Opini
Opini: APBD Perubahan, Instrumen Korektif dalam Tata Kelola Keuangan Daerah
Jika ditelusuri lima tahun ke belakang, pola ini merupakan penurunan paling tajam dalam sejarah fiskal Kabupaten Ende.
Oleh: Wilhelmus Mustari Adam
Dosen FEB Unwira Kupang dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik Universitas Brawijaya, Malang
POS-KUPANG.COM - Pernyataan Bupati Ende, Yosef Benediktus Badeoda, pada 4 Oktober 2025, yang menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten Ende tidak akan melakukan sidang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2025 karena alasan defisit dan karena APBD 2025 merupakan produk pemerintahan sebelumnya, memantik diskusi publik yang substansial.
Lebih jauh, penjelasan kondisi defisit juga diakibatkan karena adanya kesalahan pengelolaan keuangan pada tahun sebelumnya yang menimbulkan hutang senilai Rp52 miliar (Pos Kupang, 7/10/2025).
Baca juga: Ende Alami Defisit Anggaran, Bupati Akui Salah Kelola Keuangan
Dari kacamata politik pemerintahan, pandangan tersebut tampak berangkat dari kehati-hatian fiskal dan keinginan menjaga stabilitas anggaran.
Namun dari sisi tata kelola keuangan daerah, keputusan untuk tidak membahas Perubahan APBD justru bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pengelolaan fiskal yang adaptif, efisien, dan akuntabel.
Kinerja APBD Ende 2025: Gejala Stagnasi Fiskal
Data publikasi (djpk.kemenkeu.go.id) dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) per 30 September 2025 memperlihatkan gambaran keuangan Kabupaten Ende yang melemah.
Total pendapatan daerah tahun 2025 sebesar Rp1,285 triliun baru terealisasi sekitar Rp674,56 miliar atau 52,47 persen, sedangkan belanja daerah dari total Rp1,283 triliun baru terserap Rp576,44 miliar atau 44,92 persen.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga menunjukkan kinerja buruk: dari target Rp90,21 miliar, baru terealisasi Rp34,01 miliar atau 37,71 persen.
Sementara itu, belanja modal yang seharusnya menjadi motor pembangunan ekonomi daerah baru mencapai 27 persen dari total pagu.
Kondisi ini menunjukkan bahwa mesin fiskal daerah berjalan tersendat, dan perputaran ekonomi lokal melemah akibat lambatnya realisasi anggaran.
Jika ditelusuri lima tahun ke belakang, pola ini merupakan penurunan paling tajam dalam sejarah fiskal Kabupaten Ende.
Pada tahun 2021, realisasi pendapatan mencapai 92,9 persen, dan belanja 93,3 persen; tahun 2022 sedikit turun menjadi 88 persen dan 81 persen; tahun 2023 kembali membaik di kisaran 93 dan 91 persen; sementara tahun 2024 bahkan mencapai puncaknya dengan pendapatan terealisasi 95,5 persen dan belanja 96,5 persen.
Namun memasuki tahun 2025, realisasi anjlok hampir separuhnya.
Kinerja PAD selama periode itu pun relatif stagnan, bergerak antara Rp80–90 miliar per tahun, namun realisasinya terus menurun.
Pada 2024, PAD mampu mencapai 91 persen dari target, tetapi tahun ini baru terealisasi 37 persen hingga triwulan III.
Kondisi ini menggambarkan penurunan daya kelola pendapatan lokal dan meningkatnya ketergantungan pada transfer pusat (TKDD).
Belanja daerah pun mengalami pergeseran yang mengkhawatirkan. Pada 2022, belanja modal mencapai Rp351 miliar; pada 2023 turun menjadi Rp146 miliar; pada 2024 sedikit naik menjadi Rp171 miliar; dan pada 2025 turun kembali menjadi Rp107 miliar.
Artinya, kapasitas fiskal daerah untuk mendorong investasi publik terus menurun.
Dari sisi ini, sulit membantah bahwa APBD 2025 sedang menghadapi tekanan fiskal serius.
Justru dalam situasi seperti inilah, Perubahan APBD diperlukan sebagai mekanisme korektif, bukan ditinggalkan.
Koreksi Fiskal Adalah Kewajiban, Bukan Opsi Politik
Dalam sistem keuangan daerah, Perubahan APBD merupakan mekanisme korektif yang sah, legal, dan wajib dilakukan jika asumsi anggaran tidak sesuai dengan realisasi. Hal ini diatur secara tegas dalam beberapa regulasi utama.
Pertama, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 316 s.d 319, menegaskan bahwa kepala daerah dan DPRD secara bersama menetapkan APBD sebagai wujud pengelolaan keuangan daerah yang transparan, akuntabel, efektif, dan efisien.
Dengan demikian, perubahan APBD bukan sekadar inisiatif eksekutif, melainkan tanggung jawab konstitusional bersama legislatif dan eksekutif dalam menjaga akuntabilitas fiskal.
Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 161 ayat (2), menyebutkan bahwa Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA, pergeseran antar kegiatan, keadaan yang menyebabkan SILPA tahun anggaran sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan, dan keadaan darurat dan/atau keadaan luar biaa.
Dengan capaian pendapatan dan belanja Kabupaten Ende yang jauh dari target, situasi tahun 2025 jelas memenuhi kriteria ini.
Mengacu pada data di atas, pada tahun anggaran 2025, aspek pembiayaan untuk item penerimaan (SILPA) pada APBD Kabupaten Ende belum dianggarkan.
Oleh karena itu, APBD perubahan merupakan kesempatan strategis untuk melakukan penyesuaian dengan realisasi SILPA, sebagaimana terlihat dalam realisasi tahun 2024 sebesar Rp26,20 miliar.
SILPA ini dapat dipakai untuk menutup defisit dan pembiayaan-pembiayaan lainnya.
Namun memang, PP yang sama pada Pasal 179 ayat (2) menyebutkan bahwa Rancangan Perubahan APBD harus disampaikan kepada DPRD paling lambat minggu pertama bulan September dan disetujui bersama sebelum tanggal 30 September tahun anggaran berjalan. Artinya, batas waktu pembahasan memang sudah lewat.
Tetapi secara hukum administrasi, melewati tenggat waktu tidak berarti tidak dapat melakukan penyesuaian sama sekali.
Hal ini karena esensi sebuah anggaran daerah harus dapat membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat.
Ketiga, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, menyebutkan bahwa jika pembahasan Perubahan APBD tidak dapat diselesaikan hingga batas waktu tersebut, kepala daerah melaksanakan pengeluaran yang telah dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berkenaan.
Dalam kondisi ini, kepala daerah tetap wajib melaporkan kondisi keuangan dan langkah korektif kepada Menteri Dalam Negeri dan DPRD.
Dengan kata lain, regulasi ini membuka ruang bagi perubahan terbatas misalnya melalui mekanisme pergeseran antar kegiatan atau refocusing untuk menyesuaikan pelaksanaan anggaran tanpa harus menunggu tahun berikutnya.
Ketiga regulasi ini menegaskan bahwa Perubahan APBD bukan pilihan politis, melainkan kewajiban teknokratis dan normatif untuk menjaga kesesuaian antara asumsi fiskal dan kondisi nyata di lapangan.
Mengabaikan Perubahan, Mengabaikan Tata Kelola
Menolak pembahasan Perubahan APBD di tengah realisasi rendah adalah langkah yang justru melemahkan tata kelola fiskal daerah.
Dalam perspektif kebijakan publik, kebijakan yang tidak responsif terhadap data dan realitas ekonomi adalah bentuk kegagalan adaptasi administratif.
Secara fiskal, rendahnya realisasi belanja dan pendapatan berpotensi menimbulkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) yang besar di akhir tahun.
Dana publik akan mengendap tanpa menghasilkan dampak ekonomi yang berarti. Sebaliknya, jika pendapatan tidak tercapai, sementara belanja tetap berjalan, risiko defisit kas meningkat.
Secara ekonomi, rendahnya belanja modal menghambat pertumbuhan. Anggaran publik yang seharusnya menjadi stimulus bagi sektor konstruksi, jasa, dan konsumsi lokal, justru tertahan karena ketiadaan koreksi anggaran.
Masyarakat pun kehilangan manfaat langsung dari kehadiran fiskal pemerintah daerah.
Dari sisi tata kelola pemerintahan, keputusan untuk tidak melakukan perubahan APBD menunjukkan rendahnya sensitivitas birokrasi terhadap prinsip good governance: transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas.
Prinsip kehati-hatian fiskal memang penting, tetapi kehati-hatian tidak identik dengan stagnasi.
Transisi Pemerintahan Bukan Alasan untuk Mandek
Alasan bahwa APBD 2025 adalah produk pemerintahan sebelumnya tidak dapat menjadi dasar untuk menolak perubahan.
Dalam sistem pemerintahan daerah, APBD bersifat administratif, bukan politis.
Kepala daerah yang baru memiliki tanggung jawab penuh atas pelaksanaan dan penyesuaian anggaran tahun berjalan.
Justru dalam masa transisi, perubahan APBD dapat berfungsi sebagai jembatan antara arah kebijakan lama dan visi baru pemerintahan.
Perubahan terbatas memungkinkan integrasi visi kepala daerah baru tanpa menabrak aturan dan tanpa mengganggu keseimbangan fiskal.
Dengan demikian, transisi pemerintahan dapat berlangsung berkelanjutan dan tidak menimbulkan kekosongan arah pembangunan.
Mendorong Sinergi Pemerintah dan DPRD
Dalam konteks tata kelola yang baik, tanggung jawab menjaga efektivitas APBD tidak hanya berada di tangan eksekutif, tetapi juga legislatif.
DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan juga sangat krusial untuk memastikan uang rakyat digunakan secara ekonomis, efisien, efektif, dan taat pada peraturan perundang-undangan.
DPRD Kabupaten Ende seharusnya tidak diam dalam menghadapi situasi fiskal seperti ini.
Lembaga legislatif sebagai represnetasi rakyat daerah dapat mendorong evaluasi kinerja keuangan sampai triwulan III dan mengusulkan langkah korektif bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) bersama Badang Anggaran DPRD.
Langkah ini dapat menjadi bagian dari pembenahan struktural, meskipun pembahasan formal Perubahan APBD telah melewati batas 30 September.
Dengan demikian, legislatif memiliki tanggung jawab moral sebagai wujud implementasi fungsi pengawasan dan akuntabilitas publik.
Penutup: Koreksi Adalah Wujud Kepemimpinan Fiskal
APBD adalah dokumen dinamis yang harus selalu disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan kondisi keuangan daerah.
Ketika pendapatan baru mencapai separuh dari target dan belanja masih di bawah 50 persen hingga akhir September, maka menolak perubahan bukanlah bentuk kehati-hatian, tetapi tanda ketidakmampuan untuk beradaptasi.
Regulasi sudah memberikan ruang yang jelas. UU 23 Tahun 2014, PP 12 Tahun 2019, dan Permendagri 77 Tahun 2020 semuanya mengatur bahwa perubahan APBD adalah bagian sah dari siklus keuangan daerah.
Tujuannya sederhana: menjaga akuntabilitas, efektivitas, dan keberlanjutan fiskal.
Karena itu, dalam situasi fiskal yang menurun, yang dibutuhkan bukanlah alasan untuk menunda, tetapi keberanian untuk memperbaiki.
APBD Perubahan adalah instrumen korektif dalam tata kelola keuangan daerah, bukan untuk menambah beban, tetapi untuk memastikan setiap rupiah uang rakyat bekerja bagi kepentingan publik.
Oleh karena itu, pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Ende perlu segera mengambil langkah korektif.
Tidak harus besar, tetapi cukup untuk memastikan uang publik bergerak dan pelayanan masyarakat tetap berjalan.
Dan di situlah ukuran sesungguhnya dari kepemimpinan fiskal: bukan sekadar menahan defisit, tetapi mau berubah ketika data dan akal sehat menuntut perubahan.
APBD sejatinya merupakan dokumen kontrak antara rakyat sebagai principal dan aktor pemerintahan (eksekutif dan legislatif) sebagai agen. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.