Opini

Opini: Jagung NTT, Potensi Emas di Lahan Kering Timur Indonesia

Namun di balik nilai tradisi itu, jagung juga menyimpan potensi ekonomi besar yang belum sepenuhnya dioptimalkan.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-FOTO BUATAN AI
ILUSTRASI 

Oleh: Dian Saskia Bani
Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Setiap tanggal 16 Oktober, dunia memperingati Hari Pangan Sedunia, sebuah momentum global untuk kembali mengingat pentingnya kemandirian pangan dan pemerataan sistem produksi. 

Peringatan ini dapat menjadi ajakan bagi Indonesia untuk mengevaluasi pemanfaatan potensial kekayaan sumber pangan di berbagai wilayah. 

Salah satu komoditas strategis yang layak mendapat perhatian lebih besar adalah jagung, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT), wilayah yang juga dikenal sebagai penghasil jagung di wilayah timur nusantara.

Bagi masyarakat NTT, jagung tidak hanya berperan sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga bagian dari identitas dan kebudayaan. 

Baca juga: Harga Jagung Rendah, Dinas Pertanian Rote Ndao Minta Petani Koordinasi dengan Petugas Lapangan

Dari jagung bose hingga jagung titi, dari ladang di Timor hingga pegunungan Flores, biji-biji kuning ini telah menjadi simbol ketabahan dan ketahanan orang-orang yang hidup di wilayah kering. 

Namun di balik nilai tradisi itu, jagung juga menyimpan potensi ekonomi besar yang belum sepenuhnya dioptimalkan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa luas panen jagung di NTT mencapai 108.816 hektare, dengan produksi sekitar 293.052 ton dan produktivitas rata-rata 26,93 kuintal per hektare.
 
Angka ini masih jauh di bawah rata-rata nasional (59,4 kuintal per hektare) dan tertinggal dari provinsi tetangga, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mampu menghasilkan lebih dari 1,2 juta ton jagung dengan produktivitas 69,62 kuintal per hektare. 

Padahal, dari hasil Sensus Pertanian 2023, NTT memiliki lebih dari 680 ribu pengelola usaha pertanian perorangan tanaman pangan.

Data sebelumnya memperlihatkan bahwa kendala utama pertanian jagung di NTT bukan pada luas lahan, melainkan pada faktor-faktor lain, seperti efisiensi pengelolaan dan akses terhadap sarana produksi.

Sebagian besar petani masih mengandalkan cara tanam tradisional dan sangat bergantung pada curah hujan musiman. 

Kondisi iklim yang kering dan tidak menentu menuntut petani untuk lebih cermat dalam memilih varietas, menerapkan teknik bercocok tanam yang sesuai, serta menentukan waktu tanam yang tepat.

Menelaah lebih jauh pada program nasional saat ini, kebijakan pemerintah pusat sudah lebih menguntungkan petani lahan kering. 

Dalam strategi kemandirian pangan nasional, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memprioritaskan pertanian lahan kering dan tanaman pangan non-beras. 

Pengembangan digitalisasi pertanian, subsidi pupuk melalui e-RDKK, dan program penyediaan benih unggul jagung adalah upaya konkret untuk meningkatkan produktivitas petani. 

Namun demikian, masih ada pekerjaan rumah serius dalam menerapkan pemerataan kebijakan tersebut. 

Dibandingkan dengan wilayah timur seperti NTT, wilayah besar di Jawa dan Sulawesi cenderung menerima bantuan lebih cepat. 

Data Kementerian Pertanian tahun 2024 menunjukkan bahwa NTT berada di kelompok menengah ke bawah dalam hal volume distribusi pupuk bersubsidi; sebagian besar distribusi masih terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Meski demikian, prospek pertanian jagung di NTT mulai menunjukkan tanda-tanda positif. 

Untuk meningkatkan produksi sepanjang musim, beberapa kabupaten, termasuk Kupang dan Timor Tengah Selatan, menerapkan sistem tanam bergilir dan memanfaatkan lahan tidur. 

Selain itu, ada upaya untuk membangun industri pakan lokal yang akan memperkuat sektor peternakan sekaligus menyerap hasil panen petani. 

Walaupun belum banyak, inisiatif ini menunjukkan kesadaran bahwa rantai nilai jagung harus berkembang hingga pengolahan dan pemasaran.

Momen Hari Pangan Sedunia ini adalah waktu yang tepat untuk mempertimbangkan peran jagung dalam sistem pangan nasional. 

Beras bukan satu-satunya sumber makanan yang dapat diandalkan untuk mencapai kemandirian pangan. Potensi lokal, termasuk jagung, harus mendukung diversifikasi pangan nasional. 

Di NTT  jika inovasi, kebijakan, dan semangat petani berjalan seiring, maka jagung bukan lagi sekadar alternatif, melainkan dapat menjadi simbol ketahanan pangan dari timur negeri. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved