Opini

Opini: Kami yang Hidup dari Laut Kini Tenggelam oleh Kebijakan

Laut bagi mereka bukan sekadar tempat mencari makan, tetapi ruang hidup yang menyimpan harapan dan doa.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI TRY SURIANI L TUALAKA
Try Suriani Loit Tualaka 

Oleh: Try Suriani Loit Tualaka
Peneliti Junior di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang

POS-KUPANG.COM - Di tepian laut Nusa Tenggara Timur ( NTT), hidup berjalan pelan di antara bunyi ombak dan jaring yang tak selalu membawa hasil. 

Di sana, perempuan-perempuan bangun lebih pagi dari matahari, menyiapkan nasi untuk suami yang melaut, lalu menunggu dengan cemas di bawah langit yang kadang terlalu biru, kadang terlalu muram. 

Laut bagi mereka bukan sekadar tempat mencari makan, tetapi ruang hidup yang menyimpan harapan dan doa.

Namun kini, harapan itu seperti mulai surut. Di tengah kerasnya hidup yang sudah mereka hadapi, datang pula kebijakan baru Pergub NTT Nomor 33 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Daerah yang menaikkan beban bagi mereka yang bahkan tak pernah diundang untuk bicara. 

Baca juga: Pedagang Ikan Oeba Tolak Kenaikan Tarif Retribusi yang Tertuang dalam Pergub NTT Nomor 33/2025

Di dalam aturan itu, hampir semua tarif yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi pesisir ikut naik. 

Biaya sewa lahan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang dulu hanya sekitar Rp 25.000 per meter persegi per tahun kini melonjak menjadi Rp 75.000. 

Potongan retribusi hasil ikan pun naik dari 2 persen menjadi 5 persen dari nilai jual, sementara biaya tambat labuh kapal dan akses kendaraan ke kawasan pelabuhan juga ditetapkan dengan tarif baru. 

Kenaikan itu mungkin terlihat kecil di atas kertas, tetapi bagi nelayan kecil dan perempuan penjual ikan, setiap rupiah tambahan berarti harus mengurangi beras di piring atau menunda bayar uang sekolah anak.

Bagi masyarakat pesisir, aturan ini bukan sekadar angka di lembar peraturan, tapi kenyataan yang menyesakkan dada. 

Laut yang dulu menjadi sumber kehidupan kini terasa semakin jauh dijangkau bukan karena badai, tapi karena kebijakan yang lahir tanpa mendengar denyut kehidupan di dermaga. 

Mereka yang hidup dari laut kini harus membayar lebih mahal untuk bisa bertahan hidup.

“Dulu kami masih dapat bantuan meja jualan, box ikan, dan petugas sering bersihkan area TPI,” ungkap Nonny Nenohalan, perempuan nelayan kecil di PPI Oeba, Kupang. 

“Sekarang jangankan bantuan, kebersihan tempat jual pun tak lagi diperhatikan, tapi beban kami justru makin berat.” 

Suaranya mewakili banyak perempuan pesisir yang merasa ditinggalkan oleh kebijakan yang tak mengenal peluh mereka. 

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved