Opini

Opini: Pergeseran Makna Manusia sebagai Makhluk Politik, Dari Polis ke Platform

Polis menjadi tempat manusia belajar mengenali dirinya melalui keterlibatan dalam kehidupan publik. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Bernabas Unab 

Oleh: Bernabas Unab
Mahasiswa filsafat yang menaruh perhatian pada isu etika dan politik kontemporer

POS-KUPANG.COM - Sejak awal peradaban, manusia dipahami sebagai makhluk sosial sekaligus politik. 

Aristoteles dalam "Politika" menyebut manusia sebagai "zoon politikon"—makhluk yang menemukan kemanusiaannya melalui kehidupan bersama. 

Dalam pandangan Yunani kuno, politik bukan semata persoalan kekuasaan, melainkan ruang pembentukan kebajikan dan pencarian kebaikan bersama. 

Polis menjadi tempat manusia belajar mengenali dirinya melalui keterlibatan dalam kehidupan publik. 

Baca juga: Opini: Manusia, Makhluk yang Tak Pernah Selesai Berbahasa

Di sanalah ia bukan hanya hidup berdampingan, tetapi juga berpikir, berdialog, dan bertanggung jawab terhadap komunitasnya.

Namun, dalam dunia modern yang ditopang teknologi digital, panggung politik manusia mengalami pergeseran mendasar. 

Ruang publik yang dahulu berbasis tatap muka kini berpindah ke ruang maya yang dikendalikan oleh algoritma dan platform media sosial. 

Dari polis ke platform, dari ruang pertemuan menjadi ruang layar, politik mengalami transformasi ontologis: ia tak lagi menuntut kehadiran reflektif, melainkan partisipasi instan. 

Yang dulu merupakan tindakan deliberatif kini bergeser menjadi reaksi emosional yang cepat dan dangkal.

Di media sosial, keterlibatan politik sering kali diwujudkan dalam bentuk tanda jempol, komentar, dan unggahan singkat. 

Aktivitas itu menciptakan ilusi partisipasi, padahal sering hanya menjadi gema dari opini yang telah diproduksi sistem. 

Jean Baudrillard pernah mengingatkan tentang bahaya "hiperrealitas", ketika citra lebih menentukan daripada kenyataan. 

Dalam konteks politik digital, manusia tidak lagi berbicara dari kesadaran rasional, melainkan dari dorongan untuk terlihat dan didengar. 

Demokrasi pun berubah menjadi demokrasi algoritmik, di mana bobot argumen kalah oleh kekuatan viralitas.

Manusia sebagai subjek politik perlahan kehilangan otonominya. Ia bukan lagi penggerak sejarah, melainkan bagian dari mekanisme yang digerakkan oleh teknologi dan pasar. 

Heidegger pernah memperingatkan bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan cara berpikir yang menata dan membatasi dunia. 

Dalam kerangka itu, politik kini diatur oleh logika kecepatan dan efisiensi, bukan oleh refleksi dan kebajikan. 

Segala sesuatu yang lambat dianggap usang, dan yang mendalam dianggap tidak relevan.

Michel Foucault menambahkan dimensi lain: kekuasaan tidak hanya datang dari atas, melainkan tersebar dalam jaringan sosial kehidupan sehari-hari. 

Di era digital, kekuasaan itu menjadi lebih lembut namun total. Korporasi teknologi menentukan apa yang kita lihat, pikirkan, dan percayai. 

Negara mungkin masih berdaulat secara hukum, tetapi secara epistemik kekuasaan berpindah ke tangan mesin dan algoritma. 

Inilah bentuk baru "biopolitik"—pengelolaan kehidupan manusia melalui data. 

Kita merasa bebas, tetapi kebebasan itu beroperasi di dalam ruang yang telah dikonstruksi oleh sistem.

Dalam situasi seperti ini, etika politik menjadi panggilan mendesak. Emmanuel Levinas mengingatkan bahwa tanggung jawab moral lahir dari kesadaran akan "Wajah Liyan"—pengakuan terhadap kehadiran orang lain yang menuntut kita untuk tidak acuh. 

Setiap tindakan, termasuk di ruang digital, memiliki konsekuensi etis terhadap kehidupan orang lain. 

Menulis, berbicara, atau membagikan informasi di media sosial bukan sekadar ekspresi diri, melainkan tindakan politik yang mengandung tanggung jawab moral. 

Etika digital yang sejati menuntut kebebasan yang disertai kesadaran, bukan kebebasan yang liar tanpa arah.

Jürgen Habermas pernah menegaskan bahwa komunikasi politik yang sehat harus didasarkan pada dialog dan saling pengertian. 

Namun ruang digital lebih sering mendorong polarisasi daripada pemahaman. 

Percakapan publik berubah menjadi medan perang narasi, di mana yang dicari bukan kebenaran, melainkan kemenangan argumen. 

Politik kehilangan maknanya sebagai ruang rasional; ia menjadi arena kompetisi identitas dan emosi. 

Demokrasi tanpa refleksi akhirnya menjelma menjadi kebisingan kolektif.

Karena itu, menjadi manusia politik di era platform berarti berani memulihkan kembali kedalaman refleksi. 

Politik tidak semestinya direduksi menjadi aktivitas elektoral atau sekadar ekspresi spontan di media sosial. 

Ia harus dimaknai sebagai kesediaan untuk berpikir, berdialog, dan bertanggung jawab atas dampak setiap tindakan. 

Dalam dunia yang diatur oleh algoritma, manusia ditantang untuk kembali menjadi subjek yang sadar—bukan sekadar pengguna yang bereaksi.

Pada akhirnya, politik tetap bersumber pada manusia. Ketika manusia kehilangan kedalaman moralnya, politik pun menjadi dangkal dan manipulatif. 

Namun selama manusia masih mau berpikir dan menafsirkan ulang dirinya, selalu ada peluang untuk membangun kembali ruang politik yang bermartabat. 

Pergeseran dari polis ke platform bukanlah akhir, melainkan tantangan baru untuk menemukan bentuk politik yang lebih reflektif dan manusiawi.

Selama kesadaran itu masih hidup, politik manusia tidak akan hilang. Ia hanya menunggu untuk dilahirkan kembali—bukan di bawah bendera algoritma, tetapi di bawah cahaya refleksi dan tanggung jawab.(*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved