruh urutan secara paralel, meskipun memiliki kompleksitas kuadratik terhadap panjang urutan. 

Dalam konteks AI yang canggih ini, AI, yang diprioritaskan oleh manusia, mulai mengesampingkan peran akal murni manusia dalam konstruksi pengetahuan. 

Entitas digital yang dihasilkan oleh sistem ini, yang disebut digital me, didefinisikan sebagai kesatuan tunggal yang abstrak dan memiliki tingkat kemandirian dari individu nyata (real me) yang menjadi dasarnya.

Jika AI mencapai tingkat otonomi yang lebih tinggi, muncul ancaman metafisika dan etika yang signifikan. 

Digital me, yang merupakan agen otonom dan berevolusi sendiri (self-evolving), dapat memiliki kehidupan yang praktis abadi (practically immortal). 

Konsekuensi yang paling mengkhawatirkan adalah pertanyaan apakah entitas digital ini akan mengembangkan etika baru Digital Being ethics yang bertujuan mencari bukti representasi yang melampaui mereka, yang secara fundamental berbeda dari etika manusia. 

Dengan demikian, Cogito Ergo Sum, fondasi yang berupaya membebaskan subjek sadar melalui akal, secara ironis membuka pintu bagi hegemoni di mana eksistensi manusia yang mengklik di atas layar spektral kini diarahkan dan dikuasai oleh sistem otonom AI. 

Hal ini membalikkan kedaulatan rasio Descartes, mengubah Aku Berpikir yang sadar menjadi Aku Klik yang terdistorsi oleh ilusi digital. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved