Opini

Opini: Kesehatan Mental dan Bunuh Diri

Konsekuensinya, bila badan bisa mengalami sakit, meski bukan hal aneh ketika mental atau jiwa juga mengalami sakit. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI ROBERT BALA
Robert Bala 

Oleh: Robert Bala
Penulis buku SEBELUM BUNUH DIRI (Fakta, Deteksi, dan Pencegahan Bunuh Diri Remaja), Penerbit Ledalero Mei 2025.

POS-KUPANG.COM - 10 Oktober dirayakan secara dunia sebagai Hari Kesehatan Mental. 

Sebuah perayaan yang terasa aneh. Kondisi kesehatan mental tidak mudah diterima dan karena itu ada alasan untuk ditutup. Lebih lagi ketika orang yang tidak sehat secara mental dikategorikan sebagai orang gila. 

Dengan demikian mengakui ketaksehatan mental dianggap sebagai penyibakan diri sbagai orang gila hal mana menjadi alasan mengapa mempertanyakan (bahkan menolak) hari kesehatan mental itu sendiri. 

Tetapi merayakan hari kesehatan mental membuka ruang untuk menerima bahwa badan dan jiwa (mental) bukanlah dua hal berbeda dan bertentangan. 

Baca juga: Opini: Kontribusi Kepemimpinan Etis bagi Organisasi

Dari segi aspek dan fungsi memang bisa dibedakan. Tetapi dalam kenyataannya, keduanya saling berkaitan. Manusia adalah badan yang menjiwa dan jiwa yang membadan.

Konsekuensinya, bila badan bisa mengalami sakit, meski bukan hal aneh ketika mental atau jiwa juga mengalami sakit. 

Sakit dan sehat mental merupakan dinamika hal mana badan yang sakit dan sehat. 

Sadar Diri 

Menyadari kesehatan psikologis merupakan sebuah keharusan yang mendasarkan HWO dalam mendefinisikan kesehatan mental

Disebut sebagai kondisi psikologis mengingatkan bahwa dalamnya terdapat suasana stress yang terus ada dalam diri setiap orang. Dengan demikian diperlukan kesiapan untuk mengelolahnya (stress) secara baik. 

Bila dikaji lebih jauh, justru pengelolahan yang baik memungkinkan orang bisa bekerja secara produktif dan berpartisipasi secara aktif di lingkungan. 

Pemahaman ini telah menjadi kesadaran umum dan menjadikan WHO mengartikan kesehatan  mental sebagai kondisi kesejahteraan (well-being) mental yang memungkinkan seseorang mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuan diri, bekerja secara produktif, dan berkontribusi pada komunitasnya. 

Itu berarti kesehatan mental tidak ada dengan sendirinya melainkan sebuah kesejahteraan yang diupayakan dengan mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuan diri dan bekerja secara produktif. 

Persoalannya, apakah aneka kondisi berupa tekanan hidup disadari? 

Apakah orang sadar akan suasana depresi (suasana hati yang ditandai perasaan sedih secara terus-menerus  dan hilangnya minat melakukan hal yang sebelumnya disukai), kecemasan (berupa kesulitan konsentrasi, panik, dan tegang)? 

Apakah orang insyaf akan adanya gejala skizofrenia (tidak membedakan mana yang khalayan dan yang riil), dan gangguan bipolar (perubahan drastis suasana batin dari yang episode manik/sangat bersemangat kepada depresi /sangat sedih? 

Kenyataannya tidak mudah. Masalahnya karena pemahaman (keliru) tentang kesehatan mental sebagai sebuah aib menyebabkan  munculnya gejala tersebut dengan segera disembunyikan. 

Padahal menerima kondisi kesehatan mental akan segera diikuti dengan upaya menyadari hal-hal yang menjadi akar penyebab baik yang berasal dari faktor genetik, trauma, isolasi sosial disadari? 

Dengan menyadari sebab maka hal itu bisa dihindari agar tidak sampai memengaruhi pribadi. 

Menghindari faktor penyebab bisa mengurangi dampak yang bisa muncul seperti: perubahan suasana hati, pikiran, dan perilaku ekstrem. 

Pada titik ini  sesungguhnya terdapat kesadaran bahwa kesehatan mental tidak hadir dengan sendirinya tetapi ia dipicu oleh faktor lain hal mana perlu disadari dan dikelola. 

Kesadaran akan faktor penyebab pada sisi lain menyadarkan tentang akibat yang bisa dimunculkan bila kondisi kesehatan mental tidak dikelola dengan baik. 

Adanya perubahan dalam hal suasana batin atau pikiran yang melenceng merupakan hal yang dengan mudah terjadi. 

Sialnya, akibat yang lebih jauh hal mana tidak dapat dikehendaki adalah adanya dorongan melakukan perubahan ekstrem seperti bunuh diri. 

Orang dapat melakukan tindakan bunuh diri yang bisa dipahami sebagai tindakan seseorang yang disengaja untuk mengakhiri hidupnya. 

Tindakan ini sering kali berkaitan dengan gangguan kesehatan mental, seperti depresi, dan dapat terjadi pada siapa saja.

Menyehatkan Mental 

Bagaimaan bisa mengatasi gangguan kesehatan mental sehingga bisa disadari lebih awal dan tidak berimbas pada dampak yang leibh ekstrem seperti bunuh diri? 

Pertama, menerima diri apa adanya (self acceptance). Perayaan hari kesehatan mental memiliki maksud untuk membangun kesadaran untuk menerima diri apa adanya, kesuksesan dan kegagalan, kegembiraan dan kesedihan sebagai bagian dalam dinamika hidup. 

Kesediaan untuk selalu berada dalam dua posisi dan antisipasi melalui kesadaran diri merupakan tuntutan yang sangat penting. 

Minimal pada hari Kesehatan Mental orang menerima dan menyadari bahwa seperti secara fisik seseorang bisa mengalami kesehatan tubuh/fisik, demikian secara mental / jiwa seseorang juga harus menerima kesehatan seperti ini sebagai bagian yang tak terpisahkan. 

Kedua, membangun sebuah lingungan sosial yang menerima kesehatan mental sebagai sebuah kebutuhan bersama. 

Hal ini mendorong adanya penerimaan secara sosial dan kesediaan untuk saling membantu (minimal tidak menghukum atau membully) ketika seseorang mengalaami perubahan suasana batin atau penarikan diri dari aktivitas sosial. 

Perubahan ini diterima dan selanjutnya membutuhkan upaya saling mendukung. Haru diakui minimnya dukungan sosial terutama dalam media sosial yang  malah sangat kejam merupakan PR yang sangat serius. 

Indonesia dianggap sebagai salah satu negara dengan tingkatan bullying tertinggi di dunia. 

Sebuah studi melaporkan bahwa 41 persen dari pelajar usia 15 tahun menjadi korban bullying dalam sebulan. 

Tekait bullying, dampaknya sangat besar. Secara fisik bisa terjadi menyebabkan luka fisik akibat penganiayaan. 

Tetapi juga ia bisa terjadi secara mental dan emsosioanl seperti depresi, kecemasan dan trauma  psikologis. 

Yang paling mengkuatirkan adanya kasus ekstrem yang bisa menyebabkan tindakan bunuh diri. 

Ketiga, perlu adanya keberanian berkonsultasi dengan kaum profesional. Seperti kebutuhan untuk pergi ke dokter ketika mengalami gangguan dalam tubuh, semestinya juga terjadi ketika seseorang mengalami gangguan mental/kejiwaan. 

Adanya peranan guru BK di sekolah atau hadirnya pemimpin agama sebagai konselor (antara lain melalui sakramen pengakuan) merupakan tindakan yang bisa dilakukan untuk memungkinkan bahwa gejala stres dan kecemasan dan depresi tidak sampai meluas hingga melakukan tindakan ekstrem. 

Bagi kita, perayaan hari Kesehatan Mental mengingatkan bahwa ketidaksehatan mental merupakan hal yang sangat nyata. 

Karena itu kesediaan untuk menerima menjadi hal yang sangat penting. 

Meminjam kata-kata dari Louisa May Alcott, seorang novelis Amerika, penulis cerita pendek kita bisa mengatakan: "I am not afraid of storms, for I am learning how to sail my ship" (Saya tidak takut badai, karena saya sedang belajar cara mengemudikan kapal saya). 

Itu berarti saya dengan sadar menerima kondisi mental saya dan berusaha menyehatkan mental saya. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved